Kisah Remaja Cak Bro: Ajak Bolos Teman ‘separuh kelas’ (Bag. Terakhir-Habis)
Kisah Remaja Cak Bro:
Ajak Bolos Teman ‘separuh kelas’ untuk Naik Gunung ??
(Bagian Terakhir)
Hadapi Sidang Sekolah atas Perbuatan Kami
Esok harinya, seperti biasa saya berangkat ke sekolah. Karena hari senin berarti kami harus mengadakan upacara bendera, suasana terasa heboh, beberapa kawan yang kutemui langsung menyapa “ Cak Bro, kapan naik gunung lagi... ajak2 gue dong...”, dan kawan lainnya demikian, “ Wah seru banget cerita naik gunungnya... kapan2 gue diajak ya?”, saya pun cuma diam tidak menanggapi. Namun kulihat saat upacara, ada beberapa kawan yang ikut kemarin ternyata tidak masuk, mungkin mereka sakit dan minta ijin untuk tidak masuk sekolah. Usai upacara, tiba-tiba saya dipanggil seorang guru dan menyuruhku untuk segera ke ruangan Kepala Sekolah.
Sesaat saya masuk ruangan kantor tersebut, disana sudah terlihat kawan2 sohibku sedang duduk dihadapan Kepala Sekolah yang sedang berdiri memandang dan menyuruhku duduk. Dengan tangan disilangkan, sang Kepala Sekolah berkata dengan wibawa, “ Kalian tahu,... mengapa saya suruh kesini?”, Kami pun serentak menggelengkan kepala.
Kami duduk dengan wajah menunduk, sementara sang Kepala Sekolah berjalan mondar-mondir dihadapan kami seraya memandangi kami satu persatu dan berkata lagi, “Cak Bro, Wanto, Dani, dan Iko!,.... kemana kalian saat hari sabtu kemarin?”. Dada saya berdegup kencang dan tergagap-gagap bersama kawan lainnya menjawab “ Maaf pak, kami memang bolos... kami naik gunung kemarin pak..”.
Dengan nada yang agak meninggi beliau berkata “Saya tidak mempermasalahkan kalian untuk bolos,...... tapi mengapa kalian mengajak bolos kawan-kawan hampir separuh kelas hah?!!..”. Dan lanjutnya “ketika upacara bendera sabtu kemarin,.... sangat mencolok terlihat beberapa barisan upacara lowong sebagian, Sungguh keterlaluan!!”.
Sementara itu diluar kantor Kepala Sekolah, beberapa kawan-kawan mengerubungi jendela kantor untuk melihat kami yang sedang disidang, Kepala Sekolah dan Wakilnya seraya membuka buku tebal berkata, “Kalian berempat,.... sudah banyak catatan di agenda BP. Saya tahu kalian anak2 pintar, bahkan menjabat sebagai pengurus kelas semuanya.... seharusnya kalian memberikan tauladan bagi kawan2 lainnya..Bagaimana Ini !!!.”. Kami berempat memang lain kelas, Saya dan Bolo adalah wakil ketua dikelas masing-masing, demikian juga Wanto menjabat sebagai ketua dikelasnya.
Maksudnya BP adalah Bimbingan dan Penyuluhan (kalau sekarang BK – Bimbingan dan Konsultasi), setiap anak yang bermasalah (atau yang bandel pasti selalu dipanggil oleh guru BP untuk diberi pengarahan). Entah mengapa, semenjak penjurusan dan saya ditempatkan di kelas IPS, saya menjadi anak yang bandel. Hampir setiap sabtu selalu ‘berulah’ dan pastinya akan masuk ruang BP.
Mengapa Saya Jadi Anak Bandel di Sekolah?
Mungkin disebabkan kekecewaan saya, saat sebelum penjurusan sekolah (waktu itu penjurusan hanya dua : IPA dan IPS), saya punya ‘masalah; dengan Bu Guru Kimia saya. Teringat ketika itu, saat menghadapi ulangan guru Kimia saya menuduh saya mencontek dengan teman sebangku karena ada beberapa coretan pada beberapa soal. Padahal saya sudah menjelaskan, saya tidak punya penghapus (sejenis tip-ex) untuk menggantinya. Namun beliau tidak mau mengerti “pokoknya kamu tetap mencontek,... bagaimana jika besar nanti kamu menjadi pemimpin negeri ini hah?”.
Betapa marah saat itu mendengarnya, saya langsung menggebrak meja dan berkata “Saya tidak pernah menyontek bu!, hanya karena ingin dapat nilai bagus...”, lanjut saya “Baiklah jika ibu tidak terima,..... saya minta kertas ulangan saya dan anggap saja tidak ikut ulangan dengan nilai nol...”, namun beliau menolak dan justru mengatakan kata-kata yang pedas lagi. Akhirnya saya berkata dengan suara meninggi, “ Mulai saat ini, saya tidak akan ikut pelajaran ibu,... Kimia bukan segala-galanya bagi saya.... Ingat bu, saya akan berhasil jika dewasa nanti tanpa ilmu itu...”, kemudian saya langsung keluar kelas. Setelah itu, teman sebangku saya mencoba menjelaskan bahwa saya memang tidak menyonteknya. Akhirnya teman saya menyuruh saya untuk kembali ke kelas, saya tidak mau kembali karena merasa dilecehkan.
Sejak saat itu, saya tidak pernah mau masuk kelas jika guru kimiaku datang mengajar (karena tidak mau meminta maaf atas sikapnya....) Alhasil, karena tidak belajar untuk nilai pelajaran kimiaku jelas menjadi jelek. Dan sudah pasti, ketika penjurusan saya tidak dapat masuk jurusan IPA, karena hanya satu-satunya nilai yang hancur adalah kimia. Dan semenjak saya masuk jurusan IPS, sifat saya menjadi berubah dan suka berulah serta menjadi anak bandel.
Solidaritas Teman Melalui Demo
Kembali lagi ke masalah kami dalam sidang sekolah tersebut, saya pun mencoba menjelaskan “ Tapi pak, awal mulanya kami hanya janjian berempat saja,.... kami tidak mengajak mereka dan...”. Penjelasan saya pun dipotong sang Kepala Sekolah, “ Saya tidak mau tahu!,.... yang jelas kalian telah mengajak lebih dari separuh kelas untuk membolos.... kalian harus bertanggungjawab untuk dihukum!”.
Sementara itu, diluar sana beberapa kawan mencoba berdemo di depan kantor Kepala sekolah untuk membela kami. Mereka memaksa untuk masuk ruangan itu (termasuk cewek-cewek), karena tidak diperbolehkan masuk akhirnya mereka menghadap kepada beberapa orang guru, “Mereka tidak bersalah pak,... kami yang salah memaksa untuk bergabung dan ikut naik gunung... kami juga harus dihukum pak!”. Bahkan beberapa orang yang tidak ikut kemarin, turut bergabung untuk berdemo.
Selanjutnya, beberapa guru tersebut memasuki ruangan Kepala Sekolah dan mengadakan rapat bersama dan akhirnya kami diputuskan untuk membuat surat perjanjian agar tidak mengulangi perbuatan itu lagi. Seandainya kami ingin naik gunung atau kegiatan lainnya, harus segera melapor untuk dibuatkan surat ijin dari sekolah serta harus menyertakan salah seorang guru sebagai pengawas.
Karena waktu itu kami telah menginjak kelas III dan akan mempersiapkan ujian, kami hanya di-skors beberapa hari untuk tidak mengikuti pelajaran, namun diwajibkan ikut piket bersama guru piket dan membantu administrasinya. Memang usai kejadian tersebut karena ingin menghadapi ujian, kami pun mengurangi kegiatan tersebut. Kami sadar untuk lebih serius belajar agar sukses menghadapi Ujian Nasional nantinya.
Dampak dari Petualangan Kami
Usai kami lulus dari sekolah SMAN 13 Jakarta Utara, kami bertiga pun masuk kuliah di Sekolah tinggi Akuntansi Negara (STAN) bersama-sama. Saat menginjak Tingkat II (Semester III), kami tetap melanjutkan hobi dan kegemaran dengan menjadi anggota Kelompok Pencinta Alam – STAN yakni STAPALA.
Karena STAN adalah sekolah kedinasan ketika menginjak Tingkat II, kami pun diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Untuk mengurus persyaratan dan administrasi, kami pun harus mengurus legalisir Ijazah SMA. Bersama-sama kami berangkat menuju sekolah kami yang penuh kenangan.
Setibanya di sekolah tersebut, kami pun sangat kagum karena sekolah sudah berubah. Gedung sekolah kami, kini menjadi megah dan bertingkat. Saat menuju ruangan Kepala Sekolah untuk meminta melegalisir ijazah, kami bertemu dengan Guru BP (guru ‘seteru saya dahulu) yang sama-sama masuk keruangan tersebut. Kebetulan Kepala Sekolah sudah berganti dan bertanya “ Ada perlu apa?”, kami pun berkata “ Kami lulusan sekolah sini dan ingin melegalisir ijazah Pak!..” seraya menyerahkan berkas.
Saat beliau membuka berkas, beliau berkata “ Wah selamat ya!, kalian sekarang menjadi mahasiswa STAN...”, kemudian beliau menoleh ke guru BP kami “ kalian pasti siswa-siswa sekolah kita yang teladan,... benar khan bu?”. Guru BP saya pun mengangguk setuju “ Benar pak, mereka ini salah satu siswa teladan di sekolah ini...”, kami pun berusaha menahan tawa.
Ketika sampai diluar, saya pun menggoda guru BP “Benar khan bu,.. kami adalah siswa teladan sekolah ini!..”. Tiba-tiba dia menjewer kuping kami “ Dasar anak-anak bandel,... masih saja mengganggu orang tua...”, namun beliau hanya bercanda “Saya juga termasuk bangga,.... semoga kalian sukses ya..”, kami pun berpamitan.
Semenjak kami tinggalkan sekolah tersebut, ternyata kemajuannya begitu pesat. SMAN 13 saat ini merupakan sekolah favorit dan termasuk sekolah unggulan untuk wilayah Jakarta. Yang membuat saya bangga, ternyata di sekolah tersebut sudah terbentuk organisasi kelompok pencinta alam. Waktu itu, kami pun turut terlibat mengembangkan kelompok tersebut, dimana saya dipercaya sebagai instruktur pelatihan panjat tebing atau panjat dinding.
Entah karena sekedar memuji atau menghormati kami yang senior, para siswa yunior tersebut bercerita bahwa dibentuknya kelompok pencinta alam ini berdasarkan atau terinspirasi dari kisah-kisah kami yang suka naik gunung dan berkemah, terutama ‘kisah naik gunung dengan mengajak siswa membolos hampir separuh kelas’.
Motivasi di Balik Kisah
1. Tim Dibentuk berdasarkan Komitmen
Saya memiliki sahabat karib bukan karena memiliki persamaan sifat dan sikap, tetapi hobi yang sama membuat kita memiliki ‘keterikatan’ untuk saling berbagi dalam kebersamaan. Justru melalui perbedaan sifat dan sikap, kita saling memahami kekurangan dan kelebihan masing-masing, agar dapat bekerja sama dan berkolaborasi untuk mencapai tujuan. Keterikatan itulah yang dikenal dengan Komitmen. Hal itulah yang menjembatani atas kekurangan dalam setiap anggota tim dengan berkolaborasi/bekerjasama untuk menutupi kelemahan masing-masing.
2. Perencanaan dibuat berdasarkan Permasalahan
Memang benar, seolah-olah setiap kegiatan yang kami lakukan tidak berdasarkan perencanaan yang matang, sepanjang memiliki kemauan dan tujuan, semuanya dapat diatasi dengan mudah. Kemauan atau tekad itulah sebagai ‘inti kebersamaan’ yang menjadi kita menyatu (solid) untuk menghadapi permasalahan.
Justru perencanaan dibuat berdasarkan permasalahan. Ketika kami berencana untuk pergi berempat, akhirnya berubah dengan rencana bagaimana harus membawa kawan-kawan lainnya sebanyak 35 orang. Dan perencanaan tidak bersifat kaku, harus bersifat fleksibel dan selalu berubah sesuai permasalahan dihadapi. (lihat kisah kami bagaimana naik truk).
3. Pengorganisasian dibentuk berdasarkan kepentingan dan tujuan bersama
Walau pun kami tidak memiliki pengalaman berorganisasi secara formal, namun kami dapat mengelola atau mengorganisir kawan-kawan untuk mencapai tujuan bersama. Saat kesepakatan sudah dibuat, maka masing-masing orang akan mengajukan diri sesuai kemampuan untuk melaksanakan tugas. Setiap orang akan mentaati semua ketentuan yang disepakati dan saling bekerjasama untuk mencapai tujuan.
Adanya kesepakatan dan komitmen, semuanya terikat oleh tanggungjawab. Setiap orang akan meyerahkan kepentingan pribadi demi kepentingan bersama. Saat seseorang menyimpang dari tujuan dan kepentingan, maka masing-masing akan mengingatkan akan kembali akan tujuan bersama.
4. Keterbatasan Anggaran dan Sarana Bukanlah Penghalang Mencapai Tujuan
Kami mematahkan pendapat bahwa keterbatasan anggaran dan sarana selalu dianggap sebagai kendala untuk mencapai tujuan bagi organisasi. Padahal kesuksesan organisasi untuk mencapai tujuan justru terletak pada komitmen bersama.
Dengan komitmen akan menimbulkan tekad atau motivasi untuk mencapai tujuan. Adanya tekad dan kemauan, maka kita berusaha mengoptimalkan semua anggaran dan sarana yang ada. Tidak adanya dana untuk menyewa bis, maka timbul keberanian (atau tekad) untuk naik truk. Hla ini sesuai dengan pepatah “ tidak ada rotan, akar pun jadi”.
5. Pemimpin yang baik siap mengambil alih tanggung jawab
Siap mengambil alih tanggung jawab merupakan prinsip utama bagi pempimpin yang sukses. Memang benar seorang pemimpin pasti memiliki tanggung jawab, namun terkadang mereka membatasi tanggungjawab sesuai dengan tugas atau peran yang dimiliki.
Dalam teori kepemimpinan, terdapat dua gaya Kepemimpinan yakni berorientasi proses dan output. Pemimpin yang berorientasi proses akan melaksanakan tugas sesuai dengan prosedur atau pedoman yang disepakati. Sedangkan Pemimpin yang berorientasi out put dalam melaksanakan tugas selalu berfokus pada tujuan.
Masing-masing prinsip tersebut memiliki kelemahan dan kelebihan. Pemimpin yang berorientasi akan menghasilkan tugas yang berkualitas, namun kelemahannya mereka akan membatasi tanggungjawab hanya sebatas yang dipegangnya. Sedangkan Pemimpin yang berorientasi out put, mereka terkadang mengabaikan prosedur sepanjang tugas yang diembannya mencapai tujuan. Bahkan mereka sering bekerja melampaui wilayah yang bukan tanggung jawabnya
Ketika terjadi hambatan atau tidak tercapai tujuan, kita akan mencari permasalahan yang terjadi. Setelah kita mengetahui letak/ lokasi atau titik permasalahan, justru kita berdiam diri karena menganggap bukan tangung jawab atau wilayahnya. Pernahkan kita mendengar lontaran kata-kata seperti ini?, “Saya sudah melaksanakan tugas sesuai dengan tanggung jawab, masalah tidak tercapai tujuan..... itu bukan urusan saya, itu tanggung jawab pemimpin yang diatas dong!”. Atau, “ha.ha.. benar khan?, permasalahan bukan karena saya,.... jelas itu tanggungjawab dia!”.
Seharusnya jika kita tahu titik permasalahan, walaupun bukan dalam wilayah kita, kita memcoba memberi bantuan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Demikian sebaliknya, jika kita yang memiliki permasalahan dan tidak dapat mengatasi, kita akan meminta bantuan orang lain untuk mengatasi bersama sehingga kegiatan yang dilakukan akan tercapai secara keseluruhan.
Demikian kisah Masa Remaja Cak Bro semasa SMA semoga jadi perenungan bagi diri saya pribadi dan saya berharap tidak akan diikuti oleh anak saya (atau “ Don’t try at your school”). Ide penulisan ini hanya bahwa dengan adanya kemauan atau tekad, walau pun anggaran atau dana serta sarana terbatas, kita dapat melaksankan tugas dengan baik dengan mengoptimalkan apa yang ada di sekeliling kita.
Mess BPKP Jatim, Sidoarjo, 5 Maret 2011
Komentar
Posting Komentar