Pentingnya Penerapan Kepemimpinan Profetik Untuk meningkatkan Akhlak Dalam Organisasi
A. Pengantar
Menjelang
akhir bulan suci ramadahan 1442 H ada baiknya kita bermuhasabah atau melakukan
perenungan diri selaku hamba Allah yang menjadi khalifah dimuka bumi ini.
Terutama untuk melakukan introspeksi diri apakah perilaku, semangat hidup serta
jalan hidup yang kita lalui sudah mengikuti tuntunan dalam kitab
suci Al-qur’an yang di ejawantahkan melalui sikap perilaku tauladan Nabi Muhammad
SAW. Rasulullah Muhammad SAW diturunkan ke bumi untuk dijadikan panutan sebagai
manusia yang berakhlak mulia karena memiliki sikap empati, simpati dan
kepedulian terhadap sesama, sesuai dengan Hadits Nabi : “Sesungguhnya
aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia” (HR Muslim).
Seperti
kita ketahui, di era akhir jaman ini pesatnya perkembangan teknologi dan
kemajuan jaman dalam kehidupan masyarakat telah terjadi pergeseran nilai dan
perilaku yang luar biasa memprihatinkan. Pilar-pilar akhlak dan etika makin
tergerus oleh serbuan budaya dan kultur asing yang tidak baik, baik melalui
media cetak dan elektronik, maupun melalui dunia maya atau internet. Serbuan
tersebut tidak dapat kita bendung, karena teknologi telah menembus dunia kasat
mata tanpa batas jarak dan lokasi. Melalui situs-situs dunia maya yang bisa diakses selama 24 jam,
bahkan transaksi untuk memenuhi kehidupan bisa dilakukan sambil tiduran di rumah
atau kita bebas menonton berbagai acara show atau berita apa saja.
Teknologi informasi dan komunikasi terkini memang banyak memiliki
manfaat bagi kehidupan kita. Namun disisi lain juga banyak mudharat atau ekses negatif
karena adanya budaya dan kultur yang tidak cocok yang bisa sebagai bencana sosial
dan menimbulkan perilaku negatif, karena ternampak dari perilaku anak bangsa
yang sudah melanggar tata istiadat dan norma yang berlaku. Oleh karena itu, sdh
saatnya kita lakukan usaha untuk menanggulangi dan mengatasi keterpurukkan secara
sistemik dan berkesinambungan untuk kembali kepada khittah menauladani seorang
pemimpin umat agar terhindar dari kehancuran budaya bangsa melalui penetrasi
merubah paradigma dan mindset pola pikir kita. Memang tidak ada salahnya jika
kita mengadopsi teknologi dan budaya positif serta sistem dan manajemen bangsa
asing, namun harus kita sesuaikan dengan budaya kearifan lokal terutama perilaku
yang jauh dari nilai-nilai agama.
B. Rasulullah
Sebagai Tauladan Umat dan Pemimpin Yang Berakhlak Mulia
Rasulullah
saw dihadirkan oleh Allah ke muka bumi ini, sebagai figur yang memiliki empati,
simpati, dan kepedulian yang sangat kuat dan tidak bisa bersikap acuh tak acuh
ketika melihat, menghadapi situasi ketidakadilan dan kesengsaraan yang
dirasakan oleh umatnya yang beriman. Beliau juga merupakan insan yang
berintegritas karena dalam bertindak dan berperilaku selalu konsisten antara
ucapan dan tindakan.
Ketika Nabi
Muhammad SAW mengajak dan menyeru kepada umatnya untuk beribadah, beliau selalu
memulai dengan memberi contoh sebagai teladan terlebih dahulu. Dalam hal shalat
misalnya, beliau menegaskan: “shallu kama raaitumuni ushalli” artinya
“shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat”. Dalam ibadah haji
pun, beliau menegaskan : “khudzu ‘anni manasikakum” artinya “ambillah dari aku
dalam tata cara berhaji kalian”. Allah SWT berfirman: “Sungguh bagi kalian,
Rasulullah saw adalah teladan yang baik, bagi orang-orang yang berharap
mendapat ridha Allah, (kehidupan yang indah di) hari akhir, dan berdzikir
kepada Allah dengan memperbanyak dzikir” (QS. Al-Ahzab: 21).
Dalam kehidupan keseharian, beliau adalah sosok yang sangat
menghormati tamu, tetangga, dan tentu saja keluarganya. Tutur katanya bagus,
sopan, lembut dan amanah, dan memposisikan orang lain sebagai sosok yang harus
dihormati. Dalam bertutur kata, beliau menegaskan : “barang siapa yang beriman
kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik, atau lebih baik diam
(kalau tidak biasa berkata baik)”. Demikian juga, barangsiapa beriman kepada Allah
dan hari akhir, maka hormatilah tetangganya”. Dalam kehidupan bermasyarakat,
bernegara, dan berpemerintahan senantiasa teguh dalam menjunjung tinggi akhlak
yang mulia. Dalam berdagang dan meletakkan kehidupan ekonomi beliau
mengharamkan cara-cara ribawi yang mana para kapitalis mengeksploitasi kepada
para mereka yang kurang mampu.
Beliau adalah pemimpin agama, Negara, dan pemerintahan
sekaligus. Dalam kehidupan politik, beliau meletakkan prinsip dasar komunikasi
politik, sebagaimana Firman Allah: “Maka dengan kasih sayang Allah kamu
bersikap lembut kepada mereka, dan apabila kamu bersikap kasar lagi keras hati,
maka sungguh mereka akan lari dari sekelilingmu, maka maafkanlah mereka, dan
mohonkan ampunan mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam suatu urusan,
maka apabila kamu berniat mengerjakan sesuatu maka berpasrah dirilah kepada
Allah sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakkal” (QS. Ali
‘Imran: 129).
C.
Pengertian Kepemimpinan Profetik Berdasarkan
Pola Kepemimpinan Nabi
Apakah
Kepemimpinan Profetik?, ada baiknya kita mengupas pengertian kepemimpinan profetik
dari berbagai literatur. Dalam hal ini penulis akan mencoba mengupas dari hasil
penelitian Elitya Rosita Dewi et all, Fakultas Agama Islam, Universitas
Muhammadiyah Malang berjudul “Konsep Kepemimpinan Profetik”.
a)
Definisi Kepemimpinan
Definisi
Kepemimpinan menurut Robbins (2011:410) adalah “leadership is the ability to
influence a group toward the achievement a vision or set of goals.”.
Kepemimpinan adalah kemampuan mempengaruhi kelompoknya untuk mencapai tujuan
institusi. Dengan demikian, kepemimpinan bisa diartikan sebagai usaha pemimpin untuk
mempengaruhi, mendorong, membimbing, mengarahkan, dan menggerakkan bawahan agar
dapat bekerja secara efektif dalam rangka mencapai tujuan organisasi yang telah
ditetapkan.
Sedangkan
menurut McShane (2008:402) berpendapat, “leaders apply various forms of
influence to ensure that followers have the motivation and role clarity to
achieve specified goals”. Bawahan akan termotivasi ketika pimpinan mampu
mempengaruhi dan memberikan arahan dalam mencapai tujuan organisasi dimana
mereka sebagai anggotanya. Kepemimpinan berkaitan dengan kemampuan mempengaruhi
seseorang atau sekelompok orang untuk bertindak.
Menurut
Newstorm (2007:159), “leadership is the process of influencing and
supporting others to work enthusiastically toward achieving objectives”. Kepemimpinan
adalah proses mempengaruhi dan mendukung bawahannya untuk bekerja giat mencapai
tujuan organisasi. Berdasarkan uraian di atas, dapat disintesiskan kepemimpinan
adalah tindakan seseorang dalam mempengaruhi dan mengarahkan bawahannya untuk
mencapai tujuan organisasi melalui indikator : (1) adanya bimbingan (2) adanya
suruhan (3) adanya arahan (4) adanya dorongan (5) adanya pengambilan keputusan
yang melibatkan bawahan.
b)
Definisi Profetik
Adapun
menurut Fadhli (2018: 121) kata profetik berasal dari bahasa Inggris prophet
yang berarti nabi atau ramalan. Karena penggunaanya yang sebagai kata sifat
maka kata prophet tersebut menjadi kata prophetic atau dalam bahasa indonesia
mejadi profetik yang berarti kenabian. Istilah profetik di Indonesia sendiri
diperkenalkan pertama kali oleh Kontowijoyo melalui gagasannya mengenai
pentingnya ilmu sosial transformatif yang disebut ilmu sosial profetik.
Ilmu
sosial profetik tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial, tetapi
juga memberi petunjuk ke arah mana transformasi dilakukan, untuk apa, dan oleh
siapa. Ilmu sosial profetik mengusulkan perubahan berdasarkan cita-cita etik
dan profetik tertentu (dalam hal ini etik Islam), yang melakukan reorientasi
terhadap epistimologi, yaitu reorientasi terhadap made of tought dan made of
inquiry bahwa sumber ilmu pengetahuan tidak hanya berdasarkan rasio dan empiris
semata, tetapi juga dari wahyu (Rifaudin, 2017: 50-51). Maka berdasarkan
beberapa penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa profetik itu merujuk pada
suatu sifat kenabian.
Berdasarkan
penjabaran tersebut, maka menurut Widayat (2014: 27), kepemimpinan profetik
adalah kemampuan mengendalikan diri dan mempengaruhi orang lain dengan tulus
untuk mencapai tujuan bersama sebagaimana dilakukan oleh para nabi, dengan
pencapaian kepemimpinan berdasarkan empat macam yakni, sidiq, amanah, tabligh,
dan fathonah. Hal tersebut sesuai dengan El Syam bahwa “prophetic leadership
is a model of leadership played by a choice of God (Prophet), to help mankind
from the path of darkness (ulumāt), which means: ignorance, humiliation,
backwardness, arbitrariness, monopoly, oligopoly, anarchy, instability,
materalism, religious blasphemy, and others, toward the path of light (nūr),
which means truth and science, for the development of human life”.
Dengan
demikian kepemimpinan profetik adalah model kepemimpinan yang diperankan oleh
seseorang pilihan Tuhan (Nabi), untuk membantu umat manusia dari jalan
kegelapan (ulumat), yang berarti ketidaktahuan, penghinaan, keterbelakangan,
kesewenang-wenangan, monopoli, oligopoli, anarki, ketidakstabilan, materialism,
penistaan agama, dan lain-lain, terhadap jalan cahaya (nur), yang berarti
kebenaran dan sains, untuk pengembangan kehidupan manusia. Maka pada intinya,
kepemimpinan profetik merupakan suatu cara memimpin guna mempengaruhi seseorang
dengan merujuk pada prinsip dan sifat kenabian.
D. Penerapan Kepemimpinan Profetik Dalam Organisasi
Kepemimpinan
profetik merupakan konsep kepemimpinan yang disusun atas dasar sudut pandang
agama, dalam hal ini agama Islam untuk dapat diimplementasikan dalam kehidupan
bermasyarakat. Inti dari kepemimpinan profetik ialah seorang pemimpin yang
harus mencerminkan sifat-sifat yang dimiliki oleh para Rasul dan Nabi, yaitu:
siddik, amanah, tabligh, dan fatanah. Raharjo dalam Machsun Rifaudin (2017: 51)
menjelaskan sosok pemimpin tauladan harus memenuhi 4 pilar suri tauladan para
Nabi dan Rasul, yakni: a) Siddiq, yaitu jujur, benar berintegrasi tinggi dan
terjaga dari kesalahan, benar dalam bertindak berdasarkan hukum dan peraturan.
b) Amanah, yaitu dapat dipercaya, memiliki legitimasi dan akuntabel dalam
mempergunakan kekayaan/fasilitas yang diberikan. c) Tabligh, yaitu senantiasa
menyampaikan risalah kebenaran, tidak pernah menyembunyikan yang wajib
disampaikan dan tidak takut memberantas kemungkaran dan sebagainya. d)
Fathanah, yaitu cerdas, memiliki intelektual, emosional dan spiritual yang
tinggi dan profesional, serta cerdik bisa mencari jalan keluar dari berbagai
kesulitan.
Berdasarkan
teori kepemimpinan, pengimplementasian kepemimpinan profetik pada zaman Nabi
Muhammad dapat digolongkan sebagai kepemimpinan yang bersifat situasional.
Dikatakan kepemimpinan tersebut bersifat situasional karena Nabi Muhammad
menerapkan kombinasi tipe kepemimpinan berdasarkan situasi yang sedang dihadapi,
yakni ada tiga tipe kepemimpinan yang diterapkan oleh Nabi Muhammad SAW, yaitu
kepemimpinan otoriter, kepemimpinan laissez faire, dan kepemimpinan demokratis.
Ketiga tipe kepemimpinan tersebut diterapkan berdasarkan situasi dan kondisi
yang dihadapi Nabi Muhammad antara lain sebagai berikut.
1)
Kepemimpinan Otoriter
Tipe
kepemimpinan otoriter menggambarkan pemimpin yang mendikte, membuat keputusan
sepihak dan membatasi partisipasi bawahan. Perwujudan kepemimpinan otoriter
Nabi Muhammad terlihat dalam sikap tegas beliau saat menanggapi orang kafir dan
dalam memberikan hukuman serta pelaksanaan petunjuk dan tuntunan Allah. Demikian
halnya, dalam melaksanakan aturan yang telah diperintahkan dan diwahyukan oleh
Allah SWT ada beberapa ibadah yang tidak dapat ditawar-tawar seperti shalat, zakat,
dan haji.
2)
Kepemimpinan Laissez
Faire
Tipe
kepemimpinan laissez faire (pembiaran) menggambarkan pemimpin yang memberikan
kesempatan pada kelompok untuk membuat keputusan dan menyelesaikan pekerjaan sendiri
dengan cara apa pun yang menurut mereka pantas. Beliau tidak memaksa seseorang
dengan kekerasan, Ketika dalam dakwahnya kepada setiap manusia dan diberi
kebebasan dalam memilih agama yang dipeluknya. Beliau hanya diperintahkan Allah
untuk memberi seruan dan peringatan kerugian bagi yang sombong dan angkuh
menolak, serta seruan keberuntungan bagi yang mendengar seruannya. Apabila ada
yang menolak beriman kepadanya, beliau tidak memaksa namun tetap memberi
peringatan kepada mereka. Melalui tipe kepemimpinan laissez faire yang
diterapkan, nabi muhammad berusaha untuk menumbuhkan tanggung jawab dari
pribadi masing-masing.
3)
Kepemimpinan Demokratis
Tipe
kepemimpinan demokratis menggambarkan pemimpin yang melibatkan bahwa dalam
membuat suatu keputusan , mendelegasikan wewenang, dan menggunakan umpan balik
untuk melatih bawahan. Kepemimpinan Rasulullah yang bersifat demokratis
terlihat pada kecendrungan beliau menyelenggarakan musyawarah, terutama jika
menghadapi masalah yang belum ada wahyunya dari Allah SWT. Kesediaan beliau
sebagai pemimpin untuk mendengarkan pendapat, bukan saja dinyatakan dalam
sabdanya, tetapi terlihat dalam praktik kpemimpinannya. Musyawarah diijadikan
sebagai sarana tukar menukar pikiran dan di dalamnya masing-masing orang dapat
mengemukakan pendapatnya serta menyimak pendapat orang lain.
E. Penutup
Demikian
uraian mengenai pola kepemimpinan Nabi Muhammad SAW yang mungkin dapat
dijadikan suri tauladan bagi pemimpin untuk melaksanakan tugas dan peran sesuai
dengan tujuan yang telah ditetapkan. Keberhasilan seorang pemimpin untuk
mempengaruhi, mendorong, membimbing, mengarahkan, dan menggerakkan bawahan agar
dapat bekerja secara efektif dapat terlaksana apabila pemimpin lebih dulu
menauladani dari cerminan perilakunya.
Sikap
dan perilaku pemimpin hendaknya mencerminkan dengan menerapkan intergritas dalam bersikap seperti yang diamanahkan nabi
Muhammad untuk bersikap shiddiq (integritas dalam satu kata dan perbuatan dalam
bersikap), amanah (dapat dipercaya), tabligh (selalu jujur dan tegas bertindak
menyampaikan sesuatu kebenaran atau tidak bersikap plin-plan atau pandang dulu)
dan fathonah (bersikap professional dengan kecerdasan emosional). Apabila
ke-empat sikap ini diterapkan, maka akan memberi motivasi kepada bawahan untuk
melaksanakan tugas dengan baik.
Penerapan
pola manajerial kepemimpinan secara profetik merupakan kombinasi beberapa tipe
kepemimpinan sesuai dengan kondisi yang terjadi. Dalam hal kondisi tertentu,
pemimpin bersikap tegas atau bersikap zero tolerance untuk menegakkan
kedisiplinan dan aturan. Selanjutnya, pemimpin juga secara sabar memberikan
penjelasan kepada bawahan atas tugas yang diemban dan bersedia mendengar dalam
suatu diskusi untuk memberikan kebebasan berpendapat untuk mencari solusi yang
terbaik dalam pemecahan masalah. Sikap demokratis yang diterapkan tidak hanya
berdasarkan voting atas suara terbanyak dalam pegambilan keputusan, tetapi
memperhatikan pula kepentingan minoritas (termasuk emansipatif secara gender)
sehingga keputusan yang diambil dilakukan secara komprehensif dengan
mempertimbangkan berbagai perspektif serta risiko yang terkecil atas dampak
yang terjadi.
Sumber
Literatur:
1.
Prof. Dr. Ahmad Rofiq, MA, Guru Besar Pascasarjana UIN Walisongo,
Semarang, “Bercermin dan Meneladani Rasulullah”, Jatengdaily.com, 2020.
2.
Elitya Rosita Dewi, Chechen Hidayatullah, Dwi Oktaviantari,
maulida Yuniar Raini, Fakultas Agama Islam, universitas Muhammadiyah Malang, “
Konsep Kepemimpinan Profetik”, Al-Muaddib: jurnal Ilmu-ilmu Sosial dan Keislaman,
Vol.5 No.1, 2020.
Komentar
Posting Komentar