Intervensi Sosial Oleh PemerintahUntuk Mengatasi Gejolak Sosial Masyarakat Terkait Wabah (Bagian I)Virus Corona


Pengantar
Masih teringat di awal tahun baru 2020 ada sebuah video viral di medsos (media sosial) di sebuah kota di negara china nampak seseorang yang sedang berjalan tiba-tiba jatuh tanpa sebab dan meninggal seketika, kemudia terlihat lagi begitu banyak orang bergelimpangan di pinggir jalan dan berdatangan mobil ambulans dan paramedis mengangkut mereka ke rumah sakit, ada wabah penyakit apa disana?. Berselang beberapa bulan kemudian kita melihat juga melihat kepanikan negara eropa terutama negeri kecil Itali terserang wabah penyakit yang sama dan banyak juga orang-orang yang bergelimpangan di jalan.
Lantas berseliweran berbagai berita di media surat kabar memberitahukan bahwa negara China dan Eropa sedang terserang wabah virus flu yang dikenal dengan virus corona, virus yang berasal dari kelelawar yang menular kepada manusia. Tak sempat kita berpikir untuk memahami virus tersebut, wabah menjalar keseluruh negara eropa dengan begitu cepat. Banyak para ahli kesehatan memberikan berbagai tanggapan dan komentar dan kepanikan pun melanda para pemimpin negara tersebut untuk membuat kebijakan dalam memerangi wabah virus tersebut.
Kemudian beberapa bulan kemudian, kita pun tersentak tiba-tiba salah satu warga negara kita pun terkena virus yang mematikan. Entah karena ketidakpahaman, para ahli Kesehatan dan pemimpin negeri ini mencoba menenangkan masyarakat bahwa itu hanya kebetulan karena tertular dari salah satu warga asing yang datang kesini dan menyatakan bahwa negara Indonesia tidak akan terserang yang jauh jarak dari sumber wabah. Kepanikan masyarakat pun terjadi karena tiba-tiba banyak berita banyak warga yang terserang virus tersebut, tidak dalam hitungan bulan kini negeri kita terserang wabah virus tersebut.
Berkat kemajuan teknologi dan informasi melalui alat komunikasi canggih (Hand Phone), hanya dalam genggaman tangan maka rebakan berita begitu mudah kita terima. Namun pemerintah memberikan informasi yang berbeda (mungkin sesuai tugas pemimpin untuk mengayomi masyarakat agar tidak panik), disinformasi ini justru menimbulkan kegusaran dan kepanikan semakin menjadi di kalangan masyarakat. Tatkala pemerintah menyadari wabah virus yang merebak begitu cepat, maka pada saat dibuat kebijakan untuk mengatasi serangan wabah tersebut menimbulkan pertentangan di kalangan masyarakat. Disinformasi yang menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat justru menjadi beban tersendiri bagi pemerintah.
Ketika pemerintah Indonesia menetapkan kebijakan untuk memutus mata rantai wabah dengan menerapkan kebijakan berjaga jarak dalam kegiatan sosial atau Sosial Distansi, sosialisasi yang diterima masyarakat dalam respon bersikap menjadi berbeda. Sebagian masyarakat justru meminta pemerintah lebih serius untuk menangani wabah dengan kebijakan pengucilan diri atau lockdown, namun ada sebagian masyarakat justru menanggapi dengan enteng (cuek) yang menganggap sebuah virus biasa yang akan sembuh dengan sendiri melalui daya tahan tubuh (antibody) yang dimiliki setelah melewati masa inkubasi seperti virus flu biasa lainnya, atau dikenal dengan kebijakan pembiaran sendiri (herd immunity).
Sementara itu pemerintah sedang berjuang untuk mengerahkan segala sumber daya untuk mengatasi masyarakat yang terjangkit virus. Berbagai dokter dan paramedic dikerahkan termasuk menambah kapasitas rumah sakit, ketersediaan sarana dan alat kesehatan termasuk alat pengaman diri (APD) dan masker pun menjadi kendala, justru banyak dokter terbaik dan tenaga paramedic yang bertumbangan meninggal karena tertular virus tersebut. Namun disisi lain pemerintah mengalami kesulitan untuk melakukan sosialisasi dengan baik kepada masyarakat untuk mentaati peraturan dan kebijakan yang telah ditetapkan, karena serangan wabah di kalangan masyarakat semakin meningkat.
Tidak sampai disitu saja, akibat disinformasi yang menimbulkan ketidak percayaan membuat masyarakat mencari berita sendiri yang berseliweran di dunia maya menimbulkan masalah sosial yang baru. Akibat rendahnya budaya literasi pada masyarakat juga berdampak negatif karena masyarakat tidak mampu memilah dan memilih berita atau informasi yang diterima sehingga menimbulkan gejolak sosial atau kepanikan yang berlebihan dalam menanggapi wabah virus yang terjadi.
Gejolak sosial yang negatif terjadi atas cara masyarakat dalam bersikap dan bertindak dilingkungan. Adanya rasa ketakutan dan kecemasan yang berlebihan telah melunturkan budaya sosial masyarakat seperti rasa empati, saling tolong menolong dan gotong royong, dsb dan justru menimbulkan diskrimasi di antara masyarakat. Misalnya, timbul kecurigaan apabila ada warga luar yang masuk dilingkungannya bahkan pengusiran terhadap warga yang baru kembali dari daerah tertentu yang dianggap zona merah (daerah wabah) padahal belum tentu orang tersebut terjangkit virus. Adanya keengganan warga untuk menolong warga kesusahan dimana anggota keluarganya meninggal padahal bukan karena terjangkit virus, bahkan adanya penolakan bagi warga yang meninggal karena terjangkit virus untuk dimakamkan di daerahnya, dan lain sebagainya.
A. Gejolak Sosial: Perlakuan Diskriminasi Masyarakat
Sebenarnya gejolak sosial tidak hanya terjadi di negeri kita, akibat kepanikan dan kecemasan yang berlebihan pada masyarakat juga terjadi di luar negeri. Berbagai sikap masyarakat yang curiga berlebihan bahkan aparat negara pun ada yang bertindak berlebihan dalam mendisiplinkan masyarakat untuk mentaati peratuan dan kebijakan yang ditetapkan, seperti contoh berikut ini.
Seperti kejadian yang terjadi di negara Afrika, beberapa hari setelah pengumuman pembatasan itu, sebuah video beredar di media sosial yang memperlihatkan tindakan aparat negara Kongo yang dinilai berlebihan. Seorang petugas di ibukota memukuli seorang sopir taksi karena melanggar batas jumlah penumpang. Masyarakat Demokratik Kongo marah dengan perlakuan polisi dalam video tersebut. Kepala Serikat supir taksi Kongo Jean Mutombo mengatakan anggota organisasinya ingin mencari nafkah di masa sulit. "Kami meminta pengemudi untuk menghormati keputusan yang diambil oleh pihak berwenang untuk menghentikan penyebaran virus corona, tetapi pada saat yang sama, kami mengutuk segala tindakan kekerasan oleh polisi," kata Jean Mutombo, (Rmol.id dengan judul "Keterlaluan! Aparat Di Afrika Semena-mena Saat Beri Hukuman Bagi Pelanggar Aturan Lockdown", 11 April 2020).
Seorang perawat di RSUP Kariadi, Semarang yang dinyatakan positif corona meninggal dunia pada hari kamis (9/4/2020) siang. Rencana pemakaman perawat tersebut akan dimakamkan di Sewakul, Ungaran Timur, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Namun rencana tersebut berubah karena ada penolakan dari warga setempat. Penolakan pemakaman tersebut menjadi viral ( Tribunnews.com: Ketua RT Ungkap Alasan Menolak Jenazah Perawat Yang Positif Corona, 10 April 2020)
Seorang perawat di RS Persahabatan, Jakarta harus menerima perlakuan tidak menyenangkan di sekitar tempat tinggalnya. Sejak ia bekerja di RS sebagai tempat rujukan pasien positif virus corona, perawat ini harus menerima kenyataan diusir dari kost-nya. Padahal perawat tersebut sama sekali tidak bekerja di ruang isolasi penanganan untuk pasien virus corona. Sayang pandangan masyarakat kepada perawat tersebut tetap tidak berubah. Ia dianggap dapat menyebarkan virus corona lantaran bekerja di RS yang satu tempat dengan para penderita virus corona. ( Tribunnews.com: Dianggap Tularkan virus corona, Perawat Ini Diusir Dari Kos Dan Terpaksa Ngungsi, 25 Maret 2020)
Kejadian diskriminasi sosial terjadi di Australia, seorang siswa Malaysia (keturunan china) telah diusir dari apartemen tempat tinggalnya di Perth, Australia karena kekhawatiran si pemilik rumah tentang virus corona, ketika siswa tersebut baru saja pulang untuk mengunjungi keluarga untuk meraykan Tahun Baru Imlek, ia menemukan semua kunci pintu apartemennya telah diganti dan ada sebuah catatan yang ditempelkan di pintu depan. "Karena Anda telah gagal untuk tetap berhubungan dengan saya saat WHO sudah menyatakan Keadaan Darurat Global atas virus corona, Anda tidak lagi diterima di rumah ini." ( www.abc.net.au: Siswa Malaysia diusir karena pemilik takut virus corona, 13 Pebruari 2020).
B. Dampak Sosial : Disorganisasi dan Disfungsi Sosial
Saat awal ramai isu wabah virus corona, masyarakat Indonesia merespon fenomena global ini dengan berbagai reaksi. Ada yang merespon dengan tenang, serius, satire, sampai ada yang merespon dengan berbagai candaan. Hingga akhirnya pada 2 Maret 2020, Presiden Jokowi menyatakan bahwa ada dua warga Indonesia yang positif terjangkit virus corona. Pernyataan Presiden Jokowi rupanya mempengaruhi situasi dan kondisi psikologis dan sosiologis masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat yang tinggal di wilayah korban yang positif terjangkit virus corona.  Anne Kerr dalam bukunya yang berjudul  “Genetics and Society: A Sociology of Disease” menjelaskan bahwa fenomena wabah penyakit di masyarakat dapat membuat masyarakat mengalami kecemasan (anxiety) dan ketakutan (fear).
Pada awal sebelum Presiden Jokowi menyatakan ada warga Indonesia yang positif terjangkit virus corona, masyarakat Indonesia hanya memiliki rasa cemas atas berita wabah yang terjadi di negara lain. Rasa cemas merupakan suatu yang irasional dan objek ketakutan atas wabah virus corona di Indonesia belum terbukti dan nyata. Namun kondisi kecemasan itu kini berubah menjadi ketakutan setelah Presiden Jokowi mengumumkannya. Sebab rasa takut merupakan suatu yang rasional, karena sudah memiliki objek ketakutan yang jelas dan nyata. Yaitu, wabah virus corona sudah terjadi di Indonesia.
Rasa cemas dan ketakutan pada diri masyarakat atas wabah virus corona suatu yang manusiawi, namun jika tidak diatasi secara baik, secara sosiologis akan menimbulkan disorganisasi dan disfungsi sosial di masyarakat. Perlu dipahami, ciri otentik dari masyarakat adalah kedinamisan dalam perubahan di tatanan sosialnya saat mendapat stimulus tertentu – dalam hal ini rasa takut atas wabah virus corona.  Kondisi perubahan ini bersifat interpenden. Artinya,  sulit untuk dapat membatasi perubahan – perubahan pada masyarakat karena masyarakat merupakan mata rantai yang saling terkait.  Oleh karena itulah, disorganisasi dan disfungsi sosial menjadi suatu keniscayaan.
Disorganisasi pada masyarakat akan mengarah pada situasi sosial yang tidak menentu, sehingga dapat berdampak pada tatanan sosial di masyarakat. Wujud nyatanya berupa prasangka dan diskriminasi. Hal ini bisa dilihat dari berbagai pemberitaan di media seperti yang diungkap di atas tentang reaksi masyarakat saat terjangkit wabah virus corona. Misalnya, pengucilan kepada keluarga yang terjangkit virus dilingkungannya, pengusiran kepada tenaga medis yang bekerja di Rumah Sakit yang menyewa atau kost karena kekhawatiran pemilik akan tertular virus, tidak lagi datang memberi bantuan atau takziah kepada tetangga yang meninggal walaupun sakit secara normal, dsb.
Prasangka masyarakat ini tentu memiliki alasan logis. Sebab dalam perspektif epidemiologi, terjadinya suatu penyakit dan atau masalah kesehatan tertentu disebabkan karena adanya keterhubungan antara pejamu (host) – dalam hal ini manusia atau makhluk hidup lainnya, penyebab (agent) – dalam hal ini suatu unsur, organisme hidup, atau kuman infektif yang dapat menyebabkan terjadinya suatu penyakit, dan lingkungan (environment) – dalam hal ini faktor luar dari individu yang dapat berupa lingkungan fisik, biologis, dan sosial.  Kenneth J. Rothman dkk. (2008) dalam buku “Modern Epidemiology” menjelaskan bahwa kondisi keterhubungan antara pejamu, agen dan lingkungan adalah suatu kesatuan yang dinamis yang jika terjadi gangguan terhadap keseimbangan hubungan diantaranya, inilah yang akan menimbulkan kondisi sakit.
Selain disorganisasi sosial, disfungsi sosial juga akan terjadi akibat rasa takut atas wabah virus corona. Disfungsi sosial membuat seseorang atau kelompok masyarakat tertentu tidak mampu menjalankan fungsi sosialnya sesuai dengan status sosialnya. Hal yang paling nyata bisa kita lihat dibeberapa pemberitaan media atas reaksi para tenaga kesehatan (perawat dan dokter) yang mulai mengalami rasa takut akan terjangkit virus corona saat mereka memberikan pelayanan perawatan (caring) maupun pengobatan (curing) pada pasien yang diduga bahkan terjangkit virus corona. Rasa takut ini membuat para tenaga kesehatan tidak maksimal menjalankan fungsi sosialnya. Contoh, masyarakat tidak hanya membatasi kontak sosialnya dengan orang yang terjangkit virus termasuk ada seseorang yang tiba-tiba pingsan di jalan padahal bisa jadi karena stroke atau terserang jantung karena penyakit biasa.
Disfungsi sosial membuat individu justru mengalami gangguan pada kesehatannya. Dalam perspektif sosiologi kesehatan, kondisi sehat jika secara fisik, mental, spritual maupun sosial dapat membuat individu menjalankan fungsi sosialnya. Jika kondisi sehat ini terganggu – dalam kasus ini terganggu sosialnya. Kondisi sakit di sini sebagaimana yang dikemukakan Talcott Parsons (1951) dalam bukunya “The Social System”, bahwa ia tidak setuju dengan dominasi model kesehatan medis dalam menentukan dan mendiagnosa individu itu sakit. Bagi Parsons, sakit bukan hanya kondisi biologis semata, tetapi juga peran sosial yang tidak berfungsi dengan baik. Parsons melihat sakit sebagai bentuk perilaku menyimpang dalam masyarakat.
C. Kebijakan Pemerintah pada Masyarakat Dalam Pencegahan Wabah Virus
Pemerintah Indonesia dalam hal ini sudah mengeluarkan berbagai kebijakan dalam rangka pencegahan wabah virus dengan melakukan sosialisasi baik melalui media sosial maupun secara fisik kepada masyarakat untuk penerapan Sosial dan Fisik Distansi, hal ini dalam rangka memutus mata rantai virus. Namun akibat simpang siurnya berita dan banyak beredar berita yang berseliweran di media sosial tentang virus dan dampak virus disikapi dengan berbagai respon oleh masyarakat, ada yang meremehkan dengan membuat meme atau berita candaan seolah virus ini tidak cukup berbahaya, akan tetapi banyak pula yang justru menyikapi secara berlebihan dengan mengharapkan lockdown total.
Karena Indonesia termasuk negara yang terserang wabah pada gelombang kedua Seolah dari nominal angka yang terjangkit virus masih dianggap tidak mengkhawatirkan dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Namun demikian melihat jumlah masyarakat yang terjangkit virus semakin meningkat, maka pemerintah melakukan peningkatan kewaspadaan yakni menetapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Aturan pelaksanaan PSBB diatur dalam PP Nomor 21 Tahun 2020 dan Keppres Nomor 11 Tahun 2020.
Dalam status seperti ini, berarti setiap orang dibatasi untuk menggelar aktivitas sosial yang melibatkan banyak tamu, apapun alasannya. Kegiatan pembatasan meliputi meliburkan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, pembatasan kegiatan di tempat umum, pembatasan kegiatan sosial budaya, pembatasan moda transportasi, dan pembatasan kegiatan lainnya khusus terkait aspek pertahanan keamanan.
Kebijakan berikutnya terkait menjelang Idul Fitri nanti, pemerintah melalui Menteri terkait telah menetapkan kebijakan untuk Melarang Mudik. Mudik merupakan acara tradisi unik bagi Indonesia karena pada umumnya menjelang Idul Fitri atau Lebaran, akan terjadi eksodus besar-besaran warga kota untuk pulang ke kampung halamannya di desa. Pergerakan masyarakat tersebut tidak bisa dihindari akan terjadi kerumunan atau persinggungan natar manusia yang mungkin menjadi pemicu semakin merebak wabah virus corona, karena sperti diketahui bahwa virus Covid-19 dapat juga ditularkan oleh manusia yang sehat namun sebagai pembawa virus. 
(Silahkan Baca Berikutnya di Bagian II)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cinta NKRI sebagai Jargon semata!

Siapkah Kita Menerima Segala Konsekuensi Demi Remunerasi ?