Mengapa mereka sanggup berbuat korupsi
Refleksi Kasus
Rekening Gendut PNS Muda :
Analisis Cara Kerja
Otak yang Membuat Mereka Sanggup Berbuat Korupsi
Oleh : Subroto (Cak
Bro)
Pengantar
VIVAnews (Minggu, 25 Desember 2011) - Pusat Pelaporan
Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) memiliki data bahwa hampir 50 persen
rekening terlapor yang terindikasi korupsi adalah kelompok usia muda, yakni
mulai di bawah 30 sampai 44 tahun. PPATK juga mengajukan usulan agar rekrutmen
pejabat eselon I dan II diperketat.
"Mereka
yang berusia 40 tahun ke bawah itu anak-anak muda yang pada tahun 1997 dan 98
ikut aktif meneriakan perubahan dan reformasi. Setelah duduk di kursi empuk kok
jadi berubah 360 derajat? Dulu membela, sekarang tega menghisap darah
rakyat," kata Wakil Ketua PPATK Agus Santoso dalam perbincangan dengan
VIVAnews.com.
Data
menunjukan bahwa hampir 50% dari jumlah Terlapor pada Hasil Analisis Proaktif
PPATK menurut Kelompok Umur selama tahun 2011 berusia muda, yaitu dari di bawah
30 tahun sampai 44 tahun. Tren koruptor muda ini menunjukan tumbuhnya budaya
permisif di lingkungan keluarga maupun masyarakat.
Uraian di atas merupakan kutipan
dari salah satu media publikasi yang menandakan bahwa korupsi masih merajalela
di negeri yang kita cintai, bahkan Ibu Sri Mulyani, Mantan Menteri Keuangan
RI, menyatakan bahwa korupsi yang
dilakukan di Indonesia sudah bersifat sistemik dan bukan epidemic lagi. Yang
sangat mengkhawatirkan adalah gembar-gembor atau gaung anti-korupsi seolah
bagai “angin lalu saja”, karena sesuai dengan pernyataan Wakil Ketua PPATK,
Agus Santoso, justru para pemuda penggerak reformasi sebelumnya sudah mulai
ikut tertular virus tersebut. Mengapa hal ini bisa terjadi?.
Bicara tentang korupsi, pasti
terkait dengan masalah moralitas. Namun terkadang orang terlupa bahwa moralitas
tidak hanya bicara tentang sebuah sikap saja melainkan pola pikir atau pola
kerja otak yang mempengaruhi sikap kita. Pada dasarnya salah satu fungsi otak
kita terbagi menjadi dua bagian yakni otak rasional dan otak emosional,
keduanya selalu bekerja bersamaan dan akan mempengaruhi tindakan kita dalam
pengambilan keputusan untuk berbuat atau bertindak sehari-hari.
Otak rasional bekerja dengan pola
matematis dalam mengambil keputusan yakni antara untung atau rugi, besar atau
kecil, sedikit atau banyak, murah atau mahal, bertindak atau diam, dsb.
Sedangkan pola kerja otak emosional merupakan hal yang sangat misteri dan
dianggap bertindak tidak rasional. Otak emosional bekerja untuk mempengaruhi
keputusan yang diambil oleh otak rasional, yang mempertimbangkan antara benar
atau salah, jahat atau baik, boleh atau tidak boleh, senang atau sedih, suka
atau tidak suka, dsb.
Pola kerja kedua jenis otak
tersebut dapat digambarkan seperti cara kerja sebuah gunting, dimana bilah
gunting yang satu mengeksekusi tindakan dan bilah gunting yang lain
mempengaruhi jalur yang akan digunting. Semuanya itu berkerja di bawah alam
sadar kita, mereka keduanya saling bertarung untuk berdebat antara saling
mempengaruhi dan mengeksekusi suatu tindakan. Oleh karenanya, saya mencoba
me-repost tulisan saya terdahulu di Millist warga.bpkp sekedar mengingatkan
kembali untuk menjelaskan mengapa mereka dapat berbuat korupsi? atau mengapa
kita sering melanggar peraturan dan berbuat salah melalui kisah teka-teki
klasik yang amat terkenal di bidang filsafat, seperti yang di uraikan di bawah
ini.
TEBAK-TEBAKAN KASUS
DILEMATIS :
Disini ada sebuah kasus dilema
yang menarik mengenai sebuah kisah yang akan menguji akal rasio/logika dan
perasaaan anda.
1.
Anda adalah seorang supir bis DAMRI, suatu hari
bis yang anda kendarai melaju dengan kecepatan tinggi disebuah perempatan jalan
sementara itu bis tersebut mengalami kerusakan pada rem alias blong. Bis
tersebut bergerak begitu cepat ke arah kanan, sementara disana terdapat 5 orang
pekerja yang sedang memperbaiki jalan. Sebaliknya, jika anda dapat membelokkan
bis tersebut ke sebelah kiri dengan sekuat tenaga untuk mengendalikan stir
kendaraan tersebut. Namun di jalur kiri terdapat seorang yang sedang menyebrang
jalan.
Pertanyaan :
a) Kira-kira
keputusan mana yang anda ambil sesegera mungkin, berusaha mengendalikan bis
berbelok ke kiri dengan mengorbankan satu orang penyebrang jalan (dengan
berusaha sekuat tenaga tentunya mengendalikan stir bis tersebut),
b) ataukah
pasrah bis berbelok kekanan dengan menewaskan 5 orang pekerja yang sedang
memperbaiki jalan?, Jelaskan argumentasi/alasan mengapa anda bersikap
demikian?.
2.
Sekarang ini posisi anda adalah sedang berdiri
di perempatan jalan dan sedang menyaksikan bis DAMRI tersebut yang melaju
dengan kecepatan tinggi berbelok kearah kanan yang akan menabrak 5 orang
pekerja yang sedang memperbaiki jalan. Namun selain anda diperempatan jalan
tersebut, ada seorang pula yang berbadan besar dan tambun. Anda berpikir
seandainya dapat mendorong tubuh orang besar ketika bis melintas dan
menabrakkannya, ada kemungkinan akan dapat membelokkan arah bis sehingga ke 5
orang pekerja jalanan terhindar dari kecelakaan.
Pertanyaan :
a) Kira-kira
keputusan mana yang anda ambil sesegera mungkin, berusaha mendorong tubuh orang
yang bertubuh besar tersebut ke arah bis saat melintas (hanya mengorbankan
satu nyawa) ataukah anda berdiam diri
saja dan menyaksikan bis yang melaju pesat menabrak dan akan menewaskan ke 5
orang pekerja jalan?. Jelaskan argumentasi/alasan mengapa anda bersikap
demikian?.
b) Jika
anda memilih sikap untuk mendorong orang yang bertubuh besar, tanyakan kepada
diri anda mampukah anda berbuat demikian?
3.
Suatu hari ada seorang kakak dan adik
berkebangsaan amerika, George dan Jeanette sedang berlibur ke Bali. Mereka
bersuka ria hingga suatu malam mereka berpesta mabuk-mabukkan. Dalam kondisi
mabuk mereka bersepakat melakukan percintaan untuk pertama kalinya, namun untuk
menghindari agar tidak hamil Sang adik meminum pil anti hamil dan sang kakak
menggunakan alat pengaman. Pada
keesokkan harinya saat mereka tersadar, mereka berjanji tidak akan mengulangi
perbuatan tersebut dan menganggap kisah tersebut sebagai tali pengikat persaudaraan.
(Patut diingat untuk budaya amerika merupakan hal wajar melakukan percintaan
/berhubungan badan pertama kali ketika
remaja dengan kekasihnya merupakan hal wajar sebagai tanda kedewasaan).
Pertanyaan :
Apakah mereka bersalah melakukan tindakan tersebut? Jelaskan argumentasi/alasan
mengapa anda bersikap demikian?.
Silahkan anda
menjawab, Semoga Sukses!
JAWABAN KASUS
DILEMATIS
Pertanyaan
tersebut merupakan hasil eksperimen seorang pakar neurosains, Joshua Greene
dari Harvard University bahwa otak manusia pada dasarnya dikendalikan oleh otak
rasional (yang mengambil keputusan berdasarkan logika) dan emosional (yang
mempengaruhi pengambilan keputusan berdasarkan moral).
JAWABAN 1 :
Berdasarkan
hasil eksperimen, 95% responden berpendapat setuju membelokkan ke kiri karena
diperbolehkan secara moral, padahal keputusan tersebut di dominasi oleh otak
rasional daripada emosional berdasarkan perhitungan matematis dengan
kesimpulan: lebih baik membunuh satu orang daripada mengorbankan lima nyawa.
JAWABAN 2 :
a) Berdasarkan
hasil jawaban responden tetap berpendapat sama bahwa : lebih baik mengorbankan
satu orang daripada lima orang (dengan mendorong orang yang bertubuh besar yang
dapat melencengkan arah bis sehingga terhindar menabrak 5 orang pekerja jalan).
b) Ketika
dihadapkan oleh pertanyaan kedua, responden menjawab tidak mampu melakukannya
(berarti mengorbankan lima nyawa pekerja jalan). Dengan mendorong orang yang
bertubuh besar terasa salah karena melakukan pembunuhan secara langsung,
sedangkan bis menabrakkan ke arah 5 orang pekerja merupakan pembunuhan secara
tidak langsung.
JAWABAN 3 :
Kasus skenario
moral pertanyaan 3 diciptakan oleh Haidt dalam bukunya “The Emotional Dog”.
Reaksi atau jawaban responden secara moral berpendapat bahwa tindakan
kakak dan adik adalah dosa besar dan
perbuatan tersebut merupakan salah besar. Argumen yang diberikan adalah
hubungan seks antar saudara kandung akan berakibat fatal yakni akan
menghasilkan bayi yang cacat dari hubungan insest tersebut dan akan merusak
hubungan persaudaraan mereka.
Namun ketika
diajukan dengan bantahan secara logika bahwa mereka telah menggunakan alat
pengaman dan minum anti pil hamil sebelum melakukan hubungan percintaan
sehingga menjamin tidak akan terjadi kehamilan. Mereka tetap membantah dan berpendapat
bahwa hubungan tersebut adalah salah dan merupakan tindakan amoral. Walaupun
mereka diberikan argumen yang mematahkan pendapatnya secara logika, mereka akan
tetap berpendapat sama dengan mengajukan argumen yang lain, dan seterusnya.
Mereka tetap berkesimpulan bahwa tindakan tersebut adalah salah.
KESIMPULAN :
Pada dasarnya
tindakan seorang manusia dikendalikan oleh otaknya, dimana di dalam otak
tersebut terdiri milyaran sel-sel otak. Sel-sel otak itulah yang mengirimkan
sinyal-sinyal kepada simpul-simpul syaraf motorik (prefrontal cortex ) yang menggerakkan anggota tubuh kita untuk
bergerak atau melakukan sesuatu/tindakan. Secara keseluruhan otak tersebut
dikendalikan oleh otak rasional (prefrontal
cortex) dan emosional, kemudian prinsip kerja otak seperti halnya komputer
dengan bilangan binary untuk mengambil keputusan keputusan antara ya dan tidak
atau 0 dan 1, 0 dan 1, dst. Hingga terakumulasi secara dominan dan dapat
menyimpulkan sebuah keputusan untuk melakukan suatu tindakan.
Terhadap kasus
pertanyaan 2 merupakan situasi moral personal yang menjelaskan bahwa pembedaan
moral menjadi tidak begitu jelas (antara keputusan personal dan impersonal)
tertanam secara alamiah di dalam otak. Apa pun latar belakang budaya dan agama
seseorang, ketika dihadapkan atas kasus 2 dengan 2 pertanyaan a dan b akan
memicu pola-pola aktivitas kerja otak yang berlainan.
Untuk pertanyaan
2 a) mesin pembuat keputusan rasional menjadi aktif. Jaringan daerah-daerah
otak menilai berbagai opsi, mengirim keputusannya ke prefrontal cortex dan responden akan memilih opsi yang paling baik
yakni mengambil keputusan dan memilih “lebih baik membunuh satu orang daripada
5 orang”.
Dan sebaliknya,
ketika responden dihadapkan oleh pertanyaan 2 b) apakah dia mampu atau tega
mendorong orang tersebut agar ditabrakkan pada bus tersebut, maka jaringan
daerah-daerah otak lainnya yakni daerah otak yang berwarna abu-abu (superior
temporal sulcus, posterior cingulate, dan medial frontal gyrus) yang bertugas
menafsirkan pikiran dan perasaan orang lain. Dampaknya, responden tersebut
secara otomatis akan membayangkan bagaimana perasaan orang yang bertubuh yang
malang jatuh dan mati tertabrak oleh bis tersebut sehingga otak emosional
berkesimpulan bahwa melakukan tindakan tersebut merupakan kejahatan besar,
walaupun tindakan tersebut akan menyelamatkan 5 jiwa orang lain.
Pada dasarnya,
ketika kita bergerak atau melakukan sesuatu merupakan hasil perdebatan terus
menerus antara dua cara kerja otak kita tersebut. Otak rasional bekerja dengan
pola matematis dalam mengambil keputusan yakni antara untung atau rugi, besar
atau kecil, sedikit atau banyak, murah atau mahal, bertindak atau diam, dsb.
Sedangkan pola kerja otak emosional merupakan hal yang sangat misteri dan
dianggap bertindak tidak rasional. Otak emosional bekerja untuk mempengaruhi
keputusan yang diambil oleh otak rasional, yang mempertimbangkan antara benar
atau salah, jahat atau baik, boleh atau tidak boleh, senang atau sedih, suka
atau tidak suka, dsb. Otak emosional
inilah yang dikenal dengan otak perasaan atau moral (hati nurani) yang lebih
dikendalikan oleh moral, agama, adat, norma-norma, nasehat,dsb.
Pola kerja kedua
jenis otak tersebut dapat digambarkan seperti cara kerja sebuah gunting, dimana
bilah gunting yang satu mengeksekusi tindakan dan bilah gunting yang lain
mempengaruhi jalur yang akan digunting. Semuanya itu berkerja di bawah alam
sadar kita, mereka keduanya saling bertarung untuk berdebat antara saling
mempengaruhi dan mengeksekusi suatu tindakan.
Mudah-mudahan
hal tersebut dapat menjelaskan mengapa terkadang kita bisa berbuat kesalahan
atau melakukan perbuatan baik, mengapa kita dapat mematuhi peraturan tapi
terkadang melakukan pelanggaran. Pernahkan anda merasakan saat melakukan
kejahatan atau pelanggaran, otak emosional memberikan sinyal-sinyal (daerah
otak berwarna abu-abu) melalui simpul syaraf sehingga ketika melakukan antara
pergulatan batin dengan fakta ada rasa debar-debar atau jantung berdegub-degub,
atau ada rasa was-was/khawatir?.
Jika anda merasa
bahwa perbuatan itu tidak baik sehingga anda urung atau tidak jadi melakukan
perbuatan tersebut, pertanda otak emosional anda mendominasi memberikan
pertimbangan kepada otak rasional agar tidak melakukan. Namun jika anda tetap
melakukannya walau anda tahu bahwa itu perbuatan yang melanggar, pertanda otak
rasional telah mendominasi sehingga anda melakukan perbuatan tersebut. Otak
rasional bekerja bagaikan seorang pengacara yang mengumpulkan bukti-bukti atau
fakta dan diolah serta menjustifikasi/toleransi sehingga anda terpaksa tetap
melakukannya.
Oleh karena itu,
kita menyadari mengapa ada orang yang dapat melakukan kejahatan?, mengapa ada
orang yang masih berbuat korupsi?, mengapa ada orang yang melakukan
pelanggaran?,dsb. Kunci utamanya adalah kita sering menjustifikasi suatu
pelanggaran dengan alasan toleransi atau keterpaksaan (pembiaran otak rasional
mendominasi untuk tetap mengeksekusi tindakan). Selain itu, kita tidak pernah
memelihara otak emosional dengan pengayaan (enrichment) berupa : membaca
buku-buku moral atau keagamaan, melakukan kegiatan keagamaan (kebaktian minggu
atau ikut pengajian, sholat atau ke gereja misalnya), beramal atau sering
terlibat dalam kegiatan sosial agar timbul rasa empati terhadap sesama, dsb.
Semoga ulasan
tulisan yang tidak berguna ini bisa menjadi sebagai refleksi terhadap diri kita
(terutama diri saya pribadi), mengapa kita yang masih melakukan berbagai
kegiatan keagamaan atau banyak orang shaleh tetapi masih suka berbuat
pelanggaran, karena selalu berjustifikasi dengan alasan toleransi atau
keterpaksaan atau beranggapan bahwa manusia adalah “mahluk yang suka
berkhilaf”. Namun patut diingat bila kita melakukan pelanggaran dan bertobat
menyadari untuk tidak melakukan pelanggaran lagi adalah lebih baik. Namun jika
pelanggaran dilakukan kembali dan berkali-kali, maka anda telah menutup
moralitas (hati nurani) anda sehingga anda tidak merasa bahwa pelanggaran
tersebut bukanlah kesalahan. Seperti pepatah “ Alah bisa menjadi biasa, setelah
biasa menjadi kebiasaan”.
Sumber Pustaka : How We Decide (Kenali Cara Kerja Otak Agar Bisa Lebih
Cerdas dan tangkas Memutuskan Apa Saja), Jonah Lehrer, PT Serambi Ilmu Pustaka,
2009, Jakarta.
Komentar
Posting Komentar