Pentingnya Analisis Sebaran Wabah Virus Dalam Mendeteksi Pergerakan Virus COVID-19
Pengantar
Saat
ini dunia sedang diserang oleh suatu mahluk yang tidak kasat mata, rasanya kita
berada di alam mimpi atau seperti sedang menonton film multi dimensi - karena
bukan seolah-olah nyata tetapi memang nyata-, bumi ini diserang virus wabah
yang dikenal coronavirus yang sudah bermutasi DNA menjadi New Coronavirus Tahun
2019 atau COVID-19. Virus Corona yang awal mulanya ditularkan kepada hewan atau
manusia berasal dari binatang pengerat atau kelelawar, kini yang terjadi virus
tersebut bermutasi DNA atau dapat menularkan antar manusia.
Awal
musibah munculnya virus tersebut terjadi di negeri China, negara besar nan
digdaya yang justru sedang melakukan penelitian virus-virus wabah yang pernah
terjadi, Pusat penelitian virus tersebut berada di kota Hubei, Provinsi Wuhan,
disana terdapat suatu Lembaga penelitian terbesar di China yang sedang
melakukan penelitian virus E-Bola karena baru saja terjadi serangan wabah
tersebut yang melanda daerah Afrika Selatan, termasuk melakukan penelitian
virus lainnya seperti SARS atau MERS yang dulu dikenal dengan flu burung yang
juga sempat menghebohkan dunia karena menyerang binatang ternak unggas.
Laksana
sebuah film fiksi, entah berita ini benar dan sebagian pemerhati atau media
menganggap sebagai teori konspirasi, bahwa diam-diam pemerintah china sedang
membuat suatu virus membahayakan sebagai senjata biologi (bio-weapon) sebagai
senjata efektif dan efisien karena senjata konvensional membutuhkan biaya besar
untuk memobilisasi seperti senjata nuklir yang kini menjadi andalan bagi negara
besar yang butuh alat pertahanan apabila ada serangan. Sekali lagi entah berita
itu benar, virus yang dianggap senjata biologi tersebut tiba-tiba bocor keluar
wilayah atau daerah pusat penelitian di Wuhan. Akhirnya virus corona tersebut
menjadi wabah penularan di daerah sekitar yang sempat membuat panik negara
china untuk mengatasi serangan wabah virus tersebut.
Akan tetapi berita sebenarnya
bahwa virus korona tersebut bermutasi sesuai dengan perkembangan jaman seiring
perubahan sistem ekologi dan lingkungan hidup. Menurut Wikipedia bahwa virus
corona memang pernah terjadi penularan kepada manusia namun tidak sehebat virus
corona mutasi terbaru saat ini. Virus corona pertama
kali ditemukan pada 1930-an ketika infeksi saluran pernapasan akut pada ayam
peliharaan terbukti disebabkan oleh virus bronkitis infeksius (IBV). Kemudian pada
1940-an, ditemukan dua jenis coronavirus hewan yakni virus hepatitis tikus (MHV) dan virus gastroenteritis menular (TGEV), pengendaliannya
wabah virus tersebut dengan mengisolasi sumber wabah. Sedangkan Virus
korona menular kepada manusia pertama kali ditemukan pada 1960-an, yang pada
awalnya peneliti menyimpulkan sebagai virus korona yang menular manusia
dengan gejala flu biasa dan dikenal dengan human corona virus 229E dan human coronavirus OC43. Coronavirus manusia lainnya telah
diidentifikasi adalah viruskorona yang dikenal dengan SARS-CoV pada tahun 2003, kemudian
HCoV NL63 pada tahun 2004, HKU1 pada tahun 2005, MERS-CoV pada tahun 2012 dan terakhir adalah SARS-CoV-2 pada tahun 2019 atau lebih
dikenal dengan COVID-19.
A. Pengukuran atau Indikator Wabah Virus Menurut
Epidemiologi
Dalam
kehidupan sehari-hari kita sering dihadapkan pada fenomena nyata yang ada di
masyakarat sebagai populasi, misalnya terjadi outbreak diare atau ditemukan
banyaknya penderita demam berdarah. Fenomena ini bisa saja berasal dari satu
atau lebih individu atau sekelompok orang. Kejadian tersebut haruslah dicari
jalan keluarnya karena tidak mustahil juga akan menimpa populasi yang lain
secara berurutan. Dalam upaya mengukur kejadian penyakit tersebut sering kali
kita dihadapkan adanya keterkaitan antara satu variable dengan variable lainnya
untuk terjadinya penyakit, maka salah satu upaya untuk memutus rantai masalah
diperlukan adanya suatu keilmuan yang disebut epidemiologi.
Epidemiologi
adalah ilmu yang mempelajari distribusi dan determinan yang berhubungan dengan
kesehatan atau kejadian pada populasi tertentu untuk mengendalikan masalahnya.
Berbeda dengan kedokteran klinis yang secara spesifik pada masalah diagnosis,
terapi, proses penyembuhan dan perawatan individu, Epidemiologi lebih berorientasi
pada populasi yang meliputi proses penelitian, pencegahan, evaluasi dan
perenacanaan.
Menurut Iwan Dwiprahasto, Clinical Epidemiologi
dan Biostatistic Unit, Bagian Farmakologi FK UGM dalam artikelnya yang berjudul
“Dasar-dasar Epidemiologi dan Pengukuran Kejadian Penyakit”, bahwa ada tiga hal pengukuran suatu kejadian dalam
dunia epidemiologi pada umumnya yakni Natalitas, Morbiditas dan Mortalitas.
Natalitas merupakan angka kelahiran mengukur frekuensi bayi yang lahir dalam
populasi tertentu dan dihitung berdasarkan interval waktu dan tempat tertentu,
menurut kelompok umur ibu tertentu, menurut jenis kelamin bayi, menurut status
soisal ekonomi dan lain-lain.
Sedangkan
Morbiditas umumnya digunakan adalah prevalensi, insidensi, attack rate, risiko
relative, dan attributable risk. Prevalensi adalah mengukur kasus yang terjadi
pada waktu tertentu (point prevalence) dan mengukur kasus pada periode tertentu
(period prevalence). Attack Rate (AR) adalah jumlah kasus baru penyakit
tertentu yang dilaporkan pada periode terjadinya epidemi dari populasi. Untuk
Resiko Realtif adalah derajat risiko populasi yang terkena penyakit karena
terpapar faktor risiko terhadap populasi yang terkena penyakit tetapi tidak
terpapar. Sedangkan Attributable Risk adalah selisih antara populasi yang
terkena penyakit karena terpapar dengan populasi yang terkena penyakit tetapi
tidak terpapar faktor risiko.
Untuk
Mortalitas yang digunakan adalah Crude Mortality Rate (CMR), Infant Mortality
Rate (IMR), dan Case Fatality Rate (CFR). CMR adalah jumlah populasi yang
meninggal terhadap total jumlah populasi (per 1.000 jiwa). Sedangkan IMR adalah
total jumlah kematian dalam satu tahun anak yang berumur kurang dari satu tahun
terhadap jumlah bayi yang lahir hidup pada tahun yang sama (dikali per 1000
anak). Dan CFR adalah jumlah angka kematian yang disebakan oleh penyakit
tertentu pada periode tertentu terhadap jumlah kasus dari penyakit tersebut.
Misalnya, jumlah penderita penyakit campak sebesar 1.000 jiwa dan 50
diantaranya meninggal, maka CFR-nya adalah 50/1.000 x 100% = 5%.
B.
Pentingnya
Crude Mortality Rate (CMR) Sebagai Indikator Area Wabah
Case
Fatality Rate (CFR) atau Fatality Rate inilah yang sering ditampilkan dalam
berbagai media untuk memantau perkembangan wabah virus corona atau COVID-19,
padahal menurut uraian di atas Crude
Mortality Rate (CMR) pun perlu diungkapkan. Hal ini penting untuk mengetahui
seberapa besar dampak wabah dalam suatu populasi. Dengan diketahui dampak
sebaran wabah virus dalam suatu populasi, maka kita dapat segera melakukan
tindakan selanjutnya dalam rangka melokasir area wabah tersebut.
Seperti
yang dilansir dari media bahwa virus corona termasuk virus lainnya yang awal
mula berasal dari binatang yang menularkan kepada manusia, dan virus corona
yang dihadapi saat ini dapat menularkan antar manusia. Dengan demikian dalam
penanganan wabah tersebut selain memerlukan informasi dampak sebaran wabah
dalam suatu populasi, juga informasi tentang luas area dimana wabah virus
tersebut berada, karena pergerakan atau mobilitas manusia itu berbeda dengan
binatang sebagai sumber wabah. Hal berikutnya adalah perlunya informasi
mengenai tingkat kepadatan penduduk yakni jumlah populasi terhadap luas area
populasi suatu daerah. Semakin tinggi tingkat kepadatan penduduk merupakan
potensi besar bahwa wabah virus semakin meningkat karean pergerakan manusia
untuk bertemu dengan manusia lain yang akan tertular semakin besar.
C. Pemantauan Perkembangan Wabah Virus Corona di
Dunia
Seperti
yang telah diungkap pada awal tulisan bahwa data wabah virus Dunia per tanggal
4 April 2020 menurut WHO bahwa di Dunia ini sudah mencapai 1.018.948 jiwa yang
terkonfirmasi secara positif, dan yang meninggal sebanyak 53.211 jiwa (atau
Fatality Rate-nya sebesar 5,22%) serta sebanyak 212.357 jiwa yang telah sembuh
( atau sebesar 20,84%). Berdasarkan tabel Data untuk 11 Negara yang terdampak
Virus corona, negara yang terdampak signifikan adalah Amerika, Spanyol dan
Itali serta diikuti oleh negara Jerman dan Perancis, sedangkan negara China
walau terdampak cukup besar justru kini sudah mulai terbebas dari virus
tersebut.
Tabel1.
Data Negara terjangkit Virus Covid-19
No
|
Negara
|
DATA VIRUS COVID-19 per 4 April 2020
|
DATA WILAYAH
|
SEBARAN VIRUS
|
|||||||
Konfirmasi
|
Kematian
|
Sembuh
|
% MD
|
% sembuh
|
Penduduk
|
Wilayah
|
Kepa datan
|
per 1000 jiwa
|
per 100 Km2
|
||
1
|
Amerika
|
245.573
|
6.058
|
9.228
|
2,47%
|
3,76%
|
295.734.134
|
9.631.418
|
31
|
0,020
|
0,063
|
2
|
Spanyol
|
117.710
|
10.935
|
30.513
|
9,29%
|
25,92%
|
43.209.511
|
504.782
|
86
|
0,253
|
2,166
|
3
|
Itali
|
115.242
|
13.915
|
18.278
|
12,07%
|
15,86%
|
58.103.033
|
301.230
|
193
|
0,239
|
4,619
|
4
|
Jerman
|
84.794
|
1.107
|
22.440
|
1,31%
|
26,46%
|
82.431.390
|
357.021
|
231
|
0,013
|
0,310
|
5
|
China
|
82.465
|
3.326
|
76.741
|
4,03%
|
93,06%
|
1.306.313.812
|
9.596.960
|
136
|
0,003
|
0,035
|
6
|
Indonesia
|
1.986
|
181
|
134
|
9,11%
|
6,75%
|
259.966.894
|
1.919.440
|
135
|
0,001
|
0,009
|
7
|
Perancis
|
59.929
|
5.398
|
12.548
|
9,01%
|
20,94%
|
60.656.178
|
547.030
|
111
|
0,089
|
0,987
|
8
|
Iran
|
50.468
|
3.160
|
16.711
|
6,26%
|
33,11%
|
68.017.860
|
1.648.000
|
41
|
0,046
|
0,192
|
9
|
Inggris
|
34.192
|
2.921
|
135
|
8,54%
|
0,39%
|
59.553.800
|
244.820
|
243
|
0,049
|
1,193
|
10
|
Swiss
|
19.106
|
565
|
4.846
|
2,96%
|
25,36%
|
7.489.370
|
41.290
|
181
|
0,075
|
1,368
|
11
|
Turki
|
18.135
|
356
|
415
|
1,96%
|
2,29%
|
69.660.559
|
780.580
|
89
|
0,005
|
0,046
|
|
Dunia
|
1.018.948
|
53.211
|
212.357
|
5,22%
|
20,84%
|
|
|
|
|
|
Keterangan:
1.
Data Virus
Berdasarkan data Kompas per tanggal 3 April 2020
2.
Data kepadatan
penduduk dunia berdasarkan Wikipedia
a.
Analisis Fatality Ratio Tiap Negara
Apabila
dikaitkan dengan Fatality Rate (FR), Angka Kematian Fatal tertinggi dimiliki
negara Itali sebesar 12,07%, Spanyol (9,29%), dan diikuti negara Indonesia (9,11%)
serta Perancis (9,01%). Namun apabila dikaitkan dengan tingkat kesembuhan yang
dialami penduduk setelah mengalami perawatan, didominasi oleh negara eropa yang
memiliki standar kesehatan yang tinggi yakni Jerman (26,46%), Spanyol (25,92%),
Swiss (25,36%), Spanyol sebesar (25,92%) dan negara Itali (15,86%) serta Iran
diluar negara Eropa sebesar 33,11%.
Berdasarkan
data tersebut dapat disimpulkan bahwa negara yang memiliki kualitas paramedis
dan kapasitas RS yang memadai cenderung memiliki tingkat kesembuhan tertinggi. untuk
melakukan treatment bagi pasien yang terkena virus corona, terutama negara
eropa yang memiliki kapasitas Rumah Sakit dan kualitas paramedis yang baik.
Namun disisi lain ada semacam kontradiktif data, justru negara Eropa memiliki
tingkat kematian yang tinggi, demikian pula dengan jumlah korban yang
terjangkit virus (terkonfirmasi).
Sedangkan
negara china merupakan negara kali pertama yang terjangkit wabah virus corona,
hanya memikili angka kematian fatal atau fatality rasio sebesar 4,03% dan
memiliki tingkat kesembuhan tertinggi di dunia yakni sebesar 93,06%. Negara
China merupakan negara yang memiliki kemampuan dalam penanganan wabah virus
yang patut diacungi jempol selain kemampuan ekonomi dan sumber daya tenaga
paramedis dan kapasitas Rumah sakit untuk menangani wabah virus, sehingga
negara china kini sudah terbebas dari serangan virus tersebut.
Untuk
negara Amerika Serikat secara nominal angka kematian dan konfirmasi cukup
tinggi, walaupun rasio angka kematian fatal hanya sebesar 2,47%, namun angka
kesembuhan negara Amerika cukup rendah yakni sebesar 3,76%. Kemungkinan
disebabkan pasien yang masuk masih menunggu masa inkubasi virus selama 14-21
hari selain itu wabah dinegara itu terjadi pada gelobang kedua yakni dimulai
awal bulan maret 2020. Demikian halnya dengan Negara Indonesia yang mulai
terseang wabah di gelombang kedua, maka tingkat kesembuhan masih rendah sebesar
6,75%. Walaupun secara nominal angka kematian masih rendah,namun angka kematian
fatal masih cukup tinggi.
a.
Analisis Crude
Mortality Rate (CMR) Tiap Negara
Seperti
yang dijelaskan bahwa menurut ilmu epidemiologi terkait dengan wabah virus,
selain menggunakan analisis Case fatality Rate (CFR) atau Angka Kematian Fatal
perlu juga menampilkan data analisis Crude Mortality Rate (CMR) atau angka
Kematian Kasar. CFR atau Fatality Rasio sebagai indicator yang lebih berfokus
bagaimana penanganan pasien yang terjangkit virus pada Rumah Sakit, sedangkan
CMR sebagai indicator sejauh mana tingkat penyebaran dalam suatu populasi.
Berdasarkan
Rasio CMR dapat menjelaskan mengapa negara Itali dan Spanyol terserang wabah
begitu hebat yakni angka nominal penduduk yang terkena wabah (konfirmasi
positif Covid-19) sebesar 115.242 jiwa (Itali) dan 117.710 jiwa (Spanyol)
akibat tingkat kepadatan penduduk yang cukup tinggi yakni 193 jiwa per Km2
(Itali) dan 86 jiwa per Km2 (Spanyol). Hal ini juga didukung dengan analisis sebaran
wabah virus terhadap populasi (CMR) yakni sebesar 239 jiwa per 1 juta penduduk (Itali)
dan 253 jiwa per 1 juta penduduk (Spanyol). Demikian pula apabila dianalisis
dengan sebaran wabah virus terhadap luas wilayah negara, maka negara Itali
memiliki 461 jiwa per 10.000 Km2, sedangkan Spanyol sebanyak 216 jiwa yang
meninggal per 10.00 Km2. Tingginya kematian warga Itali karena luas wilayah
negara sehingga kapasitas atau jumlah Rumah Sakit yang tersedia lebih sedikit
dibandingkan dengan dengan negara Spanyol yang memiliki luas wilayah negara yang
lebih besar.
Seperti
kita ketahui bahwa karakter virus COVID-19 dapat menularkan antar manusia maka
pergerakan manusia menjadi factor utama, maka sebaran virus tersebut akan
menjalar ke negara yang berdekatan. Oleh karena itu negara eropa yang terkena
wabah virus setelah negara Itali dan Spanyol adalah negara Jerman, Swiss, dan Perancis
hingga Inggris. Besarnya jumlah penduduk yang terserang wabah (konfirmasi)
karena negara eropa tersebut memiliki tingkat kepadatan yang cukup tinggi, padahal
negara tersebut memiliki standar kesehatan yang tinggi.
Berdasarkan
rasio CMR, maka yang terbanyak dimiliki negara Perancis sebesar 89 jiwa per 1
juta penduduk, diikuti negara Inggris sebesar 49 jiwa per 1 juta penduduk dan
Jerman sebesar 13 jiwa per 1 juta penduduk. Sedangkan arus sebaran berdasarkan
luas wilayah yang terbesar dimiliki oleh negara Inggris sebesar 1.193 jiwa per
10.000 Km2, diikuti negara perancis sebesar 987 jiwa per 10.000 Km2 dan Jerman
sebesar 310 jiwa per 10.000 Km2.
Yang
menarik adalah untuk ketiga negara besar yakni Amerika, Indonesia dan Inggris yang
baru mengalami wabah virus pada gelombang kedua yakni di bulan Maret 2020. Apabila
dibandingkan dengan tingkat kepadatan penduduk, sebenarnya yang cukup mengkhawatirkan
adalah negara Inggris dan Indonesia yakni sebesar 243 jiwa per Km2 untuk
Inggris dan 135 jiwa per Km2 untuk negara Indonesia, berbeda dengan negara
Amerika yang hanya memiliki 31 jiwa per Km2. Namun karena Indonesia memiliki
penduduk yang terkena wabah hanya sedikit, maka agak sulit untuk dijadikan
perbandingan. Amerika merupakan negara yang terbanyak penduduknya terjangkit
virus COVID-19, namun karena jumlah penduduknya cukup besar (populasi) maka rasio
CMR berdasar populasi hanya sebesar 20 jiwa yang meninggal per 1 juta penduduk
dan CMR berdasar luas wilayah sebesar 6 jiwa yang meninggal per 10.000 Km2.
Sedangkan
Inggris sebagai negara eropa, justru memiliki angka kematian fatal cukup
signifikan (8,54%) dan angka kesembuhan rendah (0,39%0, padahal Inggris
merupakan negara eropa yang memiliki standar kesehatan yang cukup tinggi. Apabila
dilihat dari sebaran virus, negara Inggris pun cukup mengkhawatirkan karena
memiliki tingkat kepadatan penduduk sebesar 243 jiwa per Km2. Sehingga rasio
CMR terhadap jumlah populasi dan luas wilayah cukup tinggi yakni sebesar 49
jiwa yang meninggal diantara 1 juta penduduk dan sebanyak 119 jiwa yang
meninggal dalam 10.000 Km2.
Menurut
lansir berita bahwa negara Inggris memiliki kebijakan pembiaran - Herd Immunity-
atas wabah yang terjadi karena menganggap setiap manusia yang terjangkit virus pasti
memiliki antibody untuk melawan virus dan akan sembuh dengan sendirinya.
Mengingat sifat virus baru ini bahwa pergerakan manusia sebagai factor utma
penyebar wabah, sementara tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, besar
kemungkinan negara Inggris akan mengalami ledakan wabah yang parah seperti
halnya Itali yang mengalami wabah pada gelombang pertama.
Berbeda
dengan negara Amerika Serikat, walaupun secara nominal konfirmasi cukup tinggi,
karena tingkat kepadatan penduduknya cukup rendah. Mengingat luasnya wilayah
dan besarnya penduduk negara Amerika tidak menerapkan lockdown, namun akan
menerapkan kebijakan social distancing (berjaga jarak). Demikian halnya dengan
negara Indonesia menerapkan kebijakan social distancing (berjaga jarak),
karena luasnya jumlah wilayah dan besarnya penduduk.
D. Pemantauan
Perkembangan Wabah Virus Corona Di Indonesia
Seperti
yang telah diungkap sebelumnya bahwa wabah virus per tanggal 4 April 2020 di
Indonesia menurut data resmi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia sudah
1.986 jiwa yang terkena virus COVID-19 yang terkonfirmasi secara positif, dan
yang meninggal sebanyak 181 jiwa (atau Fatality Rate-nya sebesar 9,11%) serta
sebanyak 134 jiwa yang sembuh ( atau sebesar 6,75%) setelah dilakukan perawatan
medis.
No
|
Provinsi
|
DATA VIRUS COVID-19 per 3 April 2020
|
DATA WILAYAH
|
SEBARAN VIRUS
|
|||||||
Konfir masi
|
Kema tian
|
Sem buh
|
% MD
|
% sembuh
|
Penduduk
|
Wilayah
|
Kepa datan
|
per 1000 jiwa
|
per 100 Km2
|
||
1
|
Jakarta
|
971
|
90
|
52
|
9,27%
|
5,36%
|
10.374.200
|
8.114
|
1.278,59
|
0,009
|
1,109
|
2
|
Jawa Barat
|
225
|
25
|
12
|
11,11%
|
5,33%
|
48.037.600
|
39.325
|
1.221,56
|
0,001
|
0,064
|
3
|
Banten
|
170
|
14
|
7
|
8,24%
|
4,12%
|
12.448.200
|
10.559
|
1.178,91
|
0,001
|
0,133
|
4
|
Jawa Timur
|
155
|
11
|
25
|
7,10%
|
16,13%
|
39.293.000
|
50.244
|
782,05
|
0,000
|
0,022
|
5
|
Jawa Tengah
|
114
|
18
|
11
|
15,79%
|
9,65%
|
34.257.900
|
35.956
|
952,78
|
0,001
|
0,050
|
7
|
DI Yogya
|
28
|
2
|
1
|
7,14%
|
3,57%
|
3.762.200
|
3.525
|
1067,19
|
0,001
|
0,057
|
|
Total P. Jawa
|
1.663
|
160
|
108
|
9,62%
|
6,49%
|
148.173.100
|
147.722
|
1.003
|
0,001
|
0,108
|
|
Nasional
|
1.986
|
181
|
134
|
9,11%
|
6,75%
|
259.966.894
|
1.919.440
|
135
|
0,001
|
0,009
|
|
|
84%
|
88%
|
81%
|
|
|
57%
|
8%
|
|
|
|
Keterangan:
1.
Data Virus
Berdasarkan data Kompas per tanggal 3 April 2020
2.
Data kepadatan
penduduk dunia berdasarkan Wikipedia
Berdasarkan
data nasional tersebut, kontribusi utama data wabah virus terbanyak diperoleh
dari provinsi seluruh pulau jawa. Provinsi yang berada di Pulau Jawa meliputi
Provinsi DKI, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa Timur.
Jumlah penduduk yang terjangkit virus COVID-19 (angka konfirmasi) untuk Pulau
Jawa adalah sebesar 1.663 jiwa atau 84% dari total data nasional dan angka
kematian sebesar 160 jiwa atau 88% dari total. serta angka pasien yang sembuh
sebesar 108 jiwa atau sebesar 81%dari total. Sedangkan angka kematian fatal atau
Fatality rasio di Pulau Jawa lebih tinggi yakni 9,62% dari data nasional, dan tingkat
kesembuhan lebih rendah yakni sebesar 6,49% dari data nasional.
Apabila
dilihat dari analisis data sebaran virus, maka tingkat kepadatan penduduk
seluruh Jawa cukup besar sangat tinggi dibandingkan data nasional. Hal ini disebabkan
jumlah penduduk seluruh jawa sebanyak 148.173.100 jiwa atau 57% dari data
nasional, namun luas wilayah seluruh Pulau Jawa sangat kecil yakni sebesar
147.722 Km2 atau 8% dari luas wilayah seluruh Indonesia. Karena besarnya jumlah
penduduk Pulau Jawa, maka rasio CMR terhadap jumlah populasi cukup rendah atau
sama dengan data nasional. Namun melihat dari luas wilayah pulau jawa, rasio
CMR terhadap luas wilayah lebih tinggi yakni sebesar 11 penduduk yang meninggal
untuk setiap 100.00 Km2.
Apabila
kita bandingkan dengan data per provinsi di Pulau Jawa, baik angka konfirmasi
penduduk yang terkena wabah virus, angka kematian dan kesembuhan yang tertinggi
berada di provinsi DKI Jakarta dibandingkan provinsi lainnya. Apabila
dibandingkan dengan fatality ratio yang terbesar berada di provinsi jawa tengah
sebesar 15,79%, diikuti provinsi jawa barat (11,11%) dan provinsi Jakarta
(9,27%). Sedangkan jika dibandingkan
dengan rasio kesembuhan maka provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah memiliki
kualitas paramedis dan kapabiltas Rumah Sakit lebih baik dibanding provinsi
lain yakni sebesar 16,13% dan 9,65%.
Selanjutnya,
jika kita melakukan analisis area sebaran wabah virus, tingkat kepadatan
tertinggi adalah Provinsi DKI Jakarta sebagai pusat ibukota sebesar 1.278 jiwa
per Km2, diikuti provinsi jawa barat sebesar 1.222 jiwa per Km2, banten sebesar
1.179 jiwa per Km2 dan DI Yogyakarta sebesar 1.067 jiwa per Km2. Oleh karena
itu untuk rasio CMR berdasarkan populasi Provinsi DKI dibandingkan lainnya
yakni sebesar 9 jiwa yg meninggal per 1 juta penduduk dan CMR terhadap luas
wilayah sebesar 11 jiwa yang meninggal per 10.000 Km2.
Mengingat
Indonesia baru mengalami wabah virus pada gelombang kedua yakni bulan Maret
2020, besar kemungkinan akan terjadi ledakan wabah virus apabila pemerintah
tidak menerapkan kebijakan yang tepat. Oleh karena penerapan kebijakan Sosial
dan fisik distansi yang sangat ketat harus difokuskan pada wilayah pulau jawa
terutama Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara dan episentrum wabah virus
terbesar di wilayah Indonesia. Bila dimungkinkan blockade atau lockdown local
wajib diterapkan untuk memutuskan mata rantai wabah virus, karena tingkat
kepadatan Provinsi DKI atau Kota Jakarta merupakan yang tertinggi di dunia,
termasuk Provinsi Banten dan Jawa Barat serta DI Yogyakarta.
Penutup
Seluruh mata tak lekat setiap hari memandang
trend data wabah virus corona yang dikeluarkan oleh Badan Dunia Kesehatan atau
WHO terhadap negara-negara yang terkena wabah virus tersebut. Data global dunia
yang dikeluarkan oleh WHO berupa jumlah jiwa yang terkonfirmasi virus, jumlah
jiwa yang meninggal dan yang telah sembuh, kemudian dibuat Case Fatality Rate
(CFR) yakni persentase jumlah kasus yang meninggal terhadap jumlah kasus yang
terkonfirmasi terjangkit virus.
Menurut Iwan Dwiprahasto, Clinical Epidemiologi
dan Biostatistic Unit, Bagian Farmakologi FK UGM dalam artikelnya yang berjudul
“Dasar-dasar Epidemiologi dan Pengukuran Kejadian Penyakit” bahwa Case Fatality
Rate (CFR) merupakan salah satu data analisis ilmu epidemiologi yakni ilmu yang
mempelajari distribusi dan determinan yang berhubungan dengan kesehatan atau
kejadian pada populasi tertentu untuk mengendalikan masalahnya terkait wabah
penyakit yang terjadi. CFR merupakan bagian dari analisis tentang Mortalitas, selain
CFR juga terdapat rasio Crude Mortality Rate (CMR) yakni jumlah populasi yang
meninggal terhadap total jumlah populasi (per 1.000 jiwa).
Case
Fatality Rate (CFR) merupakan rasio yang berfokus kepada kemampuan menangani
penyakit, sedangkan Crude Mortality Rate (CMR) merupakan rasio yang berfokus
terhadap area penyebaran wabah. Mengingat wabah virus corona yang baru atau
COVID-19 bukanlah virus yang menularkan antar binatang atau kepada manusia,
tetapi manusia kini bisa sebagai pembawa wabah (carrier) yang menularkan kepada
manusia lainnya, maka sangat penting untuk mengetahui arus sebaran wabah karena
pergerakan wabah virus berasal binatang berbeda dengan manusia. Oleh karena itu
seharusnya WHO perlu menampilkan data rasio Crude Mortality Rate (CMR).
Akibat
kegagapan dan kepanikan karena menghadapi jenis virus baru tersebut, maka banyak
spekulasi berbagai saran dari ahli kesehatan untuk mengatasi serangan wabah
tersebut. Mengingat serangan wabah yang tiba-tiba dan menjalar begitu cepat ke
pelosok negeri, kepanikan pun pada pemimpin negara untuk mengatasinya. Secara
garis besar ragam kebijkan pemerintah dapat terbagi tiga yakni kebijakan
pembiaran (Herd Immunity), Social Distancing (berjaga jarak antar manusia) dan
pengucilan diri atau Lockdown.
Dengan
analisis Rasio sebaran wabah atau Crude Mortality Rate (CMR) dan ditambah
dengan rasio lainnya (sebaran wabah terhadap luas wilayah epidemi dan tingkat
kepadatan penduduk) minimal bisa menjawab mengapa wabah virus merebak begitu
cepat dalam suatu area atau wilayah negara (dan bisa menjadi pertanyaan –
menggugat- mengapa WHO hanya menampilkan rasio CFR saja?). Dengan demikian bisa
menjadi bahan pertimbangan bagi suatu negara pada saat ingin membuat kebijakan
yang lebih tepat sesuai dengan kondisi yang terjadi.
1. IQBAL ELYAZAR, SUDIRMAN NASIR, SUHARYO
SUMOWIDAGDO: Jika Tak Ada Intervensi, Kasus Corona di Indonesia Bisa Tembus
71.000 Akhir April Kompas.com - 20/03/2020, 12:02 WIB. https://www.kompas.com/sains/read/2020/03/20/120200823/jika-tak-ada-intervensi-kasus-corona-di-indonesia-bisa-tembus-71000-akhir.
2.
Wikipedia
terkait dengan data jumlah penduduk dan luas wilayah serta tingkat kepadatan
penduduk suatu negara atau Provinsi Di Indonesia.
3.
Iwan
Dwiprahasto, Clinical Epidemiologi dan Biostatistic Unit, Bagian Farmakologi FK
UGM dalam artikelnya yang berjudul “Dasar-dasar Epidemiologi dan Pengukuran
Kejadian Penyakit”. http://gamel.fk.ugm.ac.id/pluginfile.php/38797/mod_resource/content/1/Iwan_D-Modul_Epidemiologi_Klinik.pdf
Komentar
Posting Komentar