Pelibatan Kearifan dan Budaya Lokal (Perspektif Antropologis) Sebagai Faktor Sukses Penerapan Pola Pembangunan Di daerah
A. Pengantar
Melanjutkan
artikel di media kompasiana sebelumnya (18/4/2021) dengan judul “Pergeseran
Nilai Budaya dan Masyarakat atas Hak Tanah Ulayat Akibat Kemajuan Ekonomi dan
Pembangunan”, seolah ada rasa keter-penasaran penulis untuk menelusuri penyebab
fenomena yang terjadi. Adanya kemajuan ekonomi dan pembangunan yang alih-alih untuk
mensejahterakan masyarakat setempat justru memiliki dampak negatif bagi
penduduk asli karena terjadi pergeseran nilai budaya, bahkan penggerusan atau dilusi
atas pelestarian budaya masyarakat dan hukum adat setempat.
Adanya
perubahan orientasi atau pergeseran nilai adat budaya dan hak atas tanah ulayat
adat dimasa kini memiliki dampak akibat adanya pembangunan dan kemajuan ekonomi,
tidak hanya terjadi di tanah papua melainkan disemua wilayah tanah air kita. Dengan
demikian sangatlah wajar sering terjadi bentrokan atau friksi sosial yang
terjadi, dimana masyarakat adat mencoba mempertahankan
tanah adat sebagai warisan leluhurnya, namun disisi lain adanya desakan
kebutuhan ekonomi telah menggeser pola pemikiran sebagian masyarakat adat
setempat.
Hal
tersebut patut menjadi renungan kita bersama, mengapa para penentu kebijakan
dan perancang pembangunan di daerah seolah mengalami kegagalan (menjadi
sia-sia) karena hasil pembangunan justru tidak dinikmati masyarakat atau
penduduk asli yang seharusnya sebagai tujuan atau stakeholder utama. Apakah ada
kesalahan konsep dalam pola strategi pembangunan dan penerapannya?.
B. Pembangunan
Di Papua
Sejak adanya Penentuan Pendapat
Rakyat (Pepera) di Papua Tahun 1969 di tanah Papua hingga saat ini, pemerintah
memiliki perhatian khusus terhadap Provinsi Papua dalam rangka mensejajarkan
dari ketertinggalan dengan provinsi lainnya dengan menggenjotkan berbagai
pembangunan di Papua. Namun ada kesalahkaprahan dalam penerapan kebijakan,
karena pembangunan yang dilakukan seolah membuat semacam etalase modernisasi disana
namun tidak merefleksikan pembangunan untuk pemenuhan kebutuhan dasar
masyarakat Papua. Akibatnya, masyarakat Papua (selaku penduduk asli di Tanah
Papua) selama ini tidak merasakan atau menikmati pembangunan yang dilaksanakan
di tanah mereka.
Berbagai kebijakan
ditetapkan pemerintah dengan memberikan hak privilese dibandingkan daerah
lainnya, misalnya pada tahun 2001 Papua dan Papua Barat memperoleh status
daerah otonomi khusus berdasarkan UU nomor 21 Tahun 2001 untuk daerah Papua dan
UU Nomor 35 Tahun 2001 untuk daerah Papua Barat, bahkan diterbitkan Inpres
Nomor 5 Tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat. Adanya
hak otonomi khusus merupakan perbaikan kebijakan karena pembangunan sebelumnya
belum memberikan dampak nyata bagi masyarakat Papua, dimana pemerintah daerah diberi
kewenangan seluas-luasnya untuk merumuskan, menyusun, dan merancang strategi
pembangunan yang dibutuhkan oleh masyarakat setempat.
Padahal dengan status
otonomi khusus, Papua telah mendapatkan Alokasi Dana Khusus yang difokuskan di
bidang Kesehatan dan Pendidikan sebesar 2% dari total Dana Alokasi Umum (DAU)
nasional. Bisa dibayangkan dalam belasan tahun kurun terakhir sudah puluhan
triliun dana digelontorkan pemerintah untuk pembangunan di Papua. Dampak nyata
pembanguan untuk mempersempit jarak/kesenjangan dengan provinsi lainnya belum
ternampak secara jelas karena berdasarkan peringkat indikator kemajuan
pembangunan, Papua masih berada diperingkat terbawah dibandingkan provinsi lainnya
antara lain indikator buta huruf, putus sekolah, prevalensi penyakit menular,
dan lainnya.
C. Mencari
Penyebab Kegagalan Pembangunan di Papua
Kondisi yang terjadi patut
menjadi renungan kita bersama mengapa hal tersebut bisa terjadi?. Bukankah
pemerintah papua telah merumuskan strategi program pembangunan sesuai dengan
kebutuhan masyarakat disana. Belum lagi kekayaan alam papua yang begitu
berlimpah, bukankah juga sebagai modal dasar penerimaan Pendapatan Asli daerah
(PAD) sebagai tambahan dukungan dana pembangunan. Pertanyaan-pertanyaan
tersebut seharusnya menjadi kajian kita, kemungkinan ada kesalahan terkait
dengan paradigma pola pembangunan yang selama ini terjadi. Rasa penasaran
penulis sedikit terjawab setelah men-searching di google dan mendapatkan Buku
yang berjudul “Nilai-nilai Dasar Orang Papua Dalam Mengelola Tata Pemerintahan
(Governance): Studi Refleksif Antropologis” yang dibuat oleh Lembaga penelitian
kebijakan di Yogyakarta yakni Partnership for Governance Reform Centre for
Learning and Advancing Experimental Democracy Indonesia Forestry and Governance
Institute, tahun 2012.
Dalam buku tersebut
disebutkan bahwa terjadi kesalahkaprahan dalam pola pembangunan di papua. Pada
saat pembangunan terjadi sebelum adanya otonomi khusus, pola pembangunan lebih
berfokus atau paradigma “ pembangunan di Papua”, demikian setelah penetapan
otonomi khusus hanya bergeser ke paradigma “pembangunan untuk papua”. Mengapa
hal itu bisa terjadi?, salah satu penyebabnya adalah strategi dan perancangan pembangunan
kurang (tidak) memperhatikan aspek lokalitas atau kebijakan kearifan lokal
masyarakat papua.
Maksud “pembangunan untuk
Papua” adalah dalam penerapan kebijakan pola pembangunan hanya mencontoh atau
menjiplak (copy paste) pola pembangunan daerah Provinsi lain terutama
kesuksesan daerah kawasan wilayah barat Indonesia. Memang tidak ada salahnya
mengacu pola pembangunan agar bisa sesukses daerah lain, namun selayaknya perlu
disesuaikan dengan kondisi kedaerahan dan budaya masyarakat di sana.
Dengan demikian dalam
perancangan atau perumusan program pembangunan baik dari sisi perencanaan
maupun rencana kebijakan implementasinya masih menggunakan pendekatan atau
asumsi dan indikator daerah atau provinsi yang diacu dan menjadi kurang
realistis. Atau dengan kata lain, pola pembangunan yang diterapkan berbasis
rasionalitas untuk mengejar ketertinggalan dan bukan berbasis lokalitas untuk
memnuhi kebutuhan masyarakat papua. Alhasil, pembangunan yang dilakukan hanya
sebagai etalase bagi masyarakat papua atau demi kepentingan pemerintah pusat
karena dampaknya tidak meningkatkan nilai kemampuan masyarakat untuk meningkatkan
kesejahteran mereka sendiri.
D. Kesalahan
Paradigma Pola Pembangunan Yang Terjadi
Menurut buku tersebut juga
dijabarkan atas kegagalan pola pembangunan yang seharusnya dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. disebabkan karena 3 faktor yakni a) pertama, pola
pembangunan diasumsikan berdasarkan rasionalitas dan perilaku administratif; b)
kedua, adanya perbedaan terhadap nilai-nilai yang ada di sana dan dianggap
bertentangan dengan asumsi tersebut, karena tidak rasional dan tidak manusiawi,
sehingga harus diberantas; dan, c) ketiga, pembangunan cenderung mengabai-remehkan
terkait adat dan budaya masyarakat yang dianggap penghambat dan justru tidak
dianggap sebagai potensi pembangunan.
1. Asumsi
Pola Pembangunan Cenderung Berdasarkan Rasionalitas Modern Dengan Prinsip Universal
Kesalahan-kaprahan
yang terjadi terhadap pembangunan di papua karena dalam perumusan kebijakan
berdasarkan asumsi rasionalitas modern dan perilaku administratif sebagai
prinsip universal. Dalam hal ini, penerapan pembangunan dilakukan dengan pola
seragam (bersifat universal) dan dianggap masyarakat papua homogen dan tidak
kreatif. Seharusnya para pemangku kebijakan melihat heterogenitas masyarakat papua
dengan permasalahannya sebagai dasar asumsi, sehingga pembangunan yang
diterapkan merupakan solusi untuk mengatasi permasalahan yang terjadi disana.
Hal
ini terjadi karena adanya pandangan dari para perumus kebijakan yang menganggap
bahwa rasionalitas harus bersifat tunggal (seragam) dan seolah-olah cukup
meng-clonning pembangunan dari daerah lain yang berhasil untuk diterapkan di
daerah yang dituju. Padahal permasalahan tidak semudah itu. Apa yang dianggap
baik suatu kelompok, belum tentu juga akan baik bagi kelompok yang lain, dan
sebaliknya. Baik dan buruknya sutau permasalahan merupakan suatu perspektif
yang dipengaruhi dari nilai-nilai yang hidup dan budaya yang berkembang dalam masyarakat.
Dengan demikian nilai yang berkembang di papua belum tentu sama dengan nilai
dan budaya yang berkembang di masyarakat Jawa.
Selain
itu, anggapan bahwa rasionalitas bersifat universal ini muncul karena adanya
anggapan bahwa manusia bukan makhluk dinamis-kreatif, tetapi makhluk pasif.
Padahal dalam kenyatannya, orang-orang yang hidup dalam masyarakat tradisional juga
termasuk makhluk kreatif dan dinamis. Dia akan selalu berada pada proses
dialektis dengan lingkungannya. Menurut Peter L. Berger dan Thomas Luckman
bahwa terhadap permasalahan tersebut perlu semacam proses internalisasi,
obyektivasi, dan eksternalisasi. Dalam proses dialektis ini, faktor pendidikan merupakan
salah factor yang memiliki peran sangat signifikan.
Perbedaan
orang yang berpendidikan dan tidak berpendidikan tidak hanya persoalan ijazah kelulusan
semata tetapi lebih kepada pengembangan paradigma berpikir yang menjadi pola pikir
masyarakat untuk melihat berbagai persoalan yang terjadi. Oleh karena setiap
individu berada pada posisi dialektis dengan lingkungannya, maka rasionalitas
yang muncul cenderung akan berubah seiring proses dialektis tersebut dan hal
tersebut bersifat lokalitas.
2. Adanya
Pandangan Para Perumus Kebijakan bahwa Nilai-nilai dan Budaya Lokal Sebagai Penghambat
Pembangunan
Akibat
lanjutan dari anggapan bahwa rasionalisasi dan sistem birokrasi bersifat
universal, maka keberadaan nilai-nilai lokal Papua yang sangat kaya dan merupakan
manifestasi dari pandangan hidup masyarakat Papua tidak mendapatkan ruang
sebagaimana mestinya dalam pembangunan. Dalam masyarakat, pandangan hidup ini
sangat penting karena ia merupakan panduan dan strategi bertindak bagi
masyarakat Papua. Oleh karena pembangunan yang dijalankan tidak memberikan
ruang terhadap aspek-aspek lokalitas, maka alih-alih pembangunan
mensejahterakan dan memperbaiki kehidupan masyarakat, yang terjadi adalah
kegagalan pembangunan itu sendiri.
Selanjutnya,
Pembangunan tidak semata-mata membangun infrastruktur jalan, membangun sekolah,
puskemas, dan simbol-simbol pembangunan lainnya, tetapi juga harus membangun
“jiwa” manusia Papua, yaitu membangun berdasarkan dan atau mempertimbangkan
nilai-nilai masyarakat Papua. Untuk merumuskan strategi pembangunan yang
berlandaskan kepada nilai-nilai Papua tersebut, para pengambil kebijakan perlu
memahami bahwa nilai Papua yang beraneka ragam merupakan potensi strategis
untuk menopang pembangungan Papua. Nilai Papua bukan ancaman pembangunan yang
harus diberantas atau disingkirkan, tetapi merupakan potensi yang harus
dikembangkan untuk membangun Papua seutuhnya.
Selain
itu, para pengambil kebijakan perlu juga memahami bahwa nilai-nilai dasar orang
Papua, sebagaimana nilai-nilai dasar dari masyarakat lainnya, memiliki basis
rasionalitas sendiri. Rasionalitas atas setiap nilai tersebut tidak terkait
dengan baik-buruknya nilai tersebut tetapi terkait dengan bagaimana masyarakat
Papua memahami nilainya. Pemahaman masyarakarat Papua terhadap nilai-nilai
dasar yang mereka miliki mungkin saja berbeda dengan pemahaman orang-orang
non-Papua terhadap nilai-nilai dasar orang Papua. Mungkin saja nilai dasar
orang Papua yang dianggap baik oleh orang Papua dipandang jelek oleh orang
non-Papua. Demikian juga sebaliknya.
3. Pembangunan
Membuat Masyarakat Lokal Teralienasi.
Salah
satu kekhawatiran mendasar dari pembangunan Papua yang tidak berbasis nilai
lokal adalah tercerabutnya masyarakat Papua dari akar lokalitasnya. Jika
kesadaran seperti ini tidak ditanamkan dalam perspektif para pemangku
kebijakan, baik orang Papua sendiri maupun non Papua yang terlibat dalam
pembangunan Papua, maka bukan mustahil strategi pembangunan yang dirumuskan
kehilangan spiritnya. Idealisme untuk membangun Papua agar lebih sejahtera dan
lebih bermartabat hanya akan menjadi jargon atau sebagai etalase semata, karena
selain pembangunannya materialnya sendiri gagal, nilai Papuanya juga hilang.
Papua
harus menjadi tanah harapan bagi semua rakyat Papua di mana mereka dapat hidup
layak, sejahtera, dan bahagia sebagaimana saudara-saudaranya di daerah lain.
Hal ini bukan mimpi jika pembangunan Papua didasarkan kebutuhan masyarakat,
melibatkan partisipasi masyarkat, dan berbasiskan nilai masyarakat Papua.
E.
Penutup
Pembangunan tidak
semata-mata kemampuan menarasikan dan menterjemahkan kebutuhan masyarakat dalam
bentuk program-program, tetapi bagaimana masyarakat dapat terlibat
(berpartispasi) dalam proses pembangunan. Terlibat dalam proses pembangunan
tidak saja berupa keterlibatan masyarakat (sebagai pekerja) untuk membangun,
tetapi juga keterlibatan masyarakat untuk memanfaatkannya. Karena hanya
keterlibatan masyarakat mulai dari proses pembangunan hingga pemanfaatan hasil
pembangunan, maka pembangunan akan memberikan manfaat signifikan terhadap
peningkatan taraf hidup dan martabat masyarakat.
Untuk mendorong partisipasi
aktif keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan, yang diperlukan adalah
pembangunan yang berbasis dan melibatkan potensi lokal masyarakat. Kesalahan
utama yang sering terjadi dalam paradigma pembangunan yang menganggap bahwa rasionalitas
modern memiliki nilai universal sehingga dapat diterapkan di masyarakat yang
memiliki kondisi yang berbeda-beda. Oleh karena itu, kegagalan terjadi tidak
disebabkan oleh tidak matangnya strategi program yang dijalankan, tetapi lebih
kepada dua hal, yaitu kegagalan membaca kebutuhan perioritas masyarakat dan
kegagalan dalam memahami nilai-nilai masyarakat dalam merumuskan strategi
pembangunan. Akibatnya, pembangunan yang dilakukan cenderung tidak mencerminkan
kebutuhan masyarakat pada satu sisi, dan memunculkan dampak konflik di
masyakarat atas resistensi pada sisi yang lain.
Salah solusi untuk mengatasi
permasalahan ini, hendaknya para penentu kebijakan dan perancang pola
pembangunan untuk mempertimbangkan dan/atau memberikan ruang kepada sistem
sosial dan budaya yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Dengan kata lain,
sistem birokrasi pembangunan di Papua harus diterjemahkan dan mempertimbangkan
sistem sosial-budaya yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.
Referensi:
1. Nilai-nilai
Dasar Orang Papua Dalam mengelola Tata Pemerintahan (Governance): Studi
Refleksif Antropologis, Partnership for Governance Reform Centre for Learning
and Advancing Experimental Democracy Indonesia Forestry and Governance
Institute, Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan, Jakarta, 2012.
Komentar
Posting Komentar