Mengapa Bank
Indonesia Perlu Mempertahankan Suku Bunga?
Oleh:
Subroto,
(Kepala
Biro Keuangan dan Rumah Tangga, Kemenpora )
A.
Pembuka
Pada akhir tahun 2021 Bank Indonesia (BI) akan mempertahankan
suku bunga kebijakan atau BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 3,5
persen. Suku bunga deposit facility juga dipertahankan sebesar 2,75 persen
dan suku bunga lending facility sebesar 4,25 persen. Bahkan hingga tahun depan,
Bank Indonesia akan terus mengoptimalkan seluruh bauran kebijakan untuk menjaga
stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan serta mendukung upaya perbaikan
ekonomi lebih lanjut melalui berbagai langkah.
Langkah tersebut sebagai penegasan bahwa arah bauran kebijakan
BI pada tahun 2022 sebagaimana disampaikan dalam Pertemuan Tahunan Bank
Indonesia 2021 tanggal 24 November 2021. Menurut Perry, kebijakan moneter tahun
2022 akan lebih diarahkan untuk menjaga stabilitas, sementara kebijakan
makroprudensial, sistem pembayaran, pendalaman pasar uang serta ekonomi-keuangan
inklusif dan hijau, serta tetap untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. (Tim TvOne,
www.tvonenews.com, 16 Desember 2021).
Mengapa pejabat BI begitu serius dan berhati-hati
menaik-turunkan suku bunga, bukankah akan menguntungkan masyarakat jika suku bunga
ditetapkan tinggi?. Apakah benar suku bunga BI ada hubungannya dengan inflasi,
dan mengapa hanya karena suku bunga yang jadi tanggung jawab BI, harus
melibatkan semua pihak dalam penentuan besar suku bunga, dan sebagainya. Ada
baiknya penulis akan jelaskan pada uraian berikut ini.
B. Pengertian
Suku Bunga dan Inflasi
a.
Suku
Bunga
Menurut Karl dan Fair (2001:635) suku bunga adalah pembayaran
bunga tahunan dari suatu pinjaman, dalam bentuk persentase dari pinjaman yang
diperoleh dari jumlah bunga yang diterima tiap tahun dibagi dengan jumlah pinjaman. Pengertian
suku bunga menurut Sunariyah (2004:80) adalah harga dari pinjaman. Suku bunga
dinyatakan sebagai persentase uang pokok per unit waktu. Bunga merupakan suatu
ukuran harga sumber daya yang digunakan oleh debitur yang harus dibayarkan kepada
kreditur.
Adapun fungsi suku bunga menurut Sunariyah
(2004:81) adalah:
a.
Sebagai daya tarik bagi
para penabung yang mempunyai dana lebih untuk diinvestasikan.
b.
Suku bunga dapat
digunakan sebagai alat moneter dalam rangka mengendalikan penawaran dan permintaan
uang yang beredar dalam suatu perekonomian. Misalnya, pemerintah mendukung
pertumbuhan suatu sektor industri tertentu apabila perusahaan-perusahaan dari
industri tersebut akan meminjam dana. Maka pemerintah memberi tingkat bunga
yang lebih rendah dibandingkan sektor lain.
c.
Pemerintah dapat
memanfaatkan suku bunga untuk mengontrol jumlah uang beredar.
Ini berarti, pemerintah dapat mengatur sirkulasi uang dalam
suatu perekonomian.
Suku bunga itu sendiri ditentukan oleh dua kekuatan, yaitu : penawaran tabungan
dan permintaan investasi modal (terutama dari sektor bisnis). Tabungan adalah
selisih antara pendapatan dan konsumsi. Bunga pada dasarnya berperan sebagai
pendorong utama agar masyarakat bersedia menabung. Jumlah tabungan akan
ditentukan oleh tinggi rendahnya tingkat bunga. Semakin tinggi suku bunga, akan
semakin tinggi pula minat masyarakat untuk menabung, dan sebaliknya.
Menurut
Nopirin (1992:176) fungsi tingkat bunga dalam perekonomian yaitu alokasi faktor
produksi untuk menghasilkan barang dan jasa yang dipakai sekarang dan di
kemudian hari. Menurut Ramirez dan Khan (1999) ada dua jenis faktor yang
menentukan nilai suku bunga, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor
internal meliputi pendapatan nasional, jumlah uang beredar, dan inflasi.
Sedang faktor eksternal merupakan suku bunga luar negeri dan tingkat perubahan
nilai valuta asing yang diduga.
Menurut Prasetiantono (2000) mengenai dampak suku bunga adalah jika
suku bunga tinggi, otomatis orang akan lebih suka menyimpan dananya di bank
karena ia dapat mengharapkan pengembalian yang menguntungkan. Dan pada posisi
ini, permintaan masyarakat untuk memegang uang tunai menjadi lebih rendah
karena mereka sibuk mengalokasikannya ke dalam bentuk portfolio perbankan
(deposito dan tabungan).
Seiring dengan berkurangnya jumlah uang beredar, gairah
belanja pun menurun. Selanjutnya harga barang dan jasa umum akan cenderung
stagnan, atau tidak terjadi dorongan inflasi. Sebaliknya jika suku bunga
rendah, masyarakat cenderung tidak tertarik lagi untuk menyimpan uangnya di
bank.
b. Pengertian
Inflasi
Menurut
Siwi Nur Indriyani (2016) dalam penelitian yang berjudul Analisis Pengaruh
Inflasi dan Suku Bunga Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Di Indonesia Tahun
2005-2015” menyebutkan bahwa Inflasi adalah proses kenaikan harga-harga barang
secara terus-menerus atau suatu keadaan perkonomian yang menunjukan adanya
kecenderungan kenaikan tingkat harga secara umum (price level).
Menurut
Sukirno (2000) dalam artikel Siwi Nur Indriyani (2016), Ada tiga kategori dalam
inflasi dari tingkat keparahannya yaitu :
1. Inflasi
sedang (Moderate Inflation); Inflasi sedang adalah inflasi yang ditandai dengan
harga yang meningkat secara perlahan atau lambat dan tidak terlalu menimbulkan
ketidak sempurnaan pasar pada pendapatan dan harga relatif. Inflasi ini dapat
menurunkan kesejahteraan masyarakat yang mempunyai penghasilan yang tetap.
2. Inflasi
ganas (Galloping Inflation); Inflasi ganas adalah inflasi yang dapat
menimbulkan gangguan yang parah. Pada kondisi ini orang cenderung menyimpan
barang. Ini menyebabkan seseorang tidak mau untuk menabung karena bunga bank
lebih rendah dari laju tingkat inflasi.
3. Hyperinflasi,
Yaitu tingkat inflasi yang sangat parah, bisa mencapai ratusan, ribuan per
tahun, ini merupakan jenis yang berbahaya, merugikan atau mematikan.
Dengan
demikian suku bunga bertalian erat dengan adanya Inflasi, karena dampak suku
bunga akan mempengaruhi uang yang beredar di masyarakat, termasuk pengusaha
sebagai modal untuk menghasilkan produk yang dijual kepada masyarakat. Inflasi
juga sangat mempengaruhi stabilitas perekonomian negara tersebut karena :
a)
Tingkat inflasi yang tinggi mempengaruhi tingkat produksi dalam
negeri, melemahkan produksi barang ekspor. Tingkat inflasi yang tinggi menurunkan
produksi karena harga menjadi tinggi dan permintaan akan barang menurun
sehingga produksi menurun.
b)
Inflasi menyebabkan terjadinya kenaikan harga barang dan
kenaikan harga upah buruh, maka kalkulasi harga pokok meninggikan harga jual
produk lokal. Di lain pihak turunnya daya beli masyarakat terutama
berpenghasilan tetap akan mengakibatkan tidak semua bahan habis terjual.
Inflasi menyebabkan naiknya harga jual produksi barang ekspor dan berpengaruh
terhadap neraca pembayaran.
c. Faktor-faktor
Yang Mempengaruhi Suku Bunga
Menurut Teguh Sihono dan Rohaila Yusof (2012) dalam
penelitiannya yang berjudul “Bauran Kebijakan Moneter dan Makroprudensial Bank
Indonesia Semenjak Maret 2011 Hingga Maret 2012” menyebutkan bahwa suku bunga
harus memperhatikan aspek moneter baik dari sisi internal dan eksternal. Aspek
internal kebijakan moneter meliputi: a) kondisi inflasi, b) perubahan harga
komoditas energi/minyak, c) perubahan harga komoditas bahan pangan, d)
perubahan harga komoditas internasional, e) pertumbuhan ekonomi, f) perubahan
komoditas energi, h) pertumbuhan konsumsi, i) pertumbuhan invetasi, dan j)
kinerja ekspor dan impor.
Sedangkan dari sisi eksternal meliputi a) Neraca Pembayaran
Internasional (NPI), b) Transaksi Modal dan Finansial (TMF), c) Cadangan
Devisa, d) Perubahan kurs mata uang rupiah, e) kinerja industry perbankan, f)
kinerja pasar keuangan, g) capital inflow di Indonesia, dan h) perubahan suku
bunga bank umunya (BI Rate). Dengan demikian, tugas Bank Indonesia tidak
sekedar menetapkan besaran suku bunga, namun juga harus memperhatikan dampak
suku bunga berkaitan dengan kebijakan moneter dengan faktor-faktor variabel
yang mempengaruhinya.
d. Kebijakan
Makroprudensial Bank Indonesia
Hantaman
krisis global pada 1998, 2008, dan 2012 menyadarkan banyak negara bahwa betapa penting
terintegrasinya perekonomian suatu negara dengan negara lainnya. Selain itu, untuk
mengelola risiko sebagai reaksi kebijakan negara lain diperlukan “kesamaan cara
pandang”, khususnya dari sisi moneter dan fiskal, dalam kerangka menjaga
stabilitas sistem keuangan, yang dikenal sebagai kebijakan makroprudensial.
Dengan
demikian, kita membutuhkan satu atau lebih institusi yang berwenang mengawasi
setiap pergerakan pasar keuangan, sektor riil, dan dinamika sektor moneter,
sebagai variabel penting untuk mendeteksi potensi datangnya krisis sistemis.
Makroprudensial pada masa kini dipahami sebagai kebijakan yang bertujuan
membatasi risiko dan biaya dari krisis sistemis. Dalam Undang-Undang No 9 Tahun
2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK)
mencantumkan pentingnya aspek makroprudensial, sebagai lapisan pencegahan dan
penanganan krisis pada sistem keuangan.
Dalam
Pasal 3 UU PPKSK juga dijelaskan kegiatan pencegahan dan penanganan krisis,
akan dilalui dengan koordinasi pemantauan dan pemeliharaan stabilitas serta
penanganan krisis. Pihak-pihak tersebut tergabung dalam Forum Komite
Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) yang beranggotakan menteri Keuangan,
gubernur Bank Indonesia, ketua Dewan Komisioner OJK, serta ketua Dewan
Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
e. Langkah
Kebijakan Makroprudensial
Pasal
12 UU PPKSK mengenai pertukaran data dan informasi, sebagai bagian dari
koordinasi kelembagaan untuk melahirkan regulasi yang satu visi atau padangan. Oleh
karena itu, diperlukan langkah-langkah kebijakan yang dilakukan untuk menunjang
harmonisasi kebijakan makroprudensial yang dapat diuraikan sebagai berikut:
Pertama,
pemerintah melalui Menko Perekonomian, Kementerian Keuangan, dan Bappenas akan
mengoordinasikan kinerja otoritas fiskal dan sektor riil. Misalnya, pada Paket
Kebijakan Ekonomi XIII, pemerintah memfasilitasi beberapa jenis deregulasi: a) kebijakan
deregulasi bertujuan menurunkan biaya transaksi investasi, b) kebijakan deregulasi
pendukung, seperti pengendalian inflasi dan pemberian subsidi yang outcome-nya
bisa berpengaruh terhadap daya tawar dan daya beli masyarakat. Hal berikutnya, pemerintah
akan berkoordinasi dengan otoritas moneter, misalnya mempersiapkan akses kredit
pemilikan rumah yang terjangkau bagi MBR.
Kedua,
performa otoritas moneter (khususnya antara BI dan OJK) dalam Paket Kebijakan
Ekonomi XIII akan menjadi titik episentrum keberhasilan/kegagalan program yang
ada. Kebijakan otoritas moneter diharapkan akan menggeliatnya investasi di
sektor perumahan yang berdampak positif terhadap kinerja makroekonomi.
Ketiga,
BI selaku pihak berwenang di sisi makroprudensial akan menerapkan kebijakan
loan to value (LTV) dan financing to value (FTV) dalam rangka mengendalikan
risiko sistemis dari kebijakan kredit. Namun, BI perlu koordinasi dengan OJK, selaku
pemegang kendali mikroprudensial untuk mengetahui seberapa besar angka LTV dan
FTV dengan informasi yang komprehensif.
Selain
itu, sektor perbankan perlu terlibat terkait dinamika perubahan LTV dan FTV
tersebut. Berkaitan dengan adanya potensi terjadinya kredit macet, maka perlu
diinventarisasi agar risiko negatifnya tetap bisa ditekan. Hal berikutnya, BI
dan OJK juga harus berkoordinasi dengan pemerintah, terkait keseimbangan pasar
secara riil dalam jangka waktu tertentu. Jangan sampai keduanya memiliki gap
yang relatif tinggi karena akan berpengaruh terhadap naik/turunnya harga riil
perumahan.
C. Penutup
Berdasarkan
paparan tersebut di atas maka dapat disimpulkan sebagai jawaban adalah sebagai
berikut:
1. Walaupun
pasar keuangan masih bergejolak karena berlarutnya penyelesaian krisis keuangan
akibat kondisi pandemi Covid-19 di seluruh negara dan ketatnya likuiditas pasar
keuangan global bahkan adanya penurunan rating di beberapa negara eropa yang
memicu sentiment negative, maka kebijakan BI tetap mempertahankan BI rate
sebesar 3,5% sudahlah tepat. Hal tersebut dilakukan karena fundamental perekonomian
Indoensia cukup kuat untuk mengatasinya dengan mempertimbangkan sebelumnya pada
faktor internal dan eksternal dari kebijakan moneter seperti yang dijelaskan di
atas. Hal tersebut sebagai dasar, dimana secara periodik BI akan mengeluarkan
kebijakan suku bunga-nya atau BI-rate melalui Rapat Dewan Gubernur (RDG).
2. Adanya
pengaruh suku bunga atas BI Rate yang berpengaruh pada suku bunga antar bank
dan deposito dan akhirnya berdampak pada suku bunga kredit yang diberikan
kepada perusahaan untuk menggerakkan sektor riil sehingga mendukung lajunya
pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kenaikan BI-rate akan mempengaruhi suku bunga
antar bank termasuk kredit yang diberikan, dan sebaliknya jika BI-rate
diturunkan akan memicu pelarian dana jangka pendek yang akan mengganggu
stabilitas nilai tukar rupiah dan pertumbuhan ekonomi karena nantinya akan
berdampak pula pada inflasi yang terjadi di masyarakat. Oleh karena itu, Bank
Indonesia membutuhkan suatu kebijakan holistic dan kerjasama dengan institusi
lainnya untuk memonitor pergerakan pasar keuangan, sektor riil dan dinamika
sektor moneter yang akan berdampak terjadinya inflasi yang tidak terkendali
(hyperinflation) dan bisa mengarah terjadinya krisis ekonomi secara sistemis.
Kebijakan suatu negara dalam mengelola risiko untuk menangani baik dari sisi
moneter dan fiskal dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan dikenal dengan
kebijakan makroprudensial.
3. Untuk
mengatasi permasalahan dalam kebijakan makroprudensial, maka dibentuk UU Nomor
9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK)
mencantumkan pentingnya aspek makroprudensial, sebagai lapisan pencegahan dan
penanganan krisis pada sistem keuangan. Berdasarkan UU tersebut untuk
menjalankan tugas, maka dibentuk Forum Komite Stabilitas Sistem Keuangan
(FKSSK) yang beranggotakan Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, ketua
Dewan Komisioner OJK, serta ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan
(LPS). Berdasarkan UU tersebut, Forum Komite Stabilitas Sistem Keuangan
(FKSSK) menjalankan tugas sesuai dengan Pasal 12 UU Nomor 9 Tahun 2019 dengan contoh
langkah-langkah seperti yang telah dijelaskan diatas.
Sumber Referensi:
Teguh
Sihono dan Rohaila Yusof (2012), Bauran Kebijakan Moneter dan Makroprudensial
Bank Indoensia Semenjak Maret 2021 Hingga Maret 2012, Jurnal Economia, Vol. 8
No. 1, April 2012.
Tim
TvOne, Bank Indonesia Bank Indonesia Kembali Pertahankan Suku Bunga Acuan di
Level 3,5 Persen, www.tvonenews.com, 16
Desember 2021.
……,
Teori Suku Bungan dan Inflasi, Jurnal Manajemen, Bahan Kuliah Manajemen, www.jurnal-sdm.blogspot.com,
diakses 19 Desember 2021.
Siwi
Nur Indriyani (2016), Analisis Pengaruh Inflasi dan Suku Bunga Terhadap
Pertumbuhan EKonomi Di Indonesia Tahun 2005-2015, Jurnal Manajemen Bisnis
Krisnadwipayana, Vol.4 No.2, Mei 2016.
Candra
Fajri Ananda, Kebijakan Makro Prudensial, Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya, https://feb.ub.ac.id/id/kebijakan-makroprudensial.html
Komentar
Posting Komentar