Burn Out: Kelelahan Fisik dan Mental Paramedis Menangani Wbah Virus COVID-19




A.   Pengantar
Pandemi virus corona atau COVID-19 di Indonesia sejak awal tahun hingga per tanggal 18 April 2020 telah menginfeksi 6.248 orang dan sembuh sebanyak 631 orang serta 535 orang meninggal dunia. Diantara yang meninggal, terdapat dokter dan paramedis yang tertular virus akibat merawat pasien di Rumah Sakit. Menurut Humas Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dr. Halik Malik per 5 April 2020 tercatat 18 orang dokter di Indonesia yang meninggal akibat positif terjangkit Covid-19, itu pun belum termasuk tenaga paramedis, atau mereka yang sedang dalam perawatan.

Sungguh sangat miris, di saat serangan wabah virus Corona yang tiada habis-habisnya, dokter dan tenaga paramedis yang sangat terbatas dan diandalkan dalam menangani pasien, justru banyak yang berguguran. Menurut Juru Bicara Tim Dokter Pasien Covid-19 RSUP Persahabatan Erlina Burhan, hal ini disebabkan jumlah pasien yang datang terkait virus semakin meningkat, sementara persediaan Alat Pengamanan Diri (APD) menipis dan tenaga medis yang terbatas sehingga berakibat mereka juga kelelahan. (Bisnis.com: Karena Corona Melonjak, Tenaga Medis Mulai Kewalahan, 7 Maret 2020).

B.   Kelelahan Fisik dan Mental yang Dialami Dokter dan Paramedis
Kedatangan pasien yang terjangkit virus COVID-19 secara bertubi-tubi ke rumah sakit membuat tenaga paramedis harus bekerja ekstra keras, bahkan ada beberapa rumah sakit dengan terpaksa menambah jam kerja (shift) untuk melayani pasien tersebut. Bisa kita bayangkan, selain harus bekerja ekstra keras mereka harus menghadapi puluhan pasien yang meninggal secara tiba-tiba (sebagian besar mereka depresi karena menganggap bahwa kematian seorang pasien adalah kegagalan mereka) dan mereka terpaksa harus menggantikan peran sebagai keluarga pasien untuk mengurus jenazah hingga penguburannya.

Kelelahan yang dialami oleh paramedis tidak sekedar fisik saja, namun tekanan mental bersifat emosional dan psikologi melanda mereka. Belum lagi rasa cemas dan takut melanda paramedis karena khawatir akan tertular virus pula dengan keterbatasan sarana pelindung diri atau APD yang dimiliki. Mereka juga harus melindungi keluarganya ketika pulang ke rumah (atau terpaksa menginap ditempat yang disediakan, ini juga menimbulkan rasa kangen yang luar biasa), termasuk adanya diskriminasi sosial masyarakat yang harus mereka hadapi (bahkan ada tenaga medis yang diusir oleh pemilik kost/kontrakan karena kuatir tertular), dsb.

Tanpa disadari banyak dokter dan paramedis sering mengalami rasa tertekan, depresi, kelelahan berlebihan, insomnia, kecemasan, atau bahkan ketergantungan pada zat adiktif karena pekerjaan, kondisi tersebut dinamakan job burnout. Job burnout adalah suatu kondisi fisik, emosi, dan mental yang sangat drop  diakibatkan oleh situasi kerja yang sangat menuntut dalam jangka panjang. Jika semakin terkumpul dan tak diatasi, hal ini mengarah ke stres tingkat tinggi.

C.   Pengertian Burn Out atau Kelelahan Bekerja
Apa sih Burn out itu? Menurut Muchlisin Riyadi dalam Artikelnya berjudul, Burn Out: Indikator, Faktor dan Gejala ( www.kajianpustaka.com)  disebutkan bahwa Burnout merupakan istilah psikologis yang digunakan untuk menunjukkan keadaan kelelahan kerja. Istilah burnout pertama kali diperkenalkan oleh Bradley pada tahun 1969, namun tokoh yang dianggap sebagai penemu dan penggagas istilah burnout adalah Herbert Freudenberger, dalam bukunya, Burnout: The High Cost of High Achievement pada tahun 1974, memberikan ilustrasi tentang apa yang dirasakan seseorang yang mengalami sindrom tersebut seperti gedung yang terbakar habis (burned-out).

Burnout merupakan gabungan dari tiga tendensi psikis, antara lain; kelelahan emosional (emotional exhaustion), sikap tidak peduli terhadap karir dan diri sendiri atau depersonalization, serta penurunan pencapaian individu (personal accomplishment) (Maslach & Jackson, 1981). Orang yang mengalami tekanan pekerjaan terus menerus akan mengalami depersonalization yang merupakan tendensi kemanusiaan terhadap sesama yang merupakan pengembangan sikap sinis mengenai karir dan kinerja diri sendiri (Pines & Guendlman, 1995). Para pekerja yang terkena kelelahan kerja (burnout) mengalami kelelahan mental, kehilangan komitmen, kelelahan emosional, dan juga mengalami penurunan motivasi seiring dengan berjalannya waktu (Bhanugopan & Alan, 2006).

Bagaimana cara mengetahui bahwa seseorang mengalami Burnout?, Menurut Baron & Greenberg ada empat indikator yakni kelelahan fisik atau physical exhaustion, kelelahan emosional atau emotional exhaustion, dan kelelahan mental atau mental exhaustion, serta rendahnya penghargaan diri atau low of personal accomplishment (Baron & Greenberg, 2003).

Kelelahan fisik dapat dialami seseorang dengan merasa kelelahan dalam kurun waktu tertentu dengan adanya keluhan seperti sakit kepala, mual, susah tidur, dan tidak nafsu makan, sering melakukan kesalahan atau tidak fokus dalam bekerja, dsb. (Baron & Greenberg 2003). Sedangkan kelelahan emosional merupakan bentuk perasaan sebagai hasil dari excessive psychoemotional demands yang ditandai hilangnya perasaan dan perhatian, kepercayaan, minat dan semangat (Pines & Aronson,1989).

Selanjutnya, seseorang yang mengalami kelelahan mental dapat diwujudkan dalam bentuk Depersonalization yakni tendensi kemanusiaan terhadap sesama yang merupakan pengembangan dari sikap sinis terhadap karier,dan kinerjanya sendiri (Cordes & Dougherty, 1993; dan Maslach, 2001). Seseorang yang mengalami depersonalisasi menganggap bahwa apa yang dia lakukan tidaklah berarti sehingga ia akan bersikap masa bodoh, selalu sinis, tidak berperasaan bahkan tidak memiliki empati kepada orang lain.

Yang terakhir, seseorang akan mengalami rasa rendah diri (Diminished personal accomplishment), hal ini  merupakan indikator dari kurangnya aktualisasi diri, rendahnya motivasi kerja dan penurunan rasa percaya diri. Seringkali kondisi ini terlihat pada kecenderungan dengan rendahnya prestasi yang dicapainya (Cordes & Dougherty, 1993; dan Maslach, 2001).

D.  Penelitian Tentang Paramedis Yang Menangani Wabah Virus Corona
Baru-baru ini di China, yang telah sukses menghadapi wabah virus, melakukan studi penelitian pada dokter dan tenaga kesehatan mengenai tekanan mental yang terjadi kasus wabah virus corona. Penelitian dilakukan terhadap 1.257 petugas kesehatan pada 34 rumah sakit dan klinik menemukan bahwa hampir tiga per empat dari mereka mengalami tekanan psikologis ketika berperang melawan virus tersebut. Kemudian dilaporkan bahwa setengah dari peserta menunjukkan gejala berkaitan dengan depresi, 44 persen di antaranya menunjukkan gejala kecemasan dan 34 persen menunjukkan adanya gejala insomnia.

Bahkan, sekitar 71 persen dari semua peserta yang diteliti menunjukkan adanya tanda-tanda tekanan psikologis. Gejala kesehatan mental paling parah terjadi pada perawat, wanita, dan petugas kesehatan di Wuhan, tempat wabah itu berasal. Studi tersebut menyatakan bahwa rata-rata wanita mengalami lebih banyak tekanan dibandingkan dengan pria, pekerja garis depan mengalami lebih banyak kesulitan daripada pekerja lini kedua. Petugas kesehatan di Wuhan, Hubei memiliki jumlah kasus psikologis tertinggi dan menunjukkan lebih banyak tekanan dibandingkan provinsi lainnya.
Sementara itu, sebuah studi lain yang dirilis pada 2007 menemukan bahwa setahun setelah wabah SARS di China pada 2003, petugas layanan kesehatan yang berada di garis depan ketika itu masih mengalami stres dan kecemasan yang tinggi. Demikian pula, studi lainnya yang dipublikasikan pada 2012 juga menemukan bahwa tiga tahun setelah wabah SARS, hampir seperempat karyawan rumah sakit di Beijing yang disurvei masih mengalami gejala depresi serupa.

Christine Carter, sosilolog dari Greater Good Science UC Barkeley Center mengatakan bahwa orang yang berada di garda depan COVID-19 mungkin mengalami trauma jangka panjang yang serupa dengan petugas kesehatan selama SARS. Di masa depan, ada kemungkinan mereka mengalami peningkatan kecemasan yang menimbulkan gangguan. Oleh karena itu, kita harus merencanakan perawatan untuk mereka karena akan lebih banyak perawatan kesehatan mental ketika semua ini berakhir.

Penelitian serupa juga dilakukan di negara Itali, Para peneliti mengatakan setelah tujuh pekan wabah virus corona melanda Italia. Adrenalin yang sebelumnya mendorong petugas medis terus bekerja kini digantikan oleh kelelahan dan rasa takut terinfeksi. Menurut Dr. Alessandro Colombo, Direktur Akademi Perawatan Kesehatan Wilayah Lombardy, Italia mengatakan walaupun tekanan pekerjaan para petugas medis di Italia saat ini mungkin sedikit mereda, namun tekanan emosional dan psikologis pandemi virus corona pada dokter dan perawat di negara itu kini meningkat.
Dari berita yang dilansir di negara tersebut, sudah dua orang perawat di Italia bunuh diri. Oleh karena itu pemerintah Itali memobilisasi para psikolog untuk melakukan terapi dan menyediakan layanan konsultasi gratis melalui internet untuk petugas medis. Beberapa orang di rumah sakit menggelar sesi terapi kelompok untuk para staf yang mengalami trauma melihat begitu banyak pasien meninggal.

E.   Penutup
Setiap hari banyak mata memandang angka-angka atau grafik data wabah virus COVID-19, namun tanpa sadar bahwa dibalik itu beragam kesibukan dokter dan paramedis yang terus berjuang menangani pasien yang terjangkit virus yang mengerikan. Kadang kita hanya mengucap kata rasa kasihan belaka pada mereka tanpa pernah merasakan betapa lelahnya baik secara fisik dan batin. Terkadang kita terlalu egois, demi keselamatan diri membeli masker Kesehatan terbaik sebagai Alat pelindung diri yang seharusnya diperuntukkan para dokter dan paramedis.

Kita hanya sekedar berempati lewat tulisan di dunia maya bahwa mereka pejuang kesehatan Tangguh yang patut disemangati, namun tidak terefleksikan dalam sikap sebenarnya. Ketika saat mereka pulang kerumah hanya sekedar melepas penat, justru diskrimasi sosial yang diperoleh. Masyarakat malah menjauhinya atau curiga lantaran kuatir akan tertular virus, padahal pastinya mereka tetap menjaga kesehatannya agar tidak menular.

Burnout atau kelelahan fisik dan tekanan mental yang dialami dokter dan paramedis yang bertubi-tubi dapat mempengaruhi kinerja dalam bertugas. Terutama kedisiplinan menggunakan APD (yang mungkin terbatas atau tidak memenuhi standar) atau kehilangan konsentrasi dalam bekerja dapat berakibat fatal yang justru membuat mereka tertular virus.

Patut menjadi perhatian Pemerintah atau pihak Rumah Sakit secara seksama memberikan perhatian khusus atas kelelahan mereka dalam bekerja, lantaran keterbatasan tenaga justru memaksa mereka menambah shift kerja. Demikian pula, secara berkala mereka harus diberikan bimbingan konseling dari ahli psikologi agar terhindar dari rasa trauma karena menghadapi pasien yang sekarat hingga melewati ajalnya.

Namun itu semua berpulang dari kita sebagai masyarakat, jika kita memang berempati hendaknya mentaati kebijakan pemerintah dan disiplin untuk selalu menjaga jarak (sosial dan fisik distansi) dengan berdiam di rumah. Janganlah egois lantaran tidak betah berhari-hari di rumah, anda langgar peraturan untuk keluar rumah untuk sekedar menghirup udara segar. Ingatlah keterbatasan rumah sakit menyediakan ruang isolasi dan tenaga para medis untuk memberikan perawatan, jangan sampai justru anda yang tertular dan sang maut menjemput dan menderita karena virus tersebut.

Referensi:
1.   1. Syaiful Milah, Studi: Petugas Kesehatan Virus Corona Alami Tekanan Psikologis, Bisnis.com, 24 Maret 2020.

2.  2. Rosyad Abdullah: Kelelahan dan Tekanan Psikologis Landa Petugas Medis Italia, www.galamedianews.com

3.  3. Muchlisin Riadi: Burnout (Kelelahan Bekerja); Indikator, Faktor dan Gejala, www.kajianpustaka.com, 26 Februari 2016.

4.   4. Kompas.com : Job Burnout, Kenali Gejala dan Atasi!, 12 Maret 2009.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen Auditor: Mengungkap Modus Operandi Pemeriksaan Dari Ketidaksengajaan

Cerpen Auditor : Mungkinkah Menyelamatkan Perusahaan Dari Analisis Teori Kebangkrutan?

Kisah Dibalik Kesuksesan Bergulirnya Kembali Kompetisi Sepakbola di Tanah Air