Pergeseran Nilai Budaya dan Masyarakat atas Hak Tanah Ulayat Akibat Kemajuan Ekonomi dan Pembangunan
A. Prolog
Melanjutkan
artikel sebelum tentang Hak atas tanah ulayat masyarakat Adat Papua, rasanya
penulis perlu meluruskan kembali karena kekurangpahaman atau mengenal sebatas
kulit agar terhindar dari perspektif negatif dari masyarakat umum seolah
memojokkan bahwa masyarakat papua menghambat pembangunan yang dilakukan di
tanah Papua. Semoga saja tulisan ini, memberikan pemahaman untuk mengenal lebih
jauh tentang adat budaya dan masyarakat papua serta pentingnya menjaga pelestarian
tradisi dan budaya masyarakat papua khususnya, dan budaya adat masyarakat
wilayah lainnya secara umum.
Selain
itu, perlu menjadi refleksi bagi kita bahwa akibat kemajuan ekonomi dan
pembangunan yang alih-alih demi mensejahterakan masyarakat setempat justru
memiliki dampak negatif bagi penduduk asli karena terjadi pergeseran nilai
budaya dan pelestaraian masyarakat hukum adat setempat. Hal tersebut juga
terjadi di daerah wilayah lainnya di negeri kita dan patut menjadi perenungan
kita Bersama untuk lebih bijak dalam melakukan pembangunan dengan memperhatikan
kebijakan kearifan lokal serta melibatkan masyarakat setempat terhadap adat dan
budayanya.
B. Pengertian tentang Adat dan Masyarakat Hukum Adat
Menurut
kamus besar Bahasa Indonesia bahwa pengertian Adat adalah aturan (perbuatan)
yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala; adat itu cara kebiasaan
yang merupakan wujud dari kebudayaan yang terdiri dari atas nilai-nilai budaya,
norma hukum dan aturan yang satu dengan yang lainnya berkaitan menjadi satu
sistem dan dipatuhi sebagai kebiasaan atau tradisi. Adat disetiap daerah
kemungkinan berbeda perlakukannya,karena adat tersebut bersifat pribadi atau
hanya dapat dipahami dengan mengenal nilai-nilai budaya yang ada dalam
masyarakat tersebut.
Sedangkan
menurut Peraturan Menteri Agraria/Kepala Bappenas Nomor 5 Tahun 1999
menyebutkan bahwa Masyarakat Hukum Adat adalah kesatuan-kesatuan masyarakat
yang mempunyai kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri, mmepunyai kesatuan
hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama
atas tanah air bagi semua anggota. Hal tersebut selaras dengan UU Nomor 21
tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (Otsus Papua) pada bab I pasal 1
menyebutkan bahwa Masyarakat Hukum Adat adalah masyarakat asli papua yang sejak
kelahirannya hidup dalam wilayah tertentu dan terikat serta tunduk kepada hukum
adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi diantara para anggotanya.
Berkaitan
dengan hak atas tanah ulayat, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ulayat
berkaitan dengan wilayah dan hak. Dengan demikina, hak ulayat menurut adat
papua adalah hak pertama dari Sembilan hak hukum adat tanah, dan Menurut Van
Vollenhoven bahwa hak ulayat merupakan hak yang sangat tua dan asal mulanya
bersifat keagamaan “religus”. Dengan demikian dapat dirumuskan bahwa hak ulayat
adalah kewenangan menurut hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang
merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber
daya alam, termasuk tanah dalam wilayah terssebut bagi kelangsungan hidupnya
yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak
terputus antara masyarakat hukum adat tertentu dengan wilayah yang
bersangkutan.
C. Wilayah Hukum Adat Papua dan Kepemimpinanya
Masyarakat
hukum adat Papua terbagi menjadi tujuh wilayah adat yakni: adat budaya Tabi,
Siareri, Doberay, Bomberai, Ha-Anim, La Pago dan Me Pago.
Wilayah
I adat budaya tabi atau Mamta meliputi suku yang mendiami daerah dataran sungai
Memberamo hingga sungai Tami. Wilayah II Budaya adat Saireri meliputi darah
Saireri, sedang kan wilayah III Budayaa dat Doberay melipti daerah kepala
burung. Selanjutnya, wilayah IV budaya adat Bomberai meliputi daerah Teluk
Bintuni hingga Mimika. Untuk wilayah V budaya adat Ha-Anim meliptui daerah
Asmat hingga Kondo (Merauke). Sedangkan wilayah VI budaya adat La Pago meliputi
daerah pegunungan tengah bagian Timur dan Wilayah VII budaya adat Me Pago
meliptuit daerah pegunungan tengah bagian Barat.
Sementara
itu, secara umum kepemimpinan adat papua terbagi menjadi dua yakni kepemimpinan
sistem kerajaan dan sistem campuran. Ciri Sistem kerajaan bahwa kedudukan
pemimpin menurut tradisi adalah pewarisan kepada anak lelaki sulung dari
pemimpin yang sedang berkuasa. Sedangkan ciri kepemimpinan sistem campuran
tidak selalu berasal dari garis keturunan tetapi dapat beralih ke orang lain
yang memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah yang timbul pada situasi
tertentu. Contoh kepemimpinan berdasarkan warisan atau keturunan berada
diwilayah Raja Ampat pada orang Kawe, Maya, matbat, Moi atau Beser. Sedangkan
kepepemimpinan berdasarkan pencapaian kedudukan pada orang Maybrat.
Sistem
penguasaan tanah di papua yang merupakan hak ulayat berkaitan dengan
kependudukan orang papua dengan tanahnya yang berhubungan dengan hubungan
kekerabatan, kekuasaan, kepemimpinan, sumber nafkah, ritus dan alam roh. Pada
dasarnya sistem penguasaan atau kepemilikan tanah meliputi kepemilikan komunal
dan individu. Untuk kepemilikan komunal dapat dibedakan lagi menjadi
berdasarkan marga besar (kampung) atau kecil (marga keluarga atau clan).
Sedangkan kepemilikan individu bukanlah hak perorangan melainkan karena
keturunan atau warisan. Namun patut disadari, bahwa hak ulayat bukan sekedar
karena masalah ekonomi tetapi hubungannya tanah dengan keyakinan atau hubungan
batin atau sejarah.
D. Pergeseran Nilai Budaya dan Kepemimpinan Masyarakat
Adat di Tanah Papua
Pergeseran
nilai budaya atas hak ulayat terjadi disebabkan adanya intervensi kekuasaan
asing yang berakibat lemahnya pengendalian hak orang papua asli terhadap
kepemilikan atau penguasaan atas tanah ulayat. Sebenarnya pergeseran nilai
budaya adat sudah lama terjadi, bahkan sejak jaman penjajahan Belanda di tanah
Papua pada tahun 1828. Adanya penjajahan tersebut berarti masuknya intervensi
kekuasaan asing Belanda di tanah papua dan demi kepentingan penjajah, maka
pemerintah Belanda menunjuk salah seorang penduduk asli papua yang bisa berkomunikasi
atau bisa berbahasa melayu.
Selanjutnya
orang tersebut (yang mampu berkomunikasi berbahasa melayu) diangkat oleh
pemerintah Belanda sebagai Kepala Suku yang bertugas untuk membicarakan masalah
hak-hak ulayat adat dan membangun komunikasi dengan masyarakat papua demi
kepentingan penjajahan belanda saat itu. Sejak saat itu berarti sudah terjadi
pergeseran nilai atau transformasi budaya, dimana kepemimpinan masyarakat tidak
lagi berdasarkan hak keturunan, namun seseorang yang mampu mengatasi permasalahan
adat dengan dunia luar demi kepentingan adat dan dikenal dengan sistem
kepemimpinan campuran.
Pola
kepemimpinan sistem campuran tersebut berlanjut setelah jaman kemerdekaan yakni
terjadinya Penentuan Pendapat rakyat atau Pepera pada tahun 1969, dimana pemerintah
Indonesia dalam hal ini ingin membangun komunikasi apakah masyarakat papua
ingin bergabung dengan Republik Indonesia, maka menunjuk Kepala Suku (tentu
saja yang bisa berkomunikasi dengan berbahasa melayu atau Bahasa Indonesia)
untuk membicarakan masalah tersebut. Kondisi tersebut terus berlanjut hingga
terjadi pembentukan otonomi khusus masyarakat papua pada tahun 2001, melalui
kepala suku sebagai pemimpin adat untuk membicarakan masalah pembangunan dan
lainnya.
Dengan
demikian sistem campuran merupakan penunjukkan pemimpin sebagai penguasa atas
tanah adat karena kemampuannya bisa berkomunikasi dengan pihak luar untuk
mengatasi masalah adat dan tanah ulayat mereka. Penguasa adat dalam sistem
campuran tersebut mulai dikenalkan sebaga kepala suku berdasarkan orang-orang
yang ditunjuk oleh kaum belanda. Transformasi atau perubahan budaya terus
berlanjut setelah kemerdekaan karena perlunya tanah papua dalam pembangunan,
sehingga kepala-kepala suku itulah yang dapat berkomunikasi dengan orang-orang
diluar papua terutama pemerintah pusat. Seiring perubahan jaman, juga mulai
terjadi pegeseran nilai buadaya karena hak atas tanah ulayat tidak lagi
didasari kesucian hubungan kepemilikan dengan tanah ulayat mereka, melainkan
lebih berdasarkan kepentingan ekonomi.
E. Perbandingan Perubahan Nilai Budaya dan Orientasi Masyarakat
Adat Di Daerah lainnya
Ada
baiknya kita juga mencari perbandingan, apakah pergersan nilai atas adat dan
hak atas tanah ulayat juga terjadi di daerah lainnya. Dalam hal ini, penulis mencoba
mengupas hasil penelitian yang dilakukan I ketut Kaler, Mahasiswa Proram Studi
Antropologi Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana, Bali dalam artikel yang
berjudul “Arti dan Fungsi tanah Adat bagi Masyarakat Bali: Studi kasus di Desa
Adat batubulan” (Sunari Penjor, Vol.2 No.1, maret 2018).
Sejak
dua dasawarsa yang lalu dimana terjadinya perkembangan sektor pariwisata di
Bali turut menyumbang terjadinya pergeseran nilai dan budaya adat di Bali. Jika
secara sepintas memang terlihat keberhasilan pemerintah Bali di bidang kemajuan
perekonomian karena mempertahankan adat dan budaya Bali setempat sekaligus
menjual kepada pihak luar (wisatawan) dari sektor pariwisata dan menjadi
penghasilan atau Pendapatan Asli daerah (PAD) yang akan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat disana.
Dengan
memperkenalkan desa adat setempat dengan keragaman budaya maka terkait hak atas
tanah ulayat adat yang semula bersifat sosio-religius mulai bergerser atau
terjadi perubahan orientasi menjadi sosio-ekonomis.Pada awalnya Komunitas
desa adat Batubulan secara historis memaknai tanah adat sebagai sesuatu yang
bersifat sosio-religius. Hal itu tampak di dalam aktualisasi keyakinannya bahwa
tanah-tanah adat yang mereka tempati dan usahakan adalah merupakan tanggung jawab
terhadap keberlangsungan eksistensi desa adat utamanya keberlangsungan Pura
Kahyangan Desa. Kecuali itu, tanah diyakini mempunyai roh, sehingga di setiap
pekarangan rumah dibuatkan kuil yang disebut Tugu Penunggun Karang yang
biasanya dibangun pada pojok arah barat laut areal rumah.
Semenjak masuknya Proyek
Operasi Nasional Agraria (PRONA) tahun 1983/1984 di desa Batubulan, maka mulai
terlihat adanya gejala perubahan orientasi terhadap arti dan fungsi tanah adat.
Kecuali itu, perkembangan sektor pariwisata secara tidak langsung juga turut
merangsang terjadinya perubahan orientasi tersebut. Tawaran pensertifikatan
tanah adat khususnya tanah persawahan melalui program Prona telah merangsang
warga untuk mendaftarkan tanah yang dikelolanya. Perlu diketahui bahwa 74,3412
Ha. dari 644,00 Ha. Tanah adat telah disertifikatkan melalui jalur Prona atas
nama perseorangan (Kaler, 2000: 71).
Implikasi lebih lanjut
menunjukkan bahwa tanah-tanah adat yang telah bersertifikat atas nama
perseorangan mulai diperlakukan secara individual termasuk menjualnya. Semakin
hari kebutuhan akan tanah semakin tinggi sejalan dengan pertumbuhan dan
pertambahan penduduk. Hal itu menyebabkan nilai jual tanah juga akan semakin
meroket. Karena itu, tidak dapat dipungkiri bahwa tanah-tanah mulai
diperjualbelikan kepada pihak lain dengan harapan dapat memberikan keuntungan
ekonomis tinggi. Dengan demikian hasil penjualan itu akan digunakan untuk
kepentingan individu dan keluarganya, sehingga prinsip salunglung sabayantaka
(mempertahankan nilai historis tanah dengan leluhurnya) akan semakin memudar oleh
sikap fragmatis-ekonomis.
F. Penutup
Uraian
mengenai adanya perubahan orientasi atau pergeseran nilai adat budaya dan hak
atas tanah ulayat adat dimasa kini memiliki dampak akibat adanya pembangunan di
daerah dan kemajuan ekonomi, tidak hanya terjadi di tanah papua melainkan
disemua wilayah tanah air kita. Disatu sisi berdampak positif karena
pembangunan akan mensejahterakan masyarakat, namun disisi lain berdampak negatif
karena adanya pembangunan akan menggeser tanah wilayah adat dan budaya yang
patut dilestarikan. Dengan demikian sangatlah wajar adanya bentrokan atau
friksi sosial yang terjadi dimana masyarakat adat akan mencoba untuk
mempertahankan tanah adat sebagai warisan leluhurnya, namun disisi lain adanya
desakan kebutuhan ekonomi telah menggeser pola pemikiran sebagian masyarakat
adat setempat.
Hal
ini menjadi renungan bagi para pelaku pembangunan untuk mencoba bersikap bijak
dan memahami adat budaya setempat. Walau kondisi terkini sudah lebih baik
dibandingkan rezim terdahulu berkaitan dengan biaya pergantian hak atas
kepemilikan tanah yang semula dengan pola “ganti rugi” (bahkan dengan alasan
demi kepentingan umum, ganti rugi hak atas tanah hanya dibayar minimal) menjadi
pola “ganti untung” yakni harga tanah dibayar secara wajar bahkan ditambah
dengan kompensasi tertentu sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pertanahan
yang baru.
Dengan
demikian kita mulai sedikit memahami mengapa terjadi istilah palang kayu di
tanah papua saat terjadi pembangunan, karena itu merupakan ungkapan simbolik
protes sosial atas hak tanah ulayat bagi masyarakat hukum adat disana yang sudah
dilindungi oleh ketentuan pemerintah setempat. Demikian pula dengan masyarakat
adat di daerah lainnya, mungkin dengan ungkapan simbolik protes sosial dalam
bentuk lainnya.
Referensi
:
1.
Andreas Jefri Deda
dan Suriel Semuel Mofu, Dosen Fakultas Sastra Universitas Negeri Papua dan
Rektor Universitas Negeri Papua, Masyarakat Hukum Adat dan Hak Ulayat di
Provinsi papua barat Sebagai orang Asli Papua Ditinjau dari Sisi Adat dan
budaya; Sebuah Kajian Etnografi Kekinian, Jurnal Administrasi Publik, Vol. 11
Nomor 2, Oktober 2014.
2.
I ketut Kaler, Mahasiswa
Proram Studi Antropologi Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana- Bali, Arti
dan Fungsi tanah Adat bagi Masyarakat Bali: Studi kasus di Desa Adat batubulan,
Sunari Penjor, Vol.2 No.1, Maret 2018.
Komentar
Posting Komentar