OTT Korupsi Dalam Pesta Demokrasi
Fenomena Tak Terbantahkan :
OTT Korupsi Dalam Pesta Demokrasi
Pengantar:
Melihat gelagat atau fenomena negeri yang memprihatinkan, seperti yang dilansir pada media surat kabar, semenjak dicanangkan Pesta Raya Demokrasi dalam Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) secara serentak dengan tujuan untuk mengefisienkan biaya atau anggaran penyelenggaraan Pilkada. Namun secara kontradiktif, Garda Pemberantas Korupsi atau KPK (Komisi Pemberantas Korupsi) tak bosan dan jenuh terus menggelar operasi OTT (Operasi Tangkap Tangan) Korupsi yang sebagian besar pelakunya adalah Bakal Calon (Balon) atau peserta Pilkada. Yang lebih mengherankan lagi, fenomena korupsi justru sudah menjalar ke sendi-sendi tiang soko negeri, entah pejabat negeri bahkan aparat penegak hukum. Mengapa hal tersebut bisa terjadi?.
Terkadang kita sering bertanya-tanya, benarkah seorang pimpinan organisasi dapat berbuat semena-mena melakukan tindakan penyimpangan tersebut?. Bukankah setiap organisasi seyogyanya memiliki pedoman tata cara atau tata kelola organisasi yang baik dan harus dipatuhi, bukankah setiap organisasi memiliki mekanisme atau ketentuan yang telah disepakati dalam berinteraksi antar sesama pegawai atau hubungan antar atasan dan bawahan. Namun demikian secanggih sistem atau seketat aturan atau pedoman apa pun, jika terjadi kolusi (kerjasama yang tidak baik antara pihak luar dan dalam organisasi) maka semua menjadi sia-sia.
A. Latar Belakang Manusia Berbuat Korupsi
Ragam teori korupsi sudah banyak bermunculan menganalisis permasalahan tersebut, namun tak satu pun bisa dijadikan solusi ampuh untuk mengatasi masalah korupsi. Seperti Teori Kebutuhan Maslow yang menjelaskan bahwa kebutuhan manusia tak sekedar kebutuhan dasar seperti sandang, pangan dan papan, tetapi butuh kebutuhan aktualisasi diri untuk dapat dihargai sebagai manusia dalam status sosial atau bermasyarakat. Atau Jack Bologne yang terkenal dengan Teori GONE yakni penyebab terjadinya korupsi disebabkan adanya sifat tamak atau rakus (Greedy), Peluang atau kesempatan (Opportunity), Kebutuhan yang mendesak (Needs) dan perlunya penampilan diri (Expose). Dan masih banyak lagi teori lainnya.
Kembali lagi ke permasalahan, Gejala OTT yang dilakukan KPK kepada para Balon atau peserta Pilkada terkait korupsi sering dianggap akibat rendahnya moral atau akhlak semata, namun kita harus menganalisis untuk memperoleh akar permasalahan yang sebenarnya. Korupsi itu tidaklah dilakukan sendiri seperti halnya pencuri yang kemudian pelakunya bisa ditangkap dan selesai persoalan.
B. Faktor Lain Yang Mendorong Manusia Berbuat Korupsi
Menurut Jeffrey Winters dalam bukunya Oligarchy (2011) menjelaskan bagaimana Oligarki dapat bertahan dalam struktur politik yang demokratis. Dengan kata lain, perilaku koruptif para elit politik, dalam kacamata ini, dapat dilihat sebagai tendensi para elit politik menjadi bagian dari Oligarki atau perantara atas kepentingannya.
Sedangkan menurut ilmuwan Marxis-Empiris, Adam Pszeworski (2003) yang perlu diperhatikan dalam mempelajari demokrasi adalah bagaimana akses uang dalam proses politik. Menurut Pszeworski, kekuatan ekonomi (economic power) dalam bentuk akses dan penguasaan kapital bisa diubah menjadi kekuatan politik (politic power) atau sebaliknya. Dan yang jadi perhatian bahwa sumber daya material yang dimiliki masing-masing elit politik tidak sama, sehingga dimungkinkan akan terjadi suatu konspirasi menciptakan peluang untuk berbuat korupsi.
C. Kebiasaan Buruk Menormalisasi Korupsi Menjadi Lazim
Pada prinsipnya agama mana pun melarang orang untuk berbuat korupsi. Namun karena faktor kebutuhan dan desakan lingkungan, seseorang terpaksa melakukan tindakan penyimpangan tersebut walau tidak sesuai dengan sikap yang dimiliki. Akan tetapi adanya alasan faktor rasionalisasi tersebut, kejadian yang berulang-ulang bisa menjadi suatu norma/kebiasaan yang tidak sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Tindakan tersebut oleh Bandura (1999) dikenal sebagai moral dis-engagement.
Moral disengagement inilah sebagai faktor mengapa seseorang dapat melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang tanpa merasa bersalah. Dengan kata lain, adanya justifikasi (alasan pembenaran) atas suatu kondisi penyimpangan secara rasional dan dilakukan secara berulang menjadikan suatu norma tersendiri yang merubah sikap/ perilaku seseorang.
Yang lebih berbahaya lagi, apabila perilaku individu tersebut terjadi dalam suatu kelompok atau komunitas atau organisasi bahkan dalam suatu kelembagaan. Jika individu-individu yang memiliki Moral disengagement menguatkan satu sama lain, maka akan berdampak buruk bagi organisasi karena akan mempengaruhi individu lainnya. Adanya praktek/modus yang berulang dan adanya kecenderungan kelompok atau individu yang mempertahankan keuntungan atas perilaku tersebut, menyebabkan tindakan penyimpangan atau korupsi sebagai tindakan yang dapat diterima. Kondisi atau fenomena inilah oleh Nieuwenboer dan Kaptein (2008) disebut dengan Divergent Norm atau Normalisasi Korupsi.
Suatu komunitas atau kelompok cenderung akan melakukan suatu tindakan tertentu untuk membedakan dari kelompok lain. Setiap individu yang terlibat dalam komunitas atau kelompok cenderung akan mematuhi sebagai suatu sikap yang mentaati suatu ketentuan yang telah disepakati bersama. Saingan antar kelompok atau komunitas cenderung meningkatkan kohesivitas internal kelompok dan akhirnya akan merasionalisasi suatu sikap tertentu walaupun berbeda dengan norma masyarakat atau norma sosial.
Apabila divergent norm atau normalisasi korupsi terjadi dalam suatu kelompok, komunitas, organisasi atau bahkan dalam suatu instansi, korupsi dan gejalanya akan sulit sekali diberantas. Karena setiap individu dalam kelompok atau organisasi akan saling melindungi dan saling menguatkan, bahkan individu yang tidak melakukan korupsi bisa dianggap melenceng dari norma atau kondisi yang diciptakan.
Penutup
Sebagai penutup, fenomena korupsi yang terjadi justru semakin semarak dalam pesta demokrasi perlu kita lihat dari sudut negara, elit politik dan masyarakat. Dan hal ini bisa jadi pembelajaran bahwa membangun partai politik bukanlah hal yang mudah. Partai politik perlu belajar dari berbagai spektrum bagaimana membangun partai politik dan tidak sekedar hadir di saat Pemilu dengan proses politik secara seremonial saja. Parpol seyogyanya juga berbenah diri dalam memerangi praktek korupsi dengan menyeleksi basis keanggotaan partai dari akar rumput melalui sumber dana yang mandiri, akuntabel dan transparan.
Referensi:
1. Iqra Anugrah: Korupsi, Sebuah Pembelajaran akan Pentingnya Analisa Struktural, Harian IndoProgress, 27 Pebruari 2013.
2. M. Untung Manara, Normalisasi Korupsi: Tinjauan Psikologi, Proceeding Seminar Nasional “Improving Moral Integrity Based on Family“, Universitas Merdeka Malang, 28 Mei 2006.
OTT Korupsi Dalam Pesta Demokrasi
Pengantar:
Melihat gelagat atau fenomena negeri yang memprihatinkan, seperti yang dilansir pada media surat kabar, semenjak dicanangkan Pesta Raya Demokrasi dalam Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) secara serentak dengan tujuan untuk mengefisienkan biaya atau anggaran penyelenggaraan Pilkada. Namun secara kontradiktif, Garda Pemberantas Korupsi atau KPK (Komisi Pemberantas Korupsi) tak bosan dan jenuh terus menggelar operasi OTT (Operasi Tangkap Tangan) Korupsi yang sebagian besar pelakunya adalah Bakal Calon (Balon) atau peserta Pilkada. Yang lebih mengherankan lagi, fenomena korupsi justru sudah menjalar ke sendi-sendi tiang soko negeri, entah pejabat negeri bahkan aparat penegak hukum. Mengapa hal tersebut bisa terjadi?.
Terkadang kita sering bertanya-tanya, benarkah seorang pimpinan organisasi dapat berbuat semena-mena melakukan tindakan penyimpangan tersebut?. Bukankah setiap organisasi seyogyanya memiliki pedoman tata cara atau tata kelola organisasi yang baik dan harus dipatuhi, bukankah setiap organisasi memiliki mekanisme atau ketentuan yang telah disepakati dalam berinteraksi antar sesama pegawai atau hubungan antar atasan dan bawahan. Namun demikian secanggih sistem atau seketat aturan atau pedoman apa pun, jika terjadi kolusi (kerjasama yang tidak baik antara pihak luar dan dalam organisasi) maka semua menjadi sia-sia.
A. Latar Belakang Manusia Berbuat Korupsi
Ragam teori korupsi sudah banyak bermunculan menganalisis permasalahan tersebut, namun tak satu pun bisa dijadikan solusi ampuh untuk mengatasi masalah korupsi. Seperti Teori Kebutuhan Maslow yang menjelaskan bahwa kebutuhan manusia tak sekedar kebutuhan dasar seperti sandang, pangan dan papan, tetapi butuh kebutuhan aktualisasi diri untuk dapat dihargai sebagai manusia dalam status sosial atau bermasyarakat. Atau Jack Bologne yang terkenal dengan Teori GONE yakni penyebab terjadinya korupsi disebabkan adanya sifat tamak atau rakus (Greedy), Peluang atau kesempatan (Opportunity), Kebutuhan yang mendesak (Needs) dan perlunya penampilan diri (Expose). Dan masih banyak lagi teori lainnya.
Kembali lagi ke permasalahan, Gejala OTT yang dilakukan KPK kepada para Balon atau peserta Pilkada terkait korupsi sering dianggap akibat rendahnya moral atau akhlak semata, namun kita harus menganalisis untuk memperoleh akar permasalahan yang sebenarnya. Korupsi itu tidaklah dilakukan sendiri seperti halnya pencuri yang kemudian pelakunya bisa ditangkap dan selesai persoalan.
B. Faktor Lain Yang Mendorong Manusia Berbuat Korupsi
Menurut Jeffrey Winters dalam bukunya Oligarchy (2011) menjelaskan bagaimana Oligarki dapat bertahan dalam struktur politik yang demokratis. Dengan kata lain, perilaku koruptif para elit politik, dalam kacamata ini, dapat dilihat sebagai tendensi para elit politik menjadi bagian dari Oligarki atau perantara atas kepentingannya.
Sedangkan menurut ilmuwan Marxis-Empiris, Adam Pszeworski (2003) yang perlu diperhatikan dalam mempelajari demokrasi adalah bagaimana akses uang dalam proses politik. Menurut Pszeworski, kekuatan ekonomi (economic power) dalam bentuk akses dan penguasaan kapital bisa diubah menjadi kekuatan politik (politic power) atau sebaliknya. Dan yang jadi perhatian bahwa sumber daya material yang dimiliki masing-masing elit politik tidak sama, sehingga dimungkinkan akan terjadi suatu konspirasi menciptakan peluang untuk berbuat korupsi.
C. Kebiasaan Buruk Menormalisasi Korupsi Menjadi Lazim
Pada prinsipnya agama mana pun melarang orang untuk berbuat korupsi. Namun karena faktor kebutuhan dan desakan lingkungan, seseorang terpaksa melakukan tindakan penyimpangan tersebut walau tidak sesuai dengan sikap yang dimiliki. Akan tetapi adanya alasan faktor rasionalisasi tersebut, kejadian yang berulang-ulang bisa menjadi suatu norma/kebiasaan yang tidak sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Tindakan tersebut oleh Bandura (1999) dikenal sebagai moral dis-engagement.
Moral disengagement inilah sebagai faktor mengapa seseorang dapat melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang tanpa merasa bersalah. Dengan kata lain, adanya justifikasi (alasan pembenaran) atas suatu kondisi penyimpangan secara rasional dan dilakukan secara berulang menjadikan suatu norma tersendiri yang merubah sikap/ perilaku seseorang.
Yang lebih berbahaya lagi, apabila perilaku individu tersebut terjadi dalam suatu kelompok atau komunitas atau organisasi bahkan dalam suatu kelembagaan. Jika individu-individu yang memiliki Moral disengagement menguatkan satu sama lain, maka akan berdampak buruk bagi organisasi karena akan mempengaruhi individu lainnya. Adanya praktek/modus yang berulang dan adanya kecenderungan kelompok atau individu yang mempertahankan keuntungan atas perilaku tersebut, menyebabkan tindakan penyimpangan atau korupsi sebagai tindakan yang dapat diterima. Kondisi atau fenomena inilah oleh Nieuwenboer dan Kaptein (2008) disebut dengan Divergent Norm atau Normalisasi Korupsi.
Suatu komunitas atau kelompok cenderung akan melakukan suatu tindakan tertentu untuk membedakan dari kelompok lain. Setiap individu yang terlibat dalam komunitas atau kelompok cenderung akan mematuhi sebagai suatu sikap yang mentaati suatu ketentuan yang telah disepakati bersama. Saingan antar kelompok atau komunitas cenderung meningkatkan kohesivitas internal kelompok dan akhirnya akan merasionalisasi suatu sikap tertentu walaupun berbeda dengan norma masyarakat atau norma sosial.
Apabila divergent norm atau normalisasi korupsi terjadi dalam suatu kelompok, komunitas, organisasi atau bahkan dalam suatu instansi, korupsi dan gejalanya akan sulit sekali diberantas. Karena setiap individu dalam kelompok atau organisasi akan saling melindungi dan saling menguatkan, bahkan individu yang tidak melakukan korupsi bisa dianggap melenceng dari norma atau kondisi yang diciptakan.
Penutup
Sebagai penutup, fenomena korupsi yang terjadi justru semakin semarak dalam pesta demokrasi perlu kita lihat dari sudut negara, elit politik dan masyarakat. Dan hal ini bisa jadi pembelajaran bahwa membangun partai politik bukanlah hal yang mudah. Partai politik perlu belajar dari berbagai spektrum bagaimana membangun partai politik dan tidak sekedar hadir di saat Pemilu dengan proses politik secara seremonial saja. Parpol seyogyanya juga berbenah diri dalam memerangi praktek korupsi dengan menyeleksi basis keanggotaan partai dari akar rumput melalui sumber dana yang mandiri, akuntabel dan transparan.
Referensi:
1. Iqra Anugrah: Korupsi, Sebuah Pembelajaran akan Pentingnya Analisa Struktural, Harian IndoProgress, 27 Pebruari 2013.
2. M. Untung Manara, Normalisasi Korupsi: Tinjauan Psikologi, Proceeding Seminar Nasional “Improving Moral Integrity Based on Family“, Universitas Merdeka Malang, 28 Mei 2006.
Komentar
Posting Komentar