“Perasaan Minder dan Pelecehan

Berbekal  piring kaleng dan panci bekas kami berlatih bermain qasidah, hingga pengurus Mushola dan warga berpatungan untuk membelikan  seperangkat qasidah. Saat ada perlombaan Qasidah se Kecamatan Tanjung Priok, berbekal baju koko dan pinjaman celana dan sepatu dengan berbecak-ria, kami bisa menjadi Juara.

(Kisah masa kecil saat duduk di Kelas V-SD)
Akhirnya saya punya ide agar tidak mengganggu kelompok yang berlatih dengan ikut menyertakan mereka dalam lomba Gerka Jalan se DKI Jakarta. Berbekal kaos seragam dengan celana dan sepatu pinjaman, berebut naik bis menuju tempat acara lomba. Ternyata kami bisa menjadi Juara.
(Kisah masa kecil saat duduk di Kelas II-SMP




Pendahuluan
Saya dibesarkan di salah satu pojok kota Jakarta, boleh dikatakan lingkungan yang keras dan kumuh yakni Kota Jakarta Utara, tepatnya di Tanjung Priok. Mungkin pasti anda pernah mendengar akan keterkenalan ‘kota kecil’ saya dari ulasan beberapa media massa terakhir ini, kota yang terkenal karena kekerasan dan berita negatif. Masih ingat dengan kasus kekerasan akibat penggusuran makam “Mbah Priok”? atau anda pasti tidak akan lupa siapa Gayus Tambunan sebagai oknum pajak yang berlimpah uang milyaran rupiah dari hasil korupsi dan kolusi?.
Saya tidak akan menampik, bahwa Gayus tinggal bersebelahan ‘kampung’ dengan saya, dia dibesarkan di Kampung Warakas dan saya di Kampung Bahari, Tanjung Priok (bahkan satu alumni SMA dan Akademi, walaupun terpaut jauh angkatan, yakni dari SMA 13 dan STAN). Kepindahan keluarga saya ke daerah Priok ketika saya masih duduk di kelas dua SD dari Asrama Pemadam Kebakaran DKI Jakarta Pusat (tepatnya di Jl. KH Zaenal Arifin, dibelakang daerah Roxy – terkenal dengan kota Elektronik terbesar di Asia Tenggara), karena ayah saya pensiun dan harus keluar dari rumah dinas tersebut.
Masih terngiang jelas nasehat Almarhum/ah kedua orang tua saya : “ Kami tidak melarang kamu bergaul dengan siapa saja, namun
yang harus diingat darimana kita berasal sebelumnya”. Ingatlah, jaga perilaku kamu dengan bangga bahwa kamu berasal dari kota besar dan keluarga yang terdidik. Bukan berarti kamu harus bersikap sombong, namun perilakumu menunjukkan darimana kamu berasal”.
Saya adalah anak bungsu dari ke-9 saudara (yang masih hidup tinggal enam termasuk saya) yang tinggal dipojokkan kota atau boleh disebut ‘kampung kumuh’ dengan warga yang hidup berdesak-desakkan. Warga yang berasal dari berbagai suku dan sebagian besar bekerja di Pelabuhan, entah sebagai pegawai, buruh kasar maupun buruh pabrik. Sebagai anak kecil untuk wilayah bermain di sore atau malam hari, lebih banyak diperempatan jalan dibawah lampu listrik hasil ‘Proyek MHT Jakarta’. Oleh karenanya, kami harus berebut tempat dengan orang dewasa yang ‘nongkrong’ selepas pulang kerja atau sekolah maupun para pemuda pengangguran (termasuk bromocorah, preman dan para pencoleng).

Bukan kisah asal-usul yang ingin saya ungkap dalam tulisan saya ini, melainkan kisah/pengalaman kecil yang mungkin bisa sebagai bahan renungan (terutama untuk diri saya pribadi) bagaimana cara meraih sebuah kesuksesan dengan kisah yang saya alami ketika kecil. Bukan karena saya pengagum Andrea Hirata yang terkenal dengan novel “Laskar Pelangi”, lantas saya segera menjiplak  dengan merekayasa kisah kecil saya(walau memang saya seorang plagiator sejati). Memang kisah kecil saya yang bandel ada kemiripan dengan novel tersebut, namun ini adalah kisah sebenarnya yang tidak dapat saya lupakan.
Juga bukan pula saya berusaha me-narsis-kan diri hingga membuat tulisan ini, di akhir tulisan saya akan mencoba menyitir bagaimana memotivasi sebuah tim dalam organisasi dan mencetak menjadi “The Winning Team” dengan sumber daya dan dana yang terbatas berdasarkan buku motivasi yang diperoleh dari Atasan saya (yang baru saya baca sekilas). Saya yakin, anda pun memiliki kisah menarik yang mirip dengan novel tersebut dan bisa menjadi perenungan bahwa untuk mencapai sebuah kesuksesan, tidak mesti berpikir yang muluk-muluk, tidak mesti banyak membaca berbagai buku motivasi dan organisasi, atau mesti mengikuti training dari motivator terkenal yang berbiaya mahal. Cukup merenung kisah-kisah kita yang kita anggap menarik dan sukses bagi kita, sebagai bahan evaluasi dan acuan kita kedepan dalam berprestasi dan berkarya. Silahkan ikuti kisah saya ini dibawah ini (bagi yang tertarik).

Melawan Rasa Tertekan akibat Rendah Diri
dan Gugup Melalui Kreatifitas Spontan
(Kisah kecilku saat Kelas V SD)

Ditempat saya, ada sebuah mushola kecil “Nurul Hikmah” dimana kami sholat dan belajar ngaji setiap malam. Ketika mushola kami mengadakan acara Maulid Nabi SAW dengan mengundang seorang penceramah terkenal dengan hiburan qasidahan, salah satu remaja mushola yang ahli memainkan alat tersebut (pelatih Qasidah di salah satu masjid) sangat tertarik dan berinisatif untuk mendidik kami agar bermain alat tersebut. Qasidahan saat itu merupakan hiburan dikampung kami ketika ada perayaan agama, terutama Maulid nabi. Oleh karena itu, kami sangat bergembira agar bisa memainkan alat tersebut, ia berjanji untuk melatih kami dirumahnya. Namun apa yang terjadi, sesuai waktu yang dijanjikan ketika dirumahnya?, ternyata dia tidak memiliki alat rebana satu pun!!. Kami hanya diminta untuk pulang kembali dengan membawa piring kaleng dan panci bekas sebagai alat pengganti. Dia berjanji akan meminjamkan peralatan tersebut saat kami sudah mahir, bahkan berjanji akan mengajak kami untuk bermain bila ada perayaan Maulid di masjid besar dimana dia melatih disana.
Karena rasa keprihatinan dan keseriusan kami bermain dengan piring kaleng dan panci bekas, ketika salah pengurus Mushola memberitahukan ada perlombaan Qasidah se Kecamatan Tanjung Priok, beberapa warga dan pengurus Mushola berpatungan untuk membelikan kami seperangkat qasidah dan berjanji untuk mendaftarkan kami ikut lomba untuk tingkat anak-anak (saat itu saya duduk dikelas V SD). Dengan hati gembira kami semakin rajin berlatih dan bersepakat setiap sore berlatih lebih giat lagi.
Patah Semangat Karena Minder (Rendah Diri)
Saat tiba acara lomba, kami sangat panik karena kami tidak memiliki dana untuk membeli kostum seragam. Sang Pelatih membesarkan hati kami bahwa tidak punya seragam atau kostum bukan berarti tidak bisa ikut. Masing-masing dari kami memang punya ‘baju koko’ untuk mengaji, untuk celana panjang dan sepatu warna hitam terpaksa kami meminjam dari tetangga yang punya. Dengan kostum dan sepatu ‘kebesaran alias kedodoran’ kami berangkat dengan berbecak-ria menuju GOR (Gedung Olah Raga) Jakarta Utara, itu pun gratis karena perhatian dan perduli tukang becak sekitar dengan senang hati mengantar kami.
Sesampai di gedung besar tersebut, kami hanya bisa melongo dan termangu melihat setting altar acara (backdrobe) yang menurut kami sangat mewah. Rasa was-was dan minder (rendah diri) pun berkecamuk dihati kami masing-masing, melihat para peserta yang berasal beberapa masjid besar dengan mobil carteran (hanya peserta kami yang berbecak ria dan dari mushola kecil), juga kostum yang mereka pakai begitu berwarna menyala laksana ‘film aladin’ yang kami lihat di acara televisi.
Awalnya kami ketakutan dan ingin membatalkan keikutsertaan lomba, kami sangat jauh berbeda dengan mereka dan tak kan bisa memenangkan lomba. Namun sekali lagi sang pelatih menasehati untuk membesarkan hati kami agar tidak memperdulikan semuanya: “ Justru kalian bangga sudah bisa ikut disini. Yang penting kalian bisa bermain dengan baik nanti, dan kalian harus menghargai jerih payah warga kampung yang turut berdo’a dan mendukung kita”.
Ketika acara dimulai, hati kami begitu tercekat ketakutan dan semakin minder melihat peserta lomba menampilkan permainan terbaik mereka, terutama dalam intro/pembuka lagu. Misalnya, ada yang bertema nuansa bali – berlanggam tari kecak- yang dipadu sesuai dengan kostumnya, ada pula berlanggam sunda dengan ‘ketuk tilu-nya’, dsb. Begitu nomor peserta kami dipanggil oleh tim juri, hati kami berdegup kencang dengan wajah pucat-pasi. Sang pelatih memegang pundak kami dan berkata “ jangan berpikir sudah merasa kalah karena melihat permainan peserta lain. Tunjukkan permainan hebat kalian dan bayangkan wajah warga kita serta jangan lupa diawali membaca Bismillah..”.
Ide Spontan Sebagai Pencair Suasana
Benar saja, karena kali pertama mengikuti acara lomba, kami berjalan dengan gemetar dan gugup melihat wajah tim juri maupun yang hadir disana. Tiba-tiba salah satu kawan kami yang lebih besar, sudah dapat menguasi keadaan lebih dahulu, menggebrak dengan keras rebananya sebagai lagu pembuka (tema intro lagu kami adalah gaya betawi yang dinamakan ‘kopak kobing’ – setelah itu saya baru tahu kalau intro lagu itu adalah gaya marawis arab).
Segera itu pula suasana cair seketika, padahal tidak ada dalam skenario latihan, kami berjingkrak-jingkrak ‘ala rocker’ dengan menggebrak satu kaki maju kedepan dan badan sedikit membungkuk. Sang Pelatih pun tertawa gembira dengan mengacungkan kedua jari jempol atas ‘kreasi spontan’ yang kami buat dan mendadak sontak bergemuruh seluruh yang hadir bertepuk tangan atas aksi ’dadakan kami’.
Waktu menjelang tengah malam adalah waktu tidur untuk seusia kami, dengan terkantuk-kantuk kami menunggu, hanya karena kami disuruh menunggu oleh sang Pelatih yang mengantar kami pulang, akhirnya kami tidur-tiduran dikursi panjang. (Padahal beliau menunggu pengumuman hasil lomba dari tingkat anak-anak perempuan yang ia latih di Masjid besar).

Raih Kemenangan Tanpa Terduga
Ketika tim dewan juri mengumumkan hasilnya, diawali juara lomba untuk tingkat dewasa pria dan wanita, beberapa rombongan peserta yang menang bergembira merayakan kemenangan. Kemudian berlanjut pengumuman untuk lomba tingkat pemula atau anak-anak. Benar saja, diawali pengumuman juara ketiga yang dimenangkan oleh peserta ber-intro langgam sunda dengan ‘ketuk tilu’-nya, spontan rombongan peserta tersebut berteriak gembira atas kemenangannya. Untuk mengusir rasa kantuk, timbul ide saya apabila pengumuman juara berikutnya agar kami berjingkrak pura-pura menyambut kemenangan walau ternyata bukan, kawan-kawan pun semua menyetujui ide nakal saya.
Ketika dewan juri mengumumkan hasil penilaian untuk juara ke-II, saat nomor peserta disebut justru kami terdiam dan melongo. Kami tersadar karena hentakan keras pundak kami oleh sang pelatih bahwa nomor yang disebut adalah nomor kami!!, beliau pun heran mengapa kami tidak berteriak merayakan kemenangan tersebut. Kami pun melihat nomor peserta didada berkali-kali karena merasa tidak percaya, kemudian pecahlah keriuhan kami sebagai anak kecil berjingkrak-jingkrak disertai tetesan air mata sang pelatih yang tidak mengira kami bisa memperoleh Juara ke-II.
Tetesan air mata sang pelatih kembali mengalir karena beliau tidak memiliki uang cukup membayar becak untuk pulang, dengan terpaksa kami berjalan kaki seraya membawa piala kejuaraan, dengan terhuyung-huyung karena ngantuk, kami kembali menuju rumah yang berjarak +/- 15 KM. Alhamdulillah, ditengah jalan kami berpapasan dengan rombongan mobil peserta anak didik sang pelatih. Mobil berhenti sejenak, kemudian seorang bapak haji (berpeci putih) menyalami kami dengan kagum dan mengeluarkan uang agar kami dapat menyewa becak untuk pulang kerumah.
Sesampai dikampung, kami menjadi panik karena seluruh warga keluar rumah mengerubungi untuk menyalami kami untuk merayakan kemenangan yang tidak disangka-sangka dan tentu saja orang tua masing-masing memeluk kami dengan penuh suka cita dengan berlimbah air mata. Sejak saat itu, kelompok qasidah kami menjadi terkenal dikampung. Dan pastinya setiap ada acara keagamaan, kami selalu dipanggil untuk bermain qasidah di setiap masjid diwilayah kampung kami.
------ ooOoo ------
2. Semangat dan energi mucul saat dilecehkan :
“Don’t look at the Cover Book”
(Kisahku saat Remaja)
Ketika itu (sewaktu saya duduk di bangku SMP kelas II), kampung saya sedang hangat-hangatnya membicarakan lomba gerak jalan dalam rangka HUT-RI yang diadakan oleh Pemda DKI di Lapangan Monas, Jakarta. Setiap malam beberapa cowok dan cewek yang dibentuk oleh RW sedang giat berlatih gerak jalan dan seperti biasa saya sedang asyik berkumpul (alias nongkrong) diperempatan gang. Ketika rombongan gerak jalan melewati gang tempat saya berkumpul, secara otomatis beberapa kawan iseng mengganggu terutama bila rombongan gerak jalan cewek yang lewat, dengan berteriak-teriak memanggil nama salah seorang cewek atau sekedar bersuit-suit.
Oh ya dikampung saya ada dua blok kumpulan, kumpulan saya di perempatan jalan adalah sekumpulan pemuda miskin dan sebagian pengangguran yang kerjanya cuma ‘genjreng-genjreng’ bermain gitar setiap malam, kami sendiri mengolok diri dengan sebutan  ‘kaum duafa’. Sedangkan sekelompok yang sedang latihan gerak jalan tadi adalah kawan-kawan saya yang bersekolah alias berpendidikan, kami menyebutnya ‘kaum du’ileh’.
Perusuh Kampung
Memang terkadang sering terjadi bentrokan antara dua kelompok tersebut, walau sebatas adu mulut, biasanya saya dan beberapa kawan yang menengahi pertengkaran karena saya kenal baik dengan keduanya (akhirnya saya dikenal dengan panggilan ‘Dua muka” he..3x). Atas kejadian tersebut dan mereka merasa terganggu, akhirnya segera melapor kepada Pak RW akan tingkah kami. Kebetulan saya adalah anak Pak RT dan kenal baik dengan mereka yang berlatih gerak jalan, usai latihan saya pun dipanggil dan
meminta agar menegur kawan-kawan saya tersebut (kaum duafa) agar tidak mengganggu mereka yang sedang berlatih. Walaupun saya sudah memberitahukan mereka, terkadang terjadi ‘insiden’ kembali di malam berikutnya.
Akhirnya saya punya ide bagaimana cara mengatasinya dan segera menemui Pak RW dan pengurus lainnya. Ide saya adalah bagaimana kalau kelompok ‘duafa’ disertakan pula dalam lomba gerak jalan dan disuruh berlatih agar mereka tidak mengganggu kelompok ‘du’ileh’. Awalnya mereka keberatan dengan alasan mereka tidak bersekolah sehingga mereka tidak tahu cara baris-berbaris yang perlu kedisiplinan. Saya mencoba meyakinkan mereka, bukan target juara yang diharapkan, tetapi minimal dapat mengurangi gangguan karena mereka juga sibuk latihan gerak jalan.
Pak RW dan pengurus lainnya akhirnya menyepakati dan meminta saya untuk dapat menjamin tidak ada lagi gangguan atau pertengkaran, saya pun menyanggupi. Kemudian saya meminta kelompok ‘duafa’ berkumpul dan memberitahukan bahwa kita akan diikutsertakan ikut lomba gerak jalan tersebut, namun dengan syarat tidak akan mengganggu kelompok lain. Mereka pun sangat gembira dan menyepakati perjanjian tersebut. Kebetulan saya meminta seorang kawan sebagai guru honorer SD Swasta untuk melatih kami berlatih gerak jalan, dia pun menyambut dengan senang hati.
Tim Pelengkap yang Selalu Dilecehkan
Menjelang hari-H acara lomba, saya bersama kawan guru honorer SD (sang pelatih) memberitahukan kepada pengurus RW bahwa kami sudah berlatih dan siap untuk ikut lomba tersebut. Kemudian salah satu pengurus RW memberikan setumpuk kaos seragam dengan alasan kurang dana untuk beli celana training, seraya berseloroh ia menyebut kelompok kami khan cuma sebagai ‘tim pelengkap’. Saya pun terdiam marah karena merasa dilecehkan, namun kawan saya meredam seraya berbisik “sudah terima saja, yang penting kita bisa ikut lomba”.
Acara lomba gerak jalan dalam rangka HUT-RI untuk tiap tim sebanyak 17 anggota dengan jarak 17 KM, maka dengan serta merta kaos seragam terbagi rata sudah kepada kelompok ‘kaum duafa’. Untungnya mereka mau memahami keadaan, kemudian mereka berusaha mencari pinjaman celana training dan sepatu olah raga (bagi yang tidak punya). Saya merasa terharu dengan sikap ‘legowo’ (padahal mereka ada pula yang preman pelabuhan dan mantan pencoleng) dan rasa solider dari kawan lainnya yang tidak ikut lomba, sibuk mencari-cari pinjaman barang tersebut.
Tiba keeseokan hari, dipagi buta, kami pun berkumpul untuk berangkat menuju tempat lomba, hampir terjadi keributan kembali karena mobil carteran tidak cukup mengangkut ketiga tim peserta lomba yakni dua tim (tim cowok dan cewek) dari kelompok ‘duileh’ dan kelompok kami ‘duafa’. Kami merasa marah karena untuk kali kedua kami merasa dilecehkan, namun saya berusaha melerai dan disepakati agar kelompok kami naik biskota. Dengan pemberian uang transport sekedar untuk naik biskota, kami pun berangkat dengan terburu-buru seraya berlarian menuju jalan raya untuk menunggu bis. Bisa dibayangkan, kelompok ‘duafa’ ber -17 orang rela berdiri dan berdesak-desakkan di dalam biskota yang sesak penumpang menuju  Lapangan Monas, Jakarta.
Kami pun datang terlambat menuju acara lomba karena agak lama menunggu biskota. Kami pun disuruh mendaftarkan sendiri ke panitia lomba, saya bersama kawan-kawan tidak mau ribut kembali dan segera mencari panitia untuk mendaftar (ternyata tidak ada biaya pendaftaran alias gratis). Bukan itu saja nasib tragis yang dialami kelompok kami, beberapa kawan ada yang ingin mengundurkan diri karena merasa minder melihat peserta lainnya yang berseragam lebih ‘wah’ (mungkin memang sudah penyakit orang miskin ngkali ya?). Beragam peserta berkumpul dari berbagai kelompok, ada yang berasal dari instansi, kelompok pemuda, yayasan, bahkan dari militer. Sekali lagi kami saling menasehati dan memberi semangat dan membuat perjanjian/kesepakatan untuk mencapai finish bersama.
Akibat banyaknya tata cara keprotokoleran dengan sambutan dari berbagai pejabat, akhirnya acara lomba gerak jalan dimulai saat menjelang siang. Hanya bermodalkan semangat, ditengah perjalanan kami merasa iri melihat tim-tim lainnya yang diperlakukan istimewa oleh iringan mobil kelompoknya yang men-suplai minuman dingin dan snack, sementara kelompok kami hanya bermodalkan roti dan ‘aqua gelas’ melakukan gerak jalan dibawah panas yang terik.
Kreatif Muncul Demi Pacu Semangat
Benar saja, di pertengahan jalan sudah banyak beberapa peserta tim yang mulai ‘ambruk’ kelelahan karena cuaca yang sangat terik. Demikian halnya dengan kami, sekerat roti tandas dan air yang hanya beberapa teguk ludas semua. Beruntung kami bertemu mobil carteran (pengangkut kelompok ‘duileh’ yang diubah sebagai tim suplai makanan) yang memberikan roti dan ‘aqua gelas’. Bukan itu saja, kelompok kami menjadi lebih bersemangat karena yang memberikan adalah seorang gadis cantik dengan senyuman, siapakah dia?. Dia adalah ‘gadis kembang’ kampung kami, sebaya dengan saya, anak Pak RW bernama Wiwin (yang turut membantu sebagai tim suplai makanan setelah menyerah kelelahan tertinggal oleh timnya (tim gerak jalan perempuan).
Selain itu, kami memiliki tim strategi/pemantau (bentukan RW yang dengan berkendara motor) yang menghitung ketepatan waktu. Sebelum kami mencapai pos-pos untuk melapor, tim pemantau tersebut akan memberitahukan dengan kode-kode tertentu, apakah kami harus berjalan cepat untuk mengejar waktu atau berjalan lebih lambat. Saya pun mempunyai strategi khusus menyikapi kode tersebut. Jika ingin memperlambat jalan, saya teriakkan “ Wiwin.. dibelakang!”, dan sebaliknya jika mempercepat langkah dengan teriakkan “Ayo kejar,... Wiwin di depan !”.
Ketika mencapai se-pertiga jalan yang telah kami lewati, rombongan tim lainnya pun sudah terlihat menjauh karena kami dahului satu persatu. Hampir di setiap jalan sudah banyak peserta yang bergeletakkan karena lelah dan cuaca panas, dan banyak tim yang tidak lengkap lagi anggotanya. Namun ada juga tim yang berbuat curang (tentu saja tanpa sepengetahuan panitia/juri) dengan menggantikan salah satu peserta dengan anggota tim yang baru. Bahkan kami sanggup melewati tim berasal dari militer yang mulai terlihat kelelahan berjalan dengan lunglai (kami pun tidak melihat tim kelompok ‘duileh, padahal kami termasuk kelompok terakhir saat ‘start’ akibat terlambat mendaftar). 
Sebagai ketua regu, saya tetap memompa semangat kawan-kawan untuk tetap fokus berjalan sesuai dengan ikrar atau janji semula. Berbagai lagu penyemangat dan yel-yel kami teriakkan untuk memacu semangat, bahkan apabila ada yang merasa loyo kami bergantian (termasuk saya juga merasa kelelahan) memberi semangat termasuk kata-kata kasar sekalipun (dengan caci-maki) bagi peserta yang ingin menyerah serta untuk ingat janji yang kita sepakati. Apakah janji itu? Yakni “Hanya karena kaki patah peserta boleh keluar dari tim ini atau akan kami patahkan kakinya setelah pulang nanti..”. 
Tiba beberapa puluh meter menjelang finish, semua kekuatan yang ada nampaknya sudah terkuras habis, bahkan tim pemantau kami berkali-kali memberikan kode untuk segera mempercepat langkah karena kekurangan waktu banyak di pos terakhir. Kami memang sempat berhenti sementara, ketika ada anggota kami yang terlihat lemas dan terpaksa diguyur sisa air “aqua gelas” masing-masing. Saya pun kesulitan dan kehabisan akal mencari cara agar tim dapat memacu langkah lebih cepat lagi. Akhirnya saya memberi kode kepada tim pemantau bermotor untuk segera mendekati dan membisikkan sesuatu kepadanya dan disambut dengan anggukan.
Tiba-tiba sebuah mobil (yang ternyata mobil tim suplai ) berjalan perlahan mendekati regu kami yang sudah terlihat sangat loyo dan berjalan terseok-seok. Lewat jendela samping mobil tersebut, tersembul wajah gadis manis dengan hiasan senyum mengembang serta melambaikan tangan kepada kelompok kami. Saat mobil ingin menjauh, dia berteriak keras seraya melambaikan tangan “ Kalau kalian bisa mencapai finish lebih cepat, boleh pegang tangan saya!!..”. Benar saja, bagaikan tersiram air hujan di terik panas, semua anggota mendapat energi baru dan bergegas kaki kami melangkah dengan cepat (bahkan saya sempat tertinggal) dan kami pun mencapai finish.
Kami disambut gembira oleh tim pemantau seorang pengurus RW yang melihat arloji sebentar dan mengacungkan jempol “ gila bener, kalian makan atau kerasukan setan apa sih... bisa melaju dengan cepat!” dan tentu saja beliau membimbing gadis tadi sebagai ‘hadiah’. Apa yang terjadi?, justru bukan menyalami kami satu persatu, anak Pak RW tersebut justru memeluk kami dengan suka cita karena sebagai tim yang bisa mencapai finish dengan peserta lengkap. Lebih lucu lagi, kawan-kawan saya yang preman terlihat jengah dan malu-malu ketika dipeluknya (ha..ha preman koq bisa lebay!).
Usai pulang, pada malam harinya kami berkumpul seperti biasa ditempat ‘tongkrongan’ alias di perempatan jalan dekat rumah. Seorang kawan (kelompok ‘duileh’) mendatangi kami dan meminta untuk datang ke kantor RW saat itu pula. Kami pun saling memandang, ulah apa lagi yang dibuat ? karena hal tak biasa hingga Pak RW memanggil kami bersama-sama. Sebelum berangkat, saya pun bertanya dengan marah “ siapa yang tadi sore berbuat ulah, ngaku hah?... Pak RW sudah berbuat baik kepada kita dengan mengajak lomba plus dikasih kaos gratisan!”, semua menggelengkan kepala pertanda bingung.
Jangan Pernah Lihat Orang dari Penampilan Luar
Dengan hati bertanya-tanya kami mendatangi kantor RW, ternyata sudah banyak orang disana yang menanti. Biasanya ada keramaian dikantor RW, jika terjadi keributan antar warga atau ada rumah warga yang kemalingan, tanyaku dalam hati. Ketika kami masuk kantor RW, kami disambut hangat oleh Pak RW dan pengurus lainnya dengan penuh senyuman dan di meja Pak RW nampak sebuah Piala Kejuaraan. Pak RW berkata dengan wibawa “ Kami sangat kagum dan meminta maaf atas kelakuan kami selama ini,...sungguh tidak disangka, kalian yang kami anggap sebagai perusuh ternyata dapat mengharumkan nama RW kita di Pemda DKI sebagai Juara II Lomba Gerak Jalan HUT-RI se- DKI”.
Kami pun hanya bisa melongo dan bertanya “ Apa benar Pak,.. bagaimana mungkin kami juara dan bukankah kita pulang bersama-sama?”.  Kemudian salah seorang pengurus RW sebagai ketua tim gerak jalan menjelaskan “ benar, kami pun tidak menyangka bisa menang.... kebetulan Pak Ahmad yang sengaja ditinggal untuk mengurus sertifikat, mendengar bahwa nomor tim kalian disebut berkali-kali sebagai Juara II”, lanjutnya “ memang kalian kalah dari penilaian kostum, tapi nilai terbaik diperoleh karena kalian satu-satunya peserta yang lengkap mencapai finish tanpa ada ‘sisipan peserta’ ditengah jalan... Sangat disayangkan, seharusnya kita ada disana untuk merayakan kegembiraan bersama-sama”.
Hore!!!, kelompok ‘duafa’ yang selalu dilecehkan, di-anaktiri-kan karena sebagai tim ‘pelengkap’ dari kampung kumuh dengan beranggotakan sebagian adalah preman dan pemuda pengangguran bisa memenangkan lomba kejuaraan bergengsi yakni Juara II Lomba Gerak Jalan HUT-RI Se DKI. Sebagai ungkapan perhatian dan rasa suka cita, Pak RW memberikan amplop kepada kami sebagai uang ‘kadeudeh’. Kami pun berpesta-pora merayakan kemenangan di tempat ‘tongkrongan’, dengan segera memanggil tukang mie rebus ‘pikulan’ yang biasa mangkal disitu dan memborong semua, dia pun berkata “ Wah saya bisa tidur sore nih... karena dagangan saya langsung cepat habis”.

------- ooO0Ooo -----

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cinta NKRI sebagai Jargon semata!

Siapkah Kita Menerima Segala Konsekuensi Demi Remunerasi ?