Kisah Remaja Cak Bro: Bolos ‘separuh kelas’ untuk Naik Gunung (Bag. I)
Kisah Remaja Cak Bro:
Ajak Bolos Teman ‘separuh kelas’ untuk Naik Gunung ??
(Novel Motivasi : Mengambil alih tanggungjawab demi kebersamaan)
(Bag. I)
Saya masih teringat patahan kata sebuah lagu dari band legendaris ‘Koes Plus’ yakni “masa remaja adalah masa yang paling indah...”. Entah kenapa ketika saya remaja dahulu termasuk anak yang bandel, mungkin bagian dari masa pencarian jati diri. Namun banyak sekali kenangan indah kala itu, terutama kisah di SMA. Sebagai anak remaja, saya senang berpetualang kemana-mana, sudah pasti dengan membolos sekolah (sst, jangan bilang pada anak saya ya?....). Saya mempunyai tiga teman karib di SMA 13 Jakarta Utara yang sering pergi bersama, walau berbeda kelas (herannya lagi, kami sama-sama masuk dan kuliah di STAN). Lebih mengherankan lagi sifat dan karakter kami bertiga sangat berbeda.
Wanto Parman (nama samaran), karakternya tegas dan keras namun sedikit sombong (yang jelas suka meremehkan orang lain). Satu lagi bernama Dani (nama samaran), panggilannya ‘Bolo’, orangnya pendiam dan sering melamun. Dan satunya bernama Iko (nama samaran), jika berbicara lehernya agak dimiringkan (dia satu-satunya yang tidak kuliah). Saya sendiri bernama Cak Bro dan sengaja tidak disamarkan demi kesahih-an cerita ini, sifatnya .... sudah pasti yang baik-baik dong (he... 3x wong namanya penulis, pasti narsis deh).
Saya bersama teman-teman jika ingin pergi, Tanpa pernah berpikir panjang dan rencana atau apakah kami punya uang, langsung kami lakukan. Apalagi jika hari sabtu tiba, ketika pikiran lagi suntuk atau suasana boring (bosan), kami bolos sekolah dan pergi tanpa rencana. Bagaimana dengan ongkos atau transport?, akh... kami sudah biasa menyetop truk-truk yang lewat. Dengan ‘menomplok’ truk atau mobil pick-up dari satu mobil dan menyambung mobil lainnya (istilahnya nge-BM alias Berani Mati!), akhirnya sampai ke tempat tujuan... entah ke Bogor atau Kebun Raya, atau ke Puncak.
Saat pulang larut malam (tentu saja masih berseragam sekolah). Jika ditanya orang tua alasannya macam-macam,... ya ikut kegiatan sekolah PMR (Palang Merah remaja), atau latihan berbaris atau ngerjain PR bareng teman he..3x (Berbuat dosa koq bangga..!). Saya dengan kawan-kawan lebih suka naik gunung (hiking) ke Gunung Gede-Pangrango atau berkemah (camping) di daerah Cibodas atau Ciampea, Bogor. Kalau ditanya ‘Ortu’ alias Orang Tua,.... acara ada Perkemahan di Kecamatan Priok! (Ampun Nyokap dan Bokap,... selama ini saya selalu berbohong). Namun ada suatu kisah yang cukup menarik (bagi saya lho...), kisah yang tak pernah terlupakan karena menjadi kasus terheboh di sekolah saya, silahkan ikuti petualangan saya....
Janjian Bolos Sekolah Untuk Naik Gunung
Seperti biasa pada akhir pekan, kami janjian ingin naik gunung dan siangnya kami bolos sekolah untuk mengambil pakaian serta berjanji di suatu tempat (wah bo’ongin Ortu lagi nih... alasannya ada Persami Sekolah – Perkemahan Sabtu Minggu). Entah kenapa ketika di sekolah banyak kawan-kawan yang bertanya, “Cak Bro, katanya mau naik gunung ya?....”, saya pun hanya tersenyum tak menjawab (demikian juga dengan sahabat karib saya saat ditanya). Ketika sampai di rumah, saya ‘mengisi-ulang’ tas sekolah dengan makanan yang ada dilemari.. entah pisang/singkong rebus dan sebungkus nasi( plus dadar telur + kecap), masalah ongkos bagaimana?, biasa... naik truk!.
Kami sudah janjian untuk berkumpul saat maghrib (selepas waktu sekolah tentunya) di Perempatan lampu Merah di Permai, Tanjung Priok ( Jalan Raya depan mulut gang sekolah kami). Betapa kagetnya saya saat tiba disana, sudah banyak kawan-kawan lainnya yang berkumpul juga. Ada acara apa mereka?. Ternyata mereka ingin ikut bergabung dengan kami, hah?... saya pun marah-marah dengan kawan karib, siapa yang ajak mereka?. Ternyata ajakan salah satu kawan saya kepada temannya, beredar dari satu mulut ke mulut lainnya. Kawan saya Wanto dan Bolo hanya mengajak satu teman, tetapi temannya mengajak teman lainnya, ada yang mengajak pacar, dan lain-lain. Mau tahu berapa jumlah mereka?.... sekitar 35 orang!.
Ajak Bolos Teman Separuh kelas?
Kenapa mereka mau pergi dengan kami?, alasannya mereka ingin merasakan berpetualang seperti kami, kata mereka cerita seru dan menarik! (entah siapa yang bercerita... hhmmh pasti si Iko yang banyak omong). Mereka kagum dengan prinsip kami jika mau pergi jalan-jalan “Jangan pernah berpikir tentang uang kalau ingin pergi, jika ada keinginan dan kemauan, pasti ada jalan”. Kami berempat kebingungan, bagaimana cara ‘mengangkut’ mereka ke sana?, ditambah lagi mereka benar-benar bawa uang pas-pasan! (apalagi ada banyak cewe-cewe).
Jelas kami keberatan dan tidak sanggup membawa begitu banyak orang!, mau carter atau sewa bis?... jelas tidak ada uang cukup. Terjadi perdebatan yang sengit dan berlangsung alot. Bagaimana mungkin cewek-cewek mampu berlari mengejar dan naik truk?, ditambah lagi yang cowok-cowok hampir sebagian besar ‘anak mami’ (jarang keluar rumah dan bepergian jauh sendirian). Tetapi mereka memaksa dan memohon agar diikutsertakan, mereka malu untuk kembali ke rumah karena sudah pamit dengan orang tua mereka (lha wong kita aja kagak pamit, beneran!..).
Show Must Go On !!!, walaupun menjadi pekerjaan berat kami. Kita tidak mungkin menyetop mobil pick-up (mobil bak terbuka), berarti kita harus menyetop truk tanpa muatan alias kosong. Padahal sangatlah sulit menyetop atau mengejar truk kosong, karena ringan pasti mobil tersebut akan ngebut dengan kencang jika akan di-stop atau diberhentikan. Awalnya kami mencoba naik truk di perempatan jalan raya yang berhenti karena adanya lampu merah. Namun saat kami ingin naik truk tersebut, lampu sudah berwarna hijau lagi dan otomatis truk tersebut berlari dengan kencang. Berkali-kali kami coba dan akhirnya gagal. Mungkin begitu banyak orang yang akan naik pasti memakan waktu, sehingga saat kami naik truk tesebut, lampu lalu lintas sudah berubah warnanya.
- Menyetop Truk untuk Membawa Teman-teman
Sudah cukup lama kami mencoba dan selalu gagal untuk memperoleh truk yang akan dinaiki, akhirnya kami melakukan ‘rembugan’ (istilahnya - rapat dadakan) dan mencoba mencari strategi untuk mengatasi masalah tersebut. Kami membuat beberapa kelompok dengan tugas tertentu yakni a) kelompok menyetop truk, b) membantu teman-teman yang akan naik truk (terutama cewek-cewek), dan c) kelompok terakhir menghadang dan tetap didepan mulut truk hingga seluruhnya sudah naik. Kelompok pertama, kami memilih kawan-kawan pemberani dan kelompok terakhir adalah orang yang nekat plus punya kemampuan/cekatan naik truk saat berjalan dengan kencang.
Tak lama kemudian muncul sebuah truk kosong muatan yang berhenti saat lampu lalu lintas berwarna ‘merah’, dengan segera masing-masing kelompok melaksanakan tugasnya. Sudah pasti sebelumnya, sang supir dan ‘keneknya’ melarang dengan keras, namun kami abaikan. Saya dan beberapa kawan termasuk kelompok yang menghadang di mulut truk, karena cukup banyak orang yang naik, sementara lampu lalu lintas sudah menunjukkan warna hijau, sang supir dan kenek membentak-bentak seraya mengomel (ditambah lagi mobil-mobil yang dibelakang membunyikan klakson) agar truk tersebut dapat berjalan. Setelah semua kawan sudah naik, kamipun segera naik lewat samping truk yang berjalan dengan kencang.
Selang beberapa lama kemudian, ketika kami melewati daerah perempatan Pulogadung, ternyata truk tersebut berbelok kekiri. Akhirnya kami meminta gar truk tersebut berhenti. Mungkin sang supir sangat kesal permintaan kami tidak diindahkan, akhirnya saya menyuruh kawan yang berada didepan untuk memukul atap mobilnya. Akhirnya sang supir mengerem dengan mendadak karena kesal, lantas saya dan beberapa kawan segera turun lebih dahulu dan menahan truk dengan berdiri didepan mulut mobil tersebut seraya menunggu kawan-kawan lainnya turun dari truk tersebut.
Ngerinya Naik truk Pengangkut Kontainer
Akhirnya kami menuju perempatan untuk menunggu kembali truk yang berhenti saat lampu ‘merah’ untuk dapat dinaiki. Kami pun melakukan strategi yang sama agar kawan-kawan dapat naik truk bersama-sama. Kali ini, truk yang kami naiki agak berbeda, yakni truk yang tidak mempunyai dinding samping alias hanya berlantai besi (umumnya bermuatan container). Saya dan kawan-kawan segera menyuruh mereka untuk duduk dilantai agar tidak ‘terlempar’ ketika truk berjalan. Benar saja, beberapa kawan (terutama sang cewek-cewek) berteriak ketakutan karena ‘ngeri’ merasa ingin terlempar atau terjatuh. Kami semua berpegangan dan berpelukan bersama karena truk berjalan begitu kencang.
Sesampai di Bogor, truk tersebut ternyata berhenti tepan di sebuah pabrik dan tak berapa lama gerbang pintu terbuka agar truk masuk menuju pabrik terseut. Akhirnya kami turun untuk melanjutkan perjalanan kembali. Kesulitan yang kami hadapi, kami berada dijalan raya dan tidak lampu lalu lintas. Dengan demikian, kami harus menyetop truk-truk yang berseliweran dengan kencang. Berkali-kali kami gagal untuk menghadang truk-truk yang lewat. Ketika kami memberikan ‘tanda’ meminta kami dapat menumpang, tak satupun truk yang mengurangi kecepatan (bahkan ada beberapa kawan yang hampir terserempet truk karena mencoba menghadangnya).
Akhirnya Sampai juga di Cipanas
Saya meminta teman-teman untuk mencari ‘sesuatu’ agar dapat menghalangi dan menyetop mobil. Dengan beberapa potongan kayu atau ranting pohon, kami pun memaksa salah satu truk agar berhenti dan berhasil !!!, selanjutnya kawan-kawan naik truk tersebut. Dengan penuh ketegangan, ketabahan dan kesabaran serta keberanian (itu pun terpaksa !), perjalanan kami lewati dari satu truk ke truk yang lainnya. Akhirnya kami mencapai daerah Cipanas, sementara hari sudah menjelang malam.
Namun saya tak habis pikir dengan mereka (yang saya anggap kaum ‘duileh’), mengapa mau pergi bersama kelompok kami (kaum ‘duafa’) dengan rela bersusah payah. Saat saya tanya ke beberapa kawan “ gue yakin, lu-lu pada.... pasti ada punya duit untuk sekedar naik bis menuju puncak, Kenapa sih mau susah-susah naik truk beginian?....”. Mereka bilang, sebenarnya mereka punya uang untuk sekedar naik bis. Namun mereka ingin berpetualang seperti ini dan ternyata memang lebih seru, tegang dan asyik (asyik kepala lu!,... kita-kita sih memang terpaksa naik truk karena kagak ada uang). Mereka ingin membuktikan bahwa mereka bukan ‘anak mami’ (terkadang disebut banci!).
Menuju Kaki Gunung Putri
Mengapa kita berhenti di Cipanas?, bukankah untuk naik gunung harus ke Cibodas karena disana pintu utama untuk naik menuju Gunung Gede-Pangrango (Jalur yang dilewati adalah dari Cibodas – melewati Gunung Pangrango - menuju puncak dan kawah Gunung Gede- kemudian turun melalui Gunung Putri dan menuju Cipanas). Memang sengaja kami naik gunung melewati kaki bukit Gunung Putri, disana jarang ada petugas penjaga kawasan hutan (Petugas Hutan Pengawas Cagar Alam – PHPA). Selain itu, kami tidak memiliki surat ijin mendaki karena tidak memberitahukan sebelumnya dan mendaftar agar memperoleh surat ijin Mendaki gunung (lagi pula kagak ada uang bro!,... buat bayar pendaftarannya), dan kami tidak punya Surat Pengantar dari sekolah(namanya juga bolos, pastinya kagak ijin dari sekolah).
Karena waktu sudah menjelang malam di Pasar Cipanas, terlihat beberapa toko sudah tutup dan sebagian mereka sedang membereskan barang dagangannya. Kami pun segera beristirahat di emperan toko yang tutup, dan mempersilahkan mereka membuka perbekalan makanan. “ Ayo kita istirahat sebentar, dari pasar ini nanti kita harus jalan kaki menuju kaki bukit gunung Putri....”. Walau terlihat letih dan muka pucat pasi, terlihat ada kegembiraan di wajah-wajah ‘anak mami’ seraya berkata saat makan “kalau gue di rumah, jika mau makan harus cuci tangan dulu nih!...”, saya hanya menggeleng tersenyum melihat tingkah mereka.
Setelah selesai istirahat, kami pun melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Perjalanan menuju kaki bukit Gunung Putri melewati rumah-rumah penduduk perkampungan dan pastinya menanjak. Dengan terseok-seok dan terengah-engah mereka berjalan, bahkan ada yang sudah merasa ngantuk dan salah seorang celetuk, “Kenapa gue ikut-ikutan susah begini ya?,.. padahal kalau malam begini di rumah, gue udah tidur nyenyak dengan kasur empuk!”. Seketika rombongan berhenti sejenak seraya memandangnya dan serempak berkata “kalau lu mau,......pulang aja sendiri !!!”.
Akhirnya, kami pun sampai di kaki bukit Gunung Putri. Sayangnya hari sudah menjelang malam, suasana sebenarnya cukup indah, karena kami melewati perkebunan penduduk yang menanam sayuran kol, tomat, cabe, dsb. Namun keindahan malam pun sungguh terasa, kami memandang di kejauhan nampak lampu-lampu berkelap-kelip dibawah sana, ditambah suasana alam yang begitu terbuka dan dapat memandang langit yang disinari sang bulan yang malu-malu mengintip dibalik awan.
Sesaat berjalan di jalan setapak terdengar gemericik air di kiri dan kanan dan diiringi riuhnya suara burung-burung malam (termasuk burung hantu) yang mulai beranjak pergi mencari mangsa. Setibanya di sebuah pancuran pinggir jalan setapak, kami pun berhenti sejenak, “ Ayo kita istirahat sebentar,... kebetulan ada pancuran air. Silahkan kalian isi botol minuman yang kalian bawa”. Dasar anak mami, ada saja yang nyeletuk “Wah ini air mentah, harus dimasak dulu nih....”, kawan yang lain pun menyahut “ kenapa dari rumah lu kagak bawa kompor untuk masak air!,....lagi pula ini air pegunungan sudah pasti bersih”.
Cari Jalan Lain untuk Hindari Petugas Hutan
Tiba-tiba rombongan kami hentikan sejenak, terlihat dicela-cela pohon ada sinar lampu, kawan saya Wanto berkata “ Cak Bro kacau nih,... nampaknya di pos penjagaan ada petugas nih!”. Seraya berbisik saya memberitahukan teman-teman agar mematikan lampu senter saat berjalan, dan kawan saya yang lain (Si Bolo dan Iko) mencoba mencari jalan setapak yang lain untuk menghindari pos penjagaan. Dengan jalan mengendap-endap seraya berpegangan tangan, kami membimbing mereka berjalan untuk menghindari jalan menuju pos penjagaan tersebut.
Oh ya, saya sudah membiasakan diri berjalan tanpa senter dalam kegelapan malam. Caranya mudah, ikuti saja bagaimana kucing berjalan di tengah malam, binatang tersebut akan membesarkan pupil mata agar terlihat jelas berjalan di kala malam. Oleh karena itu, pejamkan mata kita sekejap kemudian buka mata perlahan untuk membiasakan mata hingga jalan di kegelapan malam terlihat agak jelas, dan jika masih terlihat gelap, diulangi lagi berkali-kali. Jika kalian sudah mampu melihat di kegelapan malam, berarti pupil mata kalian agak membesar dari biasanya. Dan hal yang kedua, ketika kita berjalan malam di hutan tanpa senter, kita bisa membedakan dengan jelas antara jalan setapak dengan akar-akar ranting, mengapa?. Karena tanah atau batu mengandung mineral dan logam, yang jelas akan tampak lebih ‘bercahaya’ dibandingkan makhluk hidup, terutama akar pohon atau batang-batang pohon.
Setelah berhasil melewati pos penjagaan, kami lanjutkan perjalanan. Kami membagi kekompok perjalanan, kawan saya Wanto dan Iko berjalan memimpin rombongan, sedangkan saya dan Bolo bertugas sebagai tim sweeping yang mencoba membimbing mereka yang tertinggal jauh dari rombongan (sudah pasti lebih banyak cewek-cewek yang ketinggalan). Terkadang saya berteriak “ Waldi, coba kurangi kecepatan jalannya,... di belakang banyak kawan-kawan yang tertinggal nih!..., Ayo kawan, terus semangat jalannya!”. Terkadang kawan saya menggerutu “ Dasar anak mami!,... jalan aja kayak orang sunatan.....!”. Maklum kebanyakan ‘anak mami’ dan cewek-cewek, jalannya pasti tidak secepat kami yang sudah terbiasa.
Komentar
Posting Komentar