Pengenaan PPN atas Kebutuhan Pokok Bagi Masyarakat Dan Dampaknya
A. Latar
Belakang Permasalahan
Pada surat kabar baru-baru ini sedang hangat
memberitakan adanya rencana pemerintah untuk merevisi Rancangan Undang-Undang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP), dan di dalamnya termasuk
pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap transaksi barang atau jasa
yang banyak dikonsumsi masyarakat yakni barang kebutuhan pokok atau sembako,
jasa pendidikan atau sekolah, dan jasa kesehatan. Walau pun seluruh fraksi
menyetujui RUU KUP akan dibahas lebih lanjut, namun sejumlah fraksi menyatakan
penolakan atas pungutan PPN atas barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat
banyak.
Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi Partai Nasdem
Fauzi Amro menyatakan bahwa pemungutan PPN untuk sembako, jasa pendidikan dan
kesehatan akan memberatkan masyarakat karena merupakan barang pokok kebutuhan
masyarakat. Demikian halnya, Anggota Fraksi PKS Ecky Awal Mucharam juga
menyatakan penolakan terhadap perluasan basis PPN tersebut. Dia menyayangkan
diskursus yang terjadi di masyarakat justru berfokus pada pengenaan pajak
terhadap barang-barang pokok kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, dia
menyatakan tidak menerima usulan yang dimuat dalam amandemen UU KUP tersebut.
Disisi lain, Menteri Keuangan Sri Mulyani
Indrawati selaku wakil pemerintah menjelaskan bahwa klaster PPN dalam RUU KUP
mengatur perluasan basis pajak PPN dengan pengurangan atas pengecualian dan
fasilitas PPN agar lebih mencerminkan keadilan serta ketepatan sasaran. Terkait
pengenaan PPN terhadap barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat banyak,
seperti barang kebutuhan pokok, jasa pendidikan, dan jasa Kesehatan dapat dikenakan
PPN dengan tarif PPN yang lebih rendah dari tarif normal atau dapat tidak
dipungut, dan untuk masyarakat yang tidak mampu akan diberikan kompensasi dalam
bentuk subsidi. Rencananya, skema tarif pengenaan PPN akan dinaikan dari semula
10 persen menjadi 12 persen, dan memperkenalkan kisaran (range) tarif dari 5
persen hingga 25 persen. (Deni Saputra, bisnis.com, 7 Oktober 2021)
Dalam acara yang berbeda, Menteri Hukum dan
HAM Yasonna H. Laoly yang mewakili pemerintah pada Rapat Paripurna, menyatakan
pengesahan RUU HPP menjadi UU membuat tarif pajak PPN resmi naik bertahap
menjadi 11 persen per 1 April 2022 dan membatalkan skema multi tarif PPN,
karena penerapan multitarif PPN akan menyebabkan cost of complience dan
menimbulkan potensi dispute, maka disepakati sistem PPN tetap menerapkan tarif
tunggal. (Deni Saputra, bisnis.com, )
B. Kajian
Analisis Ekonomi Mikro atas Pengenaan PPN dan Dampaknya Pada
Belanja Konsumsi Masyarakat Miskin
Untuk mengetahui dampak
atas kenaikan penetapan PPN terhadap kemampuan belanja konsumsi masyarakat,
penulis mengacu hasil penelitian yang dilakukan oleh Nisreen Salti Nisreen
Salti and Jad Chaaban (2010), dengan judul “On The Poverty and Equity
Implications Of A Rise In The Value Added Tax: A Microeconomic Simulation For
Lebanon”. Nisreen dan Jad melakukan penelitian untuk menguji pengaruh atas
kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Value Added Tax (VAT) terhadap
masyarakat miskin dan ketidak adilan yang terjadi di Libanon. Metode penelitian
dengan menggunakan model empiris berdasarkan teori permintaan konsumen dengan
melakukan data survey terhadap rumahtangga atas belanja dan index spatial rate.
Sedangkan pengujian data menggunakan simulasi atas estimasi elastisitas
permintaan pada harga permintaan silang dan individu (own price demand dan
cross price demand).
Berdasarkan hasil
penelitian dapat disimpulkan bahwa pengaruh atas penetapan PPN sangat berdampak
adanya penurunan secara keseluruhan atas belanja konsumsi masyarakat. Akan
tetapi jika dibandingkan antara belanja konsumi masyarakat miskin dan kaya
terjadi gap hasil yang semakin besar. Dengan kata lain, walaupun barang
kebutuhan pokok merupakan inelastis terhadap permintaan namuan daya beli
masyarakat miskin justru mengalami sensitivitas harga dibandingkan masyarakat
kaya.
Tabel 1
Implikasi
Ketidak adilan (Inequity) Ukuran
|
Status quo |
Penetapan PPN 12% |
Penetapan PPN 15% |
Bagian Konsumsi,
miskin 20% |
9,6% |
7,2% |
7,1% |
Bagian Konsumsi,
kaya 20% |
39,3% |
43,2% |
43,3% |
Rasio Kaya dan
Miskin |
4.1 |
6 |
6,1 |
|
|
|
|
Seperti
yang terlihat di table 1, apabila pemerintah libanon menetapkan PPN atas barang
konsumsi sebsar 12%, maka terjadi penurunan dari 9,6% menjadi 7,2% bagi
masyarakat miskin, dan sebaliknya adanya penetapan PPN sebesar 12% terjadi
peningkatan yang semula 39,3% menjadi 43,2%. Selain itu, terjadi ketimpangan
(gap) rasio antara masyarakat miskin yang semula 4,1 menjadi 6. Demikian pula
dengan penetapan pemerintah Libanon atas pengenaan PPN pada barang konsumsi
sebesar 15%. Walau pun kenaikan dan penurunan persentase bagi masyarakat tidak
signifikan. namun menghasilkan gap yang semakin besar antara kelompok
masyarakat yang kaya dan miskin.
Tabel
2
Pengaruh
Kenaikan PPN atas Rasio Kemisikinan
|
Di bawah Garis
Kemiskinan |
Di atas Garis
Kemiskinan |
Tingkat Kemiskinan
Saat ini |
3% |
28% |
Kenaikan PPN pada
12% |
4,5% |
30% |
Kenaikan PPN pada
15% |
5,8% |
33,4% |
|
|
|
Berikutnya,
Nisreen dan Jad mencoba mengukur pendapatan masyarakat miskin terbagi menjadi
dua kelompok yakni masyarakat dibawah garis kemiskinan dengan konsumsi belanja sebesar
2USD per hari dan sebesar 4USD per hari untuk masyarakat diatas garis
kemiskinan. Apabila pemerintah libanon menetapkan PPN atas barang konsumsi
sebesar 12%, maka terjadi peningkatan signifikan pada mayarakat dibawah garis
kemiskinan yakni semula 3% menjadi 4,5% (kenaikan sebesar 50%) dan terjadi
peningkatan tidak signifikan (slightly) bagi masyarakat di atas garis
kemiskinan yakni semula 28% menjadi 30% (kenaikan 7%). Demikian pula, jika
pemerintah libanon menetapkan PPN atas barang konsumsi sebesar 15%, maka
kenaikan pada masyarakat dibawah garis kemiskinan menjadi begitu besar.
C. Penutup
dan Kesimpulan
Berdasarkan
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sensitivitas atas kenaikan harga tidak
berpengaruh terhadap permintaan atas barang tersebut, sehingga sewajarnya dalam
hal ini pemerintah mencoba untuk membuat kebijakan kenaikan persentase
pengenaan PPN atas transaksi usaha kegiatan tersebut dalam rangka peningkatan
penerimaan negara. Hal ini dilakukan mengingat pada saat ini negeri kita telah mengalami
kondisi pandemic covid-19 sehingga anggaran yang dimiliki oleh pemerintah
sebagian besar terkuras untuk menangani pandemic tersebut atau alokasi anggaran
lebih difokuskan untuk bidang kesehatan dan hal terkait lainnya.
Namun
demikian pemerintah pun harus menyadari bahwa akibat kondisi pandemic banyak
masyarakat yang terimbas secara ekonomi. Seperti kita ketahui dampak pandemic
justru terjadi pengurangan lapangan kerja besar-besaran karena banyak
perusahaan yang berguguran alias bangkrut, kalau pun mencoba bertahan mereka
akan mengurangi sebagian karyawannya.
Adanya
kenaikan PPN atas transaksi usaha, terutama untuk pengenaan pada barang atau
jasa kebutuhan pokok masyarakat sangat berdampak negatif, walaupun barang
kebutuhan pokok bersifat inelastic terhadap perubahan harga, namun daya beli
(power buying) masyarakat yang sangat rendah akan menjadi beban bagi perusahaan
atau pengusaha dalam menawarkan produk atau barang/jasa kepada msyarakat.
Selain itu, pemerintah dalam pengenaan pajak atas transaksi usaha kegiatan,
hendaknya menegakkan prinsip atau azas berkeadilan.
Daftar Pustaka
2.
Dany Saputra, PPN Sembako Dibatalkan, Ketua Komisi XI DPR
ini Keberpihakan Pada Masyarakat Bawah, Bisnis.com, Jakarta, 7 Oktober 2021.
3.
Nisreen Salti and Jad Chaaban (2010), On The Poverty and
Equity Implications Of A Rise In The Value Added Tax: A Microeconomic
Simulation For Lebanon, Department of Economics, American University of Beirut,
Lebanon, Middle East Development Journal, Vol.2 No.1, 2010.
Komentar
Posting Komentar