Artikel Semi Serius (ASUS):
Kultur Mudik Lebaran di Indonesia dan Dampak Tular Positif
Sebagai Pemerkuat Ekonomi di Daerah
Oleh: Cak Bro
*PENGANTAR*
Sebelum menjelang Ramadhan, di media terangkat berita tentang protes para pengusaha atas tambahan cuti bersama Lebaran tahun 2018 karena dikhawatirkan akan mengganggu roda perekonomian para pelaku usaha.
Akhirnya Wakil Presiden RI Juduf Kalla memberikan pernyataan bahwa libur tambahan tidak akan membuat ekonomi macet, justru sebaliknya cuma beda porsinya. Terutama pergerakan ekonomi di bidang Wisata dan wisata kuliner di daerah. (Selasa, 8/5/2018, Kompas.com)
*GELIAT EKONOMI DAERAH SAAT MUDIK LEBARAN*
MUDIK Lebaran merupakan ritual tahunan yang menyertai setiap perayaan hari raya Idul Fitri di Indonesia khususnya. Padahal jika dicermati peristiwa mudik Lebaran di Indonesia bisa dibilang cukup fenomenal. Bagaimana tidak?
Pertama, mudik Lebaran melibatkan pergerakan jutaan penduduk di seluruh wilayah Indonesia, yang terjadi hampir serentak dengan pola yang searah.
Utamanya pergerakan dari kota-kota besar menuju daerah-daerah perdesaan dan kota-kota kecil. Data Kementerian Perhubungan memperkirakan arus mudik tahun 2016 mencapai sekitar 30 juta orang.
Kedua, animo masyarakat yang melakukan mudik tidak terpengaruh kondisi apa pun, termasuk adanya perlambatan ekonomi.
Bahkan mengabaikan tingginya biaya tiket perjalanan dan rela terjebak kemacetan panjang hanya untuk dapat mudik.
Ketiga, sekalipun terjadi perkembangan era teknologi komunikasi, hasrat untuk bersilaturahim secara langsung melalui mudik tetap tinggi.
Padahal, silaturahim tidak lagi hanya dapat dilakukan melalui telepon, email bahkan dapat bertatap muka langsung melalui video call.
Keempat, kegiatan mudik juga disertai pergerakan ekonomi yang cukup besar.
Bahkan Pemerintah mewajibkan para pelaku usaha memberikan tunjangan hari raya (THR) kepada karyawannya minimal sebesar satu kali gaji.
Jumlah pekerja sektor formal diperkirakan sekitar 47,5 juta orang. Jika diasumsikan rata-rata upah minimum sekitar Rp2 juta per bulan, setidaknya terdapat lebih dari Rp90 triliun yang juga terbawa oleh pergerakan para pemudik.
Apalagi pemerintah tidak hanya menetapkan gaji ke-13 (THR) namun juga mencairkan gaji ke-14.
Melalui efek perputaran uang (velocity of money), tentu nilai riil perputaran uang dapat mencapai dua kali lipat dari nilai tersebut.
Artinya selama Idul Fitri terdapat perputaran uang tunai dan potensi transfer dana dari kota ke desa yang hampir mencapai Rp200 triliun
*INFLASI SEBAGAI FAKTOR HAMBAT*
Keempat hal tersebut minimal cukup untuk merefleksikan bahwa tradisi mudik Lebaran tidak hanya berdimensi religius, juga sangat kental dengan dimensi sosial, budaya, juga pergerakan ekonomi masyarakat.
Jika mampu dikapitalisasi dan dioptimalkan, tradisi mudik ini dapat menjadi momentum untuk menggerakkan ekonomi yang sangat besar.
Adanya potensi peningkatan kemampuan belanja masyarakat ini mestinya mampu mendongkrak permintaan dan memacu produksi.
Sayangnya, tambahan amunisi belanja masyarakat dengan adanya THR selalu dihadang melambungnya harga kebutuhan pokok dan kenaikan tarif transportasi untuk pemenuhan kebutuhan mudik Lebaran. Akibatnya, momentum peningkatan permintaan yang sedianya memacu produksi tertiadakan oleh tingginya inflasi.
Padahal, jika pemerintah mampu menstabilkan harga kebutuhan pokok, peningkatan daya beli masyarakat tentu akan menjadi daya dorong dalam memacu produksi secara nasional.
Artinya, kapasitas produksi akan meningkat dan penciptaan lapangan kerja akan meluas sehingga dalam jangka berikutnya akan semakin memompa daya beli masyarakat.
Di samping menjadi momentum memacu produksi, tradisi mudik Lebaran juga dapat sebagai instrumen pemerataan kue pembangunan, perbaikan infrastruktur dan menggerus kesenjangan ekonomi antara kota dan desa.
*TERJADINYA MULTIFLIER EFFECT EKONOMI DI DAERAH*
Seiring pergerakan pemudik, pendapatan masyarakat berpenghasilan menengah ke atas yang terkonsentrasi di kota besar berpeluang tertransfer dan diredistribusi ke berbagai pelosok daerah.
Setidaknya terdapat empat kegiatan pemudik yang efektif menggerakkan potensi ekonomi daerah, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Pertama, melalui kegiatan konsumsi untuk pemenuhan kebutuhan selama pemudik berada di daerah. Mulai dari pemenuhan kebutuhan makanan dan minuman dan kebutuhan jasa transportasi.
Wisata kuliner merupakan pengeluaran pemudik yang langsung tertransfer pada kegiatan ekonomi yang ada di daerah. Apalagi jika pelaku ekonomi daerah mempunyai berbagai kreativitas seperti industri makanan dan kerajinan yang dapat menjadi suvenir untuk dapat dibawa pulang pemudik ke kota.Kegiatan ini berpotensi menggerakkan potensi ekonomi daerah. Apalagi para pemudik juga dapat berperan sebagai agen promosi produk lokal. Tentu akan semakin mengembangkan area pemasaran produk daerah ke skala yang lebih luas.
Kedua, kegiatan penyaluran zakat, infak dan sedekah pemudik. Kegiatan ini tidak hanya sebatas menyalurkan zakat yang bersifat santunan kepada fakir miskin, tetapi juga dapat diperluas dengan penggalangan dana dari para pemudik yang telah sukses untuk memperbaiki berbagai infrastruktur ekonomi yang dibutuhkan di desa.
Banyak daerah yang sukses mengembangkan potensi desa atas bantuan dan kreativitas penduduk yang sukses di kota. Ketersediaan infrastruktur dasar akan efektif mengembangkan nilai tambah berbagai potensi desa.
Ketiga, mengoptimalkan kegiatan wisata.
Banyak daerah yang memiliki objek destinasi wisata yang menawan. Sayangnya, banyak pemerintah daerah yang kurang peduli dan kreatif untuk memberdayakan potensi wisata tersebut.
Jika pemerintah daerah mampu mempersolek berbagai objek wisata daerah, itu dapat menyedot kunjungan para pemudik. Tentu tidak hanya berdampak pada peningkatan restribusi dan pendapatan asli daerah (PAD).
Namun, keberadaan objek wisata juga menggerakkan berbagai macam kegiatan ekonomi berbasis pariwisata yang memiliki memiliki multiplier effect bagi kegiatan ekonomi daerah.
Penutup
Demikian uraian sekilas tentang Pengaruh positif Kebiasaan (Kultur) Mudik Lebaran dan ketok tular (multiflier effect) ekonomi bagi Daerah. Diharapkan momen tersebut tak sekedar geliat ekonomi temporer namun bisa berkesinambungan secara terencana.
Pemerintah daerah dapat memanfaatkan program dana desa untuk pembangunan infrastruktur termasuk daerah unggulan wisata. Sedangkan potensi ekonomi daerah oun dapat dikelola dengan baik melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMN Desa) atau koperasi disana.
Hendaknya tiap pemerintah daerah dapat memanfaatkan momentum ritual mudik lebaran dengan positif. Terutama kepada pemerintah agar dapat mengendalikan inflasi harga baik harga pokok maupun transportasi sehingga geliat ekonomi dapat terfokus ke daerah secara efektif.
Referensi:
1. Penambahan Cuti Lebaran Justru Buat Ekonomi Meningkat, 8 Mei 2018, Kompas.com
2. Enny Sri Hartati, Direktur Indef, Mudik dan Menggeliatkan Ekonomi Daerah, 4 Juli 2016, Media Indonesia.com
Kultur Mudik Lebaran di Indonesia dan Dampak Tular Positif
Sebagai Pemerkuat Ekonomi di Daerah
Oleh: Cak Bro
*PENGANTAR*
Sebelum menjelang Ramadhan, di media terangkat berita tentang protes para pengusaha atas tambahan cuti bersama Lebaran tahun 2018 karena dikhawatirkan akan mengganggu roda perekonomian para pelaku usaha.
Akhirnya Wakil Presiden RI Juduf Kalla memberikan pernyataan bahwa libur tambahan tidak akan membuat ekonomi macet, justru sebaliknya cuma beda porsinya. Terutama pergerakan ekonomi di bidang Wisata dan wisata kuliner di daerah. (Selasa, 8/5/2018, Kompas.com)
*GELIAT EKONOMI DAERAH SAAT MUDIK LEBARAN*
MUDIK Lebaran merupakan ritual tahunan yang menyertai setiap perayaan hari raya Idul Fitri di Indonesia khususnya. Padahal jika dicermati peristiwa mudik Lebaran di Indonesia bisa dibilang cukup fenomenal. Bagaimana tidak?
Pertama, mudik Lebaran melibatkan pergerakan jutaan penduduk di seluruh wilayah Indonesia, yang terjadi hampir serentak dengan pola yang searah.
Utamanya pergerakan dari kota-kota besar menuju daerah-daerah perdesaan dan kota-kota kecil. Data Kementerian Perhubungan memperkirakan arus mudik tahun 2016 mencapai sekitar 30 juta orang.
Kedua, animo masyarakat yang melakukan mudik tidak terpengaruh kondisi apa pun, termasuk adanya perlambatan ekonomi.
Bahkan mengabaikan tingginya biaya tiket perjalanan dan rela terjebak kemacetan panjang hanya untuk dapat mudik.
Ketiga, sekalipun terjadi perkembangan era teknologi komunikasi, hasrat untuk bersilaturahim secara langsung melalui mudik tetap tinggi.
Padahal, silaturahim tidak lagi hanya dapat dilakukan melalui telepon, email bahkan dapat bertatap muka langsung melalui video call.
Keempat, kegiatan mudik juga disertai pergerakan ekonomi yang cukup besar.
Bahkan Pemerintah mewajibkan para pelaku usaha memberikan tunjangan hari raya (THR) kepada karyawannya minimal sebesar satu kali gaji.
Jumlah pekerja sektor formal diperkirakan sekitar 47,5 juta orang. Jika diasumsikan rata-rata upah minimum sekitar Rp2 juta per bulan, setidaknya terdapat lebih dari Rp90 triliun yang juga terbawa oleh pergerakan para pemudik.
Apalagi pemerintah tidak hanya menetapkan gaji ke-13 (THR) namun juga mencairkan gaji ke-14.
Melalui efek perputaran uang (velocity of money), tentu nilai riil perputaran uang dapat mencapai dua kali lipat dari nilai tersebut.
Artinya selama Idul Fitri terdapat perputaran uang tunai dan potensi transfer dana dari kota ke desa yang hampir mencapai Rp200 triliun
*INFLASI SEBAGAI FAKTOR HAMBAT*
Keempat hal tersebut minimal cukup untuk merefleksikan bahwa tradisi mudik Lebaran tidak hanya berdimensi religius, juga sangat kental dengan dimensi sosial, budaya, juga pergerakan ekonomi masyarakat.
Jika mampu dikapitalisasi dan dioptimalkan, tradisi mudik ini dapat menjadi momentum untuk menggerakkan ekonomi yang sangat besar.
Adanya potensi peningkatan kemampuan belanja masyarakat ini mestinya mampu mendongkrak permintaan dan memacu produksi.
Sayangnya, tambahan amunisi belanja masyarakat dengan adanya THR selalu dihadang melambungnya harga kebutuhan pokok dan kenaikan tarif transportasi untuk pemenuhan kebutuhan mudik Lebaran. Akibatnya, momentum peningkatan permintaan yang sedianya memacu produksi tertiadakan oleh tingginya inflasi.
Padahal, jika pemerintah mampu menstabilkan harga kebutuhan pokok, peningkatan daya beli masyarakat tentu akan menjadi daya dorong dalam memacu produksi secara nasional.
Artinya, kapasitas produksi akan meningkat dan penciptaan lapangan kerja akan meluas sehingga dalam jangka berikutnya akan semakin memompa daya beli masyarakat.
Di samping menjadi momentum memacu produksi, tradisi mudik Lebaran juga dapat sebagai instrumen pemerataan kue pembangunan, perbaikan infrastruktur dan menggerus kesenjangan ekonomi antara kota dan desa.
*TERJADINYA MULTIFLIER EFFECT EKONOMI DI DAERAH*
Seiring pergerakan pemudik, pendapatan masyarakat berpenghasilan menengah ke atas yang terkonsentrasi di kota besar berpeluang tertransfer dan diredistribusi ke berbagai pelosok daerah.
Setidaknya terdapat empat kegiatan pemudik yang efektif menggerakkan potensi ekonomi daerah, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Pertama, melalui kegiatan konsumsi untuk pemenuhan kebutuhan selama pemudik berada di daerah. Mulai dari pemenuhan kebutuhan makanan dan minuman dan kebutuhan jasa transportasi.
Wisata kuliner merupakan pengeluaran pemudik yang langsung tertransfer pada kegiatan ekonomi yang ada di daerah. Apalagi jika pelaku ekonomi daerah mempunyai berbagai kreativitas seperti industri makanan dan kerajinan yang dapat menjadi suvenir untuk dapat dibawa pulang pemudik ke kota.Kegiatan ini berpotensi menggerakkan potensi ekonomi daerah. Apalagi para pemudik juga dapat berperan sebagai agen promosi produk lokal. Tentu akan semakin mengembangkan area pemasaran produk daerah ke skala yang lebih luas.
Kedua, kegiatan penyaluran zakat, infak dan sedekah pemudik. Kegiatan ini tidak hanya sebatas menyalurkan zakat yang bersifat santunan kepada fakir miskin, tetapi juga dapat diperluas dengan penggalangan dana dari para pemudik yang telah sukses untuk memperbaiki berbagai infrastruktur ekonomi yang dibutuhkan di desa.
Banyak daerah yang sukses mengembangkan potensi desa atas bantuan dan kreativitas penduduk yang sukses di kota. Ketersediaan infrastruktur dasar akan efektif mengembangkan nilai tambah berbagai potensi desa.
Ketiga, mengoptimalkan kegiatan wisata.
Banyak daerah yang memiliki objek destinasi wisata yang menawan. Sayangnya, banyak pemerintah daerah yang kurang peduli dan kreatif untuk memberdayakan potensi wisata tersebut.
Jika pemerintah daerah mampu mempersolek berbagai objek wisata daerah, itu dapat menyedot kunjungan para pemudik. Tentu tidak hanya berdampak pada peningkatan restribusi dan pendapatan asli daerah (PAD).
Namun, keberadaan objek wisata juga menggerakkan berbagai macam kegiatan ekonomi berbasis pariwisata yang memiliki memiliki multiplier effect bagi kegiatan ekonomi daerah.
Penutup
Demikian uraian sekilas tentang Pengaruh positif Kebiasaan (Kultur) Mudik Lebaran dan ketok tular (multiflier effect) ekonomi bagi Daerah. Diharapkan momen tersebut tak sekedar geliat ekonomi temporer namun bisa berkesinambungan secara terencana.
Pemerintah daerah dapat memanfaatkan program dana desa untuk pembangunan infrastruktur termasuk daerah unggulan wisata. Sedangkan potensi ekonomi daerah oun dapat dikelola dengan baik melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMN Desa) atau koperasi disana.
Hendaknya tiap pemerintah daerah dapat memanfaatkan momentum ritual mudik lebaran dengan positif. Terutama kepada pemerintah agar dapat mengendalikan inflasi harga baik harga pokok maupun transportasi sehingga geliat ekonomi dapat terfokus ke daerah secara efektif.
Referensi:
1. Penambahan Cuti Lebaran Justru Buat Ekonomi Meningkat, 8 Mei 2018, Kompas.com
2. Enny Sri Hartati, Direktur Indef, Mudik dan Menggeliatkan Ekonomi Daerah, 4 Juli 2016, Media Indonesia.com
Komentar
Posting Komentar