Memahami Terjadinya Konflik atas Perubahan Kebijakan
Memahami Terjadinya Konflik atas Perubahan Kebijakan
(Patut dibaca bagi pejabat baru atau yang mutasi maupun promosi di tempat baru)
Pengantar
The exercise of violence can not be avoid when conflicting interest are at stake (Sigmund Freud, 1932) | Pernahkah anda mengalami konflik dalam bertugas?, terutama saat anda pertama menduduki suatu jabatan baru atau berada di tempat baru entah karena mutasi atau di promosi. Hampir sebagian besar orang dalam bekerja pasti mengalaminya. Terutama saat kita menerima kebijakan baru, sementara itu kita sudah begitu familiar (lekat) dengan kebijakan lama. Setiap manusia atau organisasi pasti mengalami perubahan, dan pada lazimnya perubahan tersebut tidak serta merta dapat kita terima begitu saja. Selalu ada resistensi atau penolakan baik secara terang-terangan atau diam-diam atas perubahan tersebut, apalagi jika perubahan tersebut mempengaruhi kepentingan kita. |
Namun yang menjadi permasalahan adalah bagaimana jika kita yang diamanatkan agar rekan kerja atau bawahan/staf mau menerima perubahan kebijakan, atau justru kita sendiri sebagai pembuat kebijakan yang akan berusaha mencoba menerapkan dalam lingkungan kerja karena kita anggap lebih efektif dibandingkan kebijakan sebelumnya. Yang menjadi permasalahan adalah jika penolakan atau pertentangan tersebut begitu kerasnya walau kita sudah mencoba dengan berbagai upaya. Apa yang harus kita lakukan dan bagaimana cara menyikapi permasalahan tersebut?. Dalam tulisan ringan ini (yang disadur dari salah satu penulis kolumnis di media terkenal), saya hanya ingin mengupas sedikit (bukan mencari solusi terbaik) mengapa terjadi konflik atau pertentangan yang begitu keras. Dan diharapkan jika mengetahui akar permasalahan yang sebenarnya, kita akan dapat mencari solusi atau penyelesaian yang lebih baik.
Resistensi/penolakan atas perubahan Kebijakan
Sudah galibnya kita sebagai manusia tidak menginginkan adanya perubahan, terutama bila kita telah berada dalam kondisi yang nyaman (comfort zone). Keseharian kita dalam rutinitas bertugas selama bertahun-tahun dalam organisasi sebetulnya itu yang sangat kita inginkan. Bahkan jika ada perubahan kita menginginkan hal itu terjadi secara perlahan ketika kita siap menerimanya ( I want if I ready to give atau I take it if I want). Kalau pun perubahan itu harus terjadi, secara ideal kita menginginkan adanya titik temu (equlibrium) secara mulus atau smoothly atau adanya kesepahaman antara pihak pembuat kebijakan dan penerima kebijakan.
Namun dalam dunia modern dengan perubahan teknologi yang serba cepat maupun informasi yang sudah mengglobalisasi tanpa batas wilayah (bordless country) menyebabkan kita menerimanya tanpa sempat lagi kita mengambil nafas. Oleh karena itu benturan kepentingan atau konflik pasti akan terjadi antara keduanya (penerima dan pembawa perubahan/kebijakan) tanpa sempat lagi kita membuat kesepakatan tertentu. Hampir setiap hari kita selalu membaca atau melihat di media massa (cetak atau elektronik) bentrokan atau konflik terjadi di berbagai penjuru daerah dengan beragam permasalahan.
Padahal kalau kita amati sejenak mungkin konflik terjadi justru diawali dengan hal-hal yang sepele dan bukannya pada permasalahan yang sebenarnya. Permasalahannya adalah mengapa konflik yang terjadi selalu berujung dengan kekerasan yang membabi buta?, Benarkah konflik dengan kekerasan milik masyarakat bawah (berlatar pendidikan rendah)?, Mengapa hal tersebut bisa terjadi?
Memahami latar belakang Konflik
Ahli psikolog terkenal, Sigmund Freud menyatakan bahwa konflik dan kekerasan berada dimana-mana (omni present), konflik terjadi karena sifat dasar manusia yang keras kepala dengan kepentingannya. Kepentingan yang keras kepala karena adanya dorongan alamiah manusia (human nature) dalam memperjuangkan keberadaan/eksistensi di lingkungannya, antara lain meliputi ideologi, kekuasaan, identitas dan kekayaan.
Terkadang sifat keras kepala dengan kepentingan sebagai penyebab terjadinya mobilisasi kekuasaan secara membabi buta (contentious). Mereka dengan sumber daya yang dimilikinya menggunakan kekuatan untuk mencapai tujuan atau mempertahankan kepentingannya. Kelompok yang memiliki sumber daya ekonomi akan mengerahkan anggotanya untuk mendestabilisasi proses untuk menentang kebijakan yang ditetapkan oleh pemimpin baru. Ada pula yang menggunakan kekuatan dari kekuasaan primordial etnis atau keagamaan, dengan menggerakkan anggota komunitasnya untuk menyerang atau menentang kebijakan pemimpin baru tersebut.
Menurut Kandel Englander (2008), berbagai variable sumber daya kekuasaanlah sebagai penyebab kompleksitas perilaku kekerasan (the complexity of violent behaviour) yang sulit dikontrol dan dikendalikan oleh sistem organisasi atau masyarakat. Englander mengatakan bahwa puncak terjadinya perilaku kekerasan dalam konstelasi kekuasaan merupakan gabungan antara hostile dan instrumentalia aggression.
Hostile aggression merupakan aksi pertentangan/kekerasan yang berorientasi pada pemuasaan emosional terkait dengan harga diri. Si Penguasa dengan kewenangannya tanpa sadar telah menyinggung harga diri masyarakat/kelompok sehingga memaksa kelompok tersebut memobilisasi kekuatan untuk menentangnya dengan keras. Sedangkan instrumentalia aggression adalah pertentangan yang terjadi dari akumulasi sebagai upaya untuk meraih tujuan tertentu. Misalnya, pola penunjukkan pemimpin yang tidak sesuai dengan keinginan mereka dengan mencari titik lemah (dianggap tidak syah) terhadap proses penetapan pemimpin tersebut termasuk kebijakannya.
Seiring dengan perubahan jaman, pada dasarnya manusia berusaha melembagakan mekanisme untuk mengatur dan mengelola proses memperjuangkan eksistensi dasar dalam dunia sosial. Douglas C. North dalam bukunya ‘Violence and Social Order’ (2009) menyatakan bahwa mekanisme yang dimaksud dikenal dengan institutional constraint. Artinya, mekanisme kelembagaan tersebut memiliki legitimasi agar pihak-pihak tertentu tidak menekan kepentingannya. Yang jadi permasalahan adalah siapa yang mampu mengorganisir institutional constraint tersebut?.
Max Webber menjelaskan bahwa negara sebagai organisasi yang mampu melakukan hal tersebut. Berdasarkan sejarah, Webber mengatakan pada jaman dahulu negara yang dimaksud dipengaruhi oleh model monarki yakni raja atau rejim yang dapat mengorganisir institutional contraint. Namun untuk jaman sekarang yang demokratis, C. North menyebutkan institutional constraint dilandasi oleh hak publik yang berlandaskan perdamaian yakni menekan kelompok-kelompok yang tidak berhak menggunakan kekerasan untuk mengagregasi kepentingannya.
Agregasi tersebut disalurkan dalam jalur komunikasi secara formal sesuai prosedur demokrasi dengan tidak melanggar perdamaian. Oleh karena itu, dalam organisasi hendaknya diatur prosedur dan kewenangan secara jelas untuk mengakomodir atau menekan kepentingan sesuai dengan tujuan organisasi.
Simpulan
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kita sebagai pejabat/selaku pembawa amanat kebijakan atau aturan harus mengetahui lebih dahulu kondisi area (field area) sebelum menerapkannya sesuai dengan prinsip Sun-Tzu “kenalilah lawan sebelum menyerang” dengan hal-hal sebagai berikut :
a. Sadarilah bahwa setiap perubahan atau kebijakan baru pasti mengandung penolakan pada awalnya.
b. Kajilah lebih dahulu kebijakan atau aturan dengan melakukan test-case atau test-area sebelum diterapkan secara langsung secara keseluruhan.
c. Buatlah beberapa alternatif/modifikasi jika terjadi penolakan secara terus menerus yang meningkat secara signifikan.
d. Didalam organisasi manapun selain pemimpin formal pasti ada pemimpin informal dalam suatu kelompok yang akan mempengaruhi tingkat penerimaan kebijakan tersebut.
e. Kenalilah lingkungan (mendengarkan lebih baik dari pada mengarahkan), termasuk mengenal karakter dari masing-masing kelompok informal agar dapat menyesuiakan lebih dini untuk penerpana kebijakan tersebut.
f. Jangan pernah percaya informasi (atau sebatas data/angka) dari bawahan di bawah satu level bahwa kebijakan anda telah diterapkan tanpa ada ekses apa pun. Lakukan monitoring (bila perlu inspeksi mendadak) apakah kebijakan telah diterapkan dengan baik.
g. Dlsb.
Ide Penulisan : Transformasi Konflik dalam Pemilu, Novri Susan (sosiolog UNAIR), Koran Tempo, 30 Juni 2010
Komentar
Posting Komentar