Renungan Ramadhan 1442 H : Perlunya Mensyukuri Atas Apa Yang Kita Miliki

 

A. Pengantar

Saat libur tiba terkadang timbul rasa iseng dari pada mengisi kegiatan yang tak bermakna dengan membuat atau mengutak-atik artikel lama sekedar menghabiskan waktu luang karena kesibukan sepekan kantor. Kali ini saya tertarik membuka file lama dari majalah yang berjudul “ Ujian untuk si Miskin dan si Kaya” (Suara Hidayatullah, edisi Agustus 2010) tentang kisah percakapan seorang fakir miskin dengan penguasa yang berasal dari saudagar kaya. Artikel ini mungkin juga cocok untuk saat ini dimana kita sedang melakukan ibadah puasa Ramadhan, untuk memperkaya jiwa kita walau saya bukan seorang da’I dengan kompetensi pengetahuan agama yang mumpuni.

B. Kisah Sahabat si Kaya dan Miskin

Dalam artikel tersebut menceritakan tentang percakapan seorang sahabat yang berbeda kasta atau kondisi yakni Si Miskin dengan kehidupan yang misikin dan selau berkekurangan dengan sahabatnya si kaya dengan harta bergelimpangan dan hidup sangat berkecukupan. Sustu ketiak si Miskin sedang berkeluh kesah kepada temannya si Kaya, “ Sungguh enak ya hidup dengan harta berlimpah.. makanan berlimpah, tidur ditempat dengan Kasur yang empuk, pergi dengan kendaraan mewah… tidak seperti aku ini, selalu lapar karena kurang makan, bahkan tidur pun tidak nyenyak karena beralas lantai di emperan,… Disaat aku berpikir apa aku bisa makan besok, kamu tinggal pencet telepon segalanya sudah terhidang”.

Mendengar keluh kesah sahabatnya, akhirnya si Kaya berencana akan mengundang si Miskin untuk makan malam dirumahnya yang mewah. Betapa senangnya si miskin atas ajakan sahabtnya tersebut dan segera menyanggupi untuk datang malam nanti. Benar saja ketika malam tiba, si Miskin datang kerumah sahabat bak  istana. Saat memasuki rumah sahabatnya, terlihat berbagai masakan mewah telah terhidang yang disajikan dengan apik dan menarik di sebuah meja panjang, termasuk minuman segar dan buah-buahan ranum yang terangkai pada piring saji nan mewah. Namun ada hal yang membuat dia gundah gulana dan khawatir, karena tepat di atas kepala dimana si miskin duduk nampak sebuah pedang panjang yang tajam yang terikat pada seutas tali yang hampir putus. Hal tersebut membuat si Miskin kurang nyaman dan tidak dapat menikmati santapan makanan dan minuman yang lezat-lezat tersebut.

Usai melaksanakan santapan makan malam, kemudian si Kaya berkata kepada temannya si fakir “ Saya harap kamu sudah puas karena telah terpenuhi keinginanmu kemarin untuk dapat menikmati makanan mewah”. Lantas si Miskin pun berkata, “Mestinya demikian Sahabatku. Akan teapi jujur saya tidak bisa menikmati hidangan mewah yang kamu sajikan, … karena kekhawatiran saya dengan pegang tajam yang berada di atas kepala saya yang mungkin terjatuh sewaktu-waktu dan dapat menebas kepala saya…”.

Si Kaya pun tersenyum dan berkata “ Itulah kehidupanku sebenarnya dan tidak seperti yang kamu lihat dan dibayangkan….  yang membuat kamu begitu iri dengan kehidupan mewah yang saya miliki”, si Kaya pun melanjutkan perkataannya “Kamu mengharapkan sesuatu, dimana kamu tidak tahu konsekuensi atau akibat yang akan terjadi seperti halnya kamu menikmati hidangan lezat dengan pedang tajam tepat di atas kepala yang sewaktu-waktu dapat menebas kepala..”. Si Kaya menjelaskan seraya menghela nafas “Setiap saat, setiap detik saya selalu terancam oleh keadaan disekelilingku baik dari saudara-saudaraku yang ingin menguasai hartaku maupun musuh-musuhku yang ingin mengambil alih kekuasaanku, bahkan mereka akan menikamku diam-diam ketika saya nyenyak tidur atau mereka menggalang kekuatan untuk melakukan persekongkolan”.

C. Renungan Diri Untuk Perlu Bersyukur atas Apa pun yang Kita Miliki

Mendengar penjelasan dan keluhan sahabatnya, membuat Si Miskin terdiam cukup lama seraya merenungi kata-kata temannya tersebut. Dia menyadari bahwa dia termasuk orang yang lebih beruntung daripada temannya, karena belum tentu dia mapu melakukan hal-hal seperti itu sepanjang hari dengan hidup penuh kekhawatiran seperti halnya pedang dengan seutas tali yang hampi prutus ditaruh diatas kepala. Kemudian si Miskin pulang kembali ke rumahnya dengan rasa bahagia, dia menyadari bahwa sahabatnya Si kaya tidak sebahagia yang dia bayangkan setelah mengetahui keadaan yang sebenarnya. Sejak saat itu, si Miskin menerima keadaannya dengan lapang dada dan merubah sifatnya untuk tidak bersikap iri dan dengki terhadap orang lain yang kondisi lebih baik dari dirinya.  Sebelumnya, dia merasa kesusahan hidup yang dialami dan memicu rasa iri dan dengki terhadap orang lain yang dikaruniai kekayaan lebih. Kisah tersebut merupakan kisah yang ditulis oleh Al Muhaddits Abdul Fattah Abu Ghuddah dalam bukunya “ Risalah Al Mustaryiddin”.

Ternyata kemiskinan atau kekurangan hidup menimbulkan bermacam-macam sifat buruk, selain timbul rasa iri dan dengki terhadap orang lain yang lebih baik darinya, juga akan menjadi rakus terhadap harta yang tidak diridhai Allah SWT. Demikian halnya dengan si Kaya, ia selalu dihinggapi ketakutan akan kehilangan harta dan kekuasaan sehingga timbul sifat buruk seperti sombong, bakhil (pelit) atau kurang empati terhadap orang lain. Sebenarnya kehidupan yang kita alami merupakan suatu ujian dan kita berharap jangan sampai kelebihan yang kita miliki justru menimbulkan sifat tidak terpuji. Demikian halnya apabila kita mengalami kondisi yang serba kekurangan. Seperti firman Allah SWT dalam Surat Al-Anbiya ayat 35 ; “… Dan Kami menguji kalian, dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan kalian…”.

D. Persepsi Bahwa Rumput Tetangga Lebih Segar (Orang lain selalu lebih baik dari kondisi kita)

Mudah-mudah artikel ini bisa sebagai sebagai refleksi dalam kehidupan kita agar dapat menjalani kehidupan dengan tenang dan penuh rasa syukur, jangan sampai hati kita terikat oleh fantasi dan pernak-pernik dunia. Kita seharusnya memiliki sikap yang qona’ah (legowo) dengan ‘pengayaan batin” yang kita miliki, tidak ada rasa iri dan dengki ataupun khawatir atas harta yang kita miliki, tidak ada rasa tegang dalam jiwa karena selalu berjibaku dalam kerasnya persaingan demi ambisi memperoleh harta dan kekuasaan. Jangan sampai kita terperangkap seperti peribahasa bahwa “rumput tetangga lebih segar dibandingkan halaman rumput sendiri”, kita selalu menganggap orang lain lebih bahagia dibandingkan diri kita dan selalu mengeluh kepada Allah mengapa kita selalu diberi cobaan dibandingkan orang lain.

Ketika kita tidak memiliki kendaraan dan menggunakan bis umum ke kantor, kita merasa lebih bahagia jika memiliki kendaraan motor. Pada saat kita sudah memiliki motor, tanpa sadar ongkos tranportasi bertambah karena harus menambah “isi dompet” untuk cadangan jika motor kita mengalami kerusakan di jalan (atau “dana dadakan” ketika ditilang polisi?). Namun kita masih saja berharap untuk memiliki kendaraan mobil ketimbang motor yang kita miliki, terutama saat kita berkendara dalam kondisi hujan lebat dimana kita harus menepi untuk mencari tempat berteduh (dan diomeli atasan karena terlambat ke kantor), atau pakaian kita yang basah akibat peluh keringat karena selalu berjaket ria. Saat kita telah memiliki mobil, dan terpaksa menambah “isi dompet” lebih banyak lagi agar dapat berkendara dengan tenang. Kini kita tidak dapat keluar rumah bila hanya memiliki selembar uang limapuluh ribu seperti halnya saat kita memiliki kendaraan motor ataupun berkendaraan umum.

Herannya lagi saat kita sudah memiliki mobil, justru kondisi yang kita alami menjadi terbalik. Ketika kita mengalami kemacetan di jalan yang cukup parah, kita menjadi iri melihat orang yang mengendarai motor karena dapat menerobos jalan macet dengan mudah di antara sela-sela mobil yang tak bergerak bahkan dapat melewati bahu jalan dengan asyiknya. Mereka menganggap yang memiliki motor lebih bahagia ketimbang dirinya yang bermobil di jalan macet yang hanya bisa mengumpat tanpa alasan. Demikian halnya dengan si pengendara motor merasakan bahwa orang yang berkendaraan umum lebih bahagia ketimbang dirinya dengan alasan yang hampir serupa.

E. Penutup

Rasa iri dan dengki yang tertanam kuat dalam hati dan pikiran membuat kita tak pernah lagi merasa bahagia atau mensyukuri atas apa yang kita miliki. Bahkan dengan rasa tidak tahu malu, kita mengkomplain kepada sang Pencipta dengan selalu mengeluh mengapa dia selalu menerima cobaan yang lebih berat dibandingkan orang lain. Kebahagiaan orang lain dimatanya merupakan siksaan batin sehingga terasa sesak di dalam dada. Semakin orang lain memliki harta yang lebih banyak atau memperoleh jabatan/kekuasaan semakin sesak rasa di dalam dada.

Sehingga kita sering merasakan kondisi di lingkungan kita, dimana diantara kita tidak ada lagi rasa kebersamaan atau persaudaraan, kalaupun ada yang nampak hanya kiasan atau basa-basi saja. Kita tidak senang jika ada teman atau rekan kerja yang lebih sukses dari kita sehingga justru pikiran negatif selalu memenuhi kepala dan pikiran dan bukannya pikiran positif agar menjadi pemacu semangat sebagai tauladan untuk memperbaiki kinerja lebih baik lagi. Justru kita selalu mencari segala cara untuk saling menjegal agar mereka gagal dalam memperoleh kesuksesan. Kita justru lebih senang/bahagia bila kawan kita mengalami kegagalan dengan melakukan berbagai agitasi/hasutan maupun menghembuskan gosip negatif terhadapnya bahkan bila perlu melakukan sabotase atau intrik-intrik.

Energi kita terbenam dan telah terbuang percuma dengan melakukan kegiatan yang sia-sia tersebut, padahal jika energi tersebut kita alihkan pada hal-hal yang positif justru akan menghasilkan kinerja yang lebih baik dengan bersaing secara sehat. Pola pikir yang sempit dan berjangka pendek justru membelenggu diri kita dan selalu ingin menyalahkan orang lain atas kesalahan yang terjadi karena diri kita sendiri. Bahkan kita selalu mencari jalan praktis untuk menggapai sebuah kesuksesan dengan menghalalkan segala cara tanpa memikirkan dampaknya yang terkadang merugikan pihak lain.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen Auditor: Mengungkap Modus Operandi Pemeriksaan Dari Ketidaksengajaan

Cerpen Auditor : Mungkinkah Menyelamatkan Perusahaan Dari Analisis Teori Kebangkrutan?

Kisah Dibalik Kesuksesan Bergulirnya Kembali Kompetisi Sepakbola di Tanah Air