Menerapkan Gaya Pemimpin Beresonansi (Resonance Leadership) Untuk Mendobrak Silo Manajamen Dalam Organisasi

 

A.     Pengantar:

Pernahkah anda melihat dalam suatu demo, terlihat sesorang yang dapat mempengaruhi barisan demo untuk mengikuti perintahnya?. Ada benarnya jika si pendemo yang ikut-ikutan mendapat uang saku atau bekal, namun apa benar mereka rela begitu saja untuk berpanas-panas ria?, Mereka dengan penuh semangat sanggup berjalan berkilo-kilo meter mengikuti sang pemimpin (walau si pemimpin berkendara)?. Jawaban anda sebagian benar karena pemimpin yang diikuti (bahkan secara fanatik) karena memiliki aura charisma. Tetapi sebenarnya buka kharisma saja yang dapat menggerakkan pengikutnya hingga begitu fanatik, ada kekuatan gerak yang mampu menggerakkan mereka yang lebih dikenal dengan daya resonansi.

Resonansi merupakan daya getar sesuatu benda yang dapat menggetarkan benda lain disekitarnya. Daya resonansi selalu terjadi disekitar kita dan dapat kita lakukan walau kita tidak memiliki kharisma. Misalnya, ketika kita berada di dalam kelas mengikuti suatu diklat yang membosankan. Apabila ada seseorang yang menguap, maka tanpa sadar akan membuat kita juga ikut menguap. Atau ketika sedang asyik melakukan perbincangan dengan seseorang dengan serius, tanpa sadar gerakan salah seorang akan diikuti dengan lawan bicaranya, entah dengan sekedar mengubah sikap duduk, coba bersedekap tangan, berkacak pinggang, memegang dagu, dsb. Daya resonansi ini dapat dipelajari dan bermanfaat bagi kita untuk mempengaruhi bawahan agar mau (tanpa sadar) mengikuti perintah dalam pelaksanaan tugas.

Aura pemimpin dalam bertindak atau bergerak yang selalu diikuti pengikutnya, baik secara sadar atau tidak bukan sekedar memiliki kharismatik semata, tetapi karena pemimpin tersebut memiliki kekuatan yang disebut dengan gerakan resonansi. Ternyata gerakan resonansi tersebut sangat dibutuhkan bagi manajer atau pimpinan dalam menjalankan organisasi yang perlu dikelola dengan baik. Gerakan resonansi tersebut mungkin sebagai jawaban untuk kisah obrolan pegawai di kantin kantor, mengapa pimpinan yang sekarang bisa mempengaruhi pegawai yang dulu cuek dan apatis terhadap kegiatan kantor dan mau ikut bekerjasama dan terlibat dalam setiap kegiatan yang sekarang. Resonansi leadership itu merupakan salah satu resep rahasia bagi pemimpin atau bisa dipelajari bagi calon pemimpin sebagai kunci sukses agar dapat tujuan organisasi tercapai secara efisien dan efektif.

B.     Pengertian Resonance Leadership

Dr. Anne McKee, lecture dari the Singapore Institute of Management's dalam bukunya " Resonant Leader" menjelaskan suatu cara untuk memahami bagaimana orang dapat mengembangkan Emotional Intelligence (EI) dan memaintain Resonant leader melalui - mind, body, heart and spirit; "People understand the "what" of leadership : the strategy, implementation, and control. What only a few understand is the " how" of leadership. This involve moving people through guiding emotions & passion. Resonance leader are adept at painting compelling pictures that inspire their subordinates."

Mengapa Emotional Intelligence (EI) kini sangat dibutuhkan selain Intelligence Quotion (IQ) oleh manager, karena pegawai membutuhkan pimpinan yang berfungsi sebagai "emotional shock absorber" yakni mereka ingin di resonansi atas respek yang dimilikinya berdasarkan hubungan kepercayaan yang dibangun. Oleh karena itu, mereka berharap pimpinan memiliki integritas dalam bersikap secara emosional berdasarkan kepercayaan dan kejujuran (trust & truth) dalam berhubungan dan berkomunikasi, dalam hal yang sama, mereka juga harus berjuang untuk bertahan di tengah kondisi ekonomi dan pengaruh globalisasi yang penuh ketidak pastian.

Pemimpin yang memiliki resonant leader dapat mengisnpirasi melalui ekspresi passion, commitment dan perhatian penuh kepada pegawai dan visi organisasi. Melalui keberanian dan harapannya, akan men-stimulan pegawai dalam menjalankan tugas untuk mencapai tujuan organisasi. Pemimpin yang dapat menciptakan resonansi yang baik adalah pemimpin yang memiliki intuisi untuk bekerja keras mengembangkan EI melalui: kompetensi atas self-awareness, self-management, social awareness dan relationship management.

Kesalahan besar terjadi dalam organisasi, para eksekutif dan manajer, akibat kesibukannya tak mampu mengembangkan - mind, body & behaviour - dalam menghadapi tantangan yang tak pernah berakhir di setiap waktu; " Many organization over value certain kind of destructive behaviour and tolerate discord and mediocre leadership for a very long time, especially if a person appears to produce results. Not much time - or encouragement- is given for cultivating skills and practices that will counter the effect of our stressful roles".

Emosi ternyata memegang peranan penting dalam berpikir dan bertindak, selain itu juga dipengaruhi oleh kultur dan budaya, menurut Mc Kee memiliki peranan sebesar 30% atas kinerja perusahaan. Pemimpin dapat mengarahkan emosinya melalui : hope, compassion, enthusiasm, dan excitement dapat memberikan hasil resonansi terbaik untuk menciptakan kultur organisasi yang baik.

Namun demikian, pimpinan organisasi dalam kesehariannya menjalankan peran tak pernah lepas dari rasa stress, dissonance, threat atau krisis yang akan menimbulkan apa yang dikenal dengan Sacrifice syndrome; "Our bodies are not equipped to deal with this kind of pressure day after day. Over time, we become exhausted - we burn out or burn up. The constant smal crises, heavy responsibilities, and perpetual need to influence people can be a heavy burden, so much so that leaders find themselves trapped in the sacrifice syndrome and slip into internal disquiet, unrest, and distress. In other word, dissonance becomes the default, even for leaders who can create resonance."

 

C.      Pengertian tentang Kepemimpinan

Dalam banyak literasi, diskursus tentang pemimpin dan manajer memang tidak ada habisnya. Karena keduanya tidak bisa dipisahkan atas perannya. Seorang pemimpin seharusnya memiliki pengetahuan tentang manajer, dan sebaliknya seorang manajer punya harus memiliki jiwa kepemimpinan. Pemimpina yang tidak bisa mengelola atau me-manage akan gagal dalam kepemimpinannya, dan seorang manajer yang tidak bisa memimpin akan gagal dalam aktivitas manajerialnya.

Kepemimpinan (leadership) menurut Swanburg (1995) adalah suatu proses yang mempengaruhi aktivitas suatu kelompok yang terorganisasi dalam usahanya mencapai penetapan dan pencapaian tujuan. Sedangkan menurut George Tery (1986), kepemimpinan adalah kegiatan untuk mempengaruhi orang lain agar mau bekerja denga suka rela untuk mencapai tujuan kelompok. Jadi, kepemimpinan adalah menekankan pada proses perilaku yang befungis di dalam  dan di luar organisasi, seorang pemimpin harus dapat memotivasi dan memberi isnpirasi orang lain secara individu maupun secara kelompok. Sedangkan manajemen adalah pengkordinasian dan pengintegrasian semua sumber daya melalui proses perencanaan, pengorganisasisan, pengarahan dan pengawasan dalam pencapaian tujuan.

Seorang pemimpin dianggap sebagai manajer karena memiliki kekuasaan sebagai pemimpin berdasarkan azas legitimasi atau authority. Pegawai sebagai staf atau bawahan akan menuruti perintahnya karena takut dengan hukuman disiplin sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sedangkan pemimpin yang memiliki jiwa kepemimpinan (leadership) bukan karena azas legitimasi semata, namun karena personality atau kewibawaan yang dimiliki. Dia disegani umumnya karena memiliki kecakapan kewibawaan terhadap bawahan karena didukung oleh sikap dan perilakunya.

Karena pengaruh sikap dan perilakunya, maka seorang pemimpin atau leader dapat terbagai menjadi lima tipe atau gaya yakni : Demokratis, Otoriter, Bebas, Bebas tindak dan Partisipatif. Pemimpin demokratis berusaha memanfaatkan setiap orang dalam organisasi untuk berpartisipasi dan lebih mengutamakan Kerjasama dan team work serta pengambilan keputusan dilakukan secara diskusi dan musyawarah. Sedangkan Pemimpin Otoriter sebaliknya, pemimpin merasa memiliki kekuasaan tunggal dan selalu menempatkan salah satu kepercayaan untuk mengontrol jalannya organisasi, pengambilan keputusan merupakan kehendak pimpinan dan lebih menekankan pada kewenangan dan hukuman disiplin bagi bawahan yang melanggar atau tidak mentaati perintahnya.

Kepemimpinan Bebas lain lagi, pengertiaannya diluar dari mekratik dan otoriter. Dan lebih cenderung terbentuk sebagai sempalan dari suatu organisasi yang ada. Seorang pemimpin hanya merupakan simbol karena pengambilan keputusan sepenuhnya dilakukan oleh bawahan dan kecenderungan didominasi oleh kepemimpinan kompromi. Sedangkan Kepemimpinan Bebas Tindak lebih teratur, pemimpin hanya bersifat official dan keputusan dan pengambilan keputusan berada pada bawahannya, termasuk mengevaluasi pekerjaan dengan caranya sendiri. Dan terakhir, kepemimpinan partisipatif merupakan gabungan teori kepemimpinan otokratik dan demokratis.

Pemimpin hanya merupakan sumber informasi dan melakukan pengendalian secara minimal, dia hanya menyampaikan hasil analisis masalah dan alternatif Tindakan, sedangkan keputusan berdasarkan kelompok. Prakarsa diusulkan dari bawahan/kelompok dan pemimpin hanya memberikan alternatif serta tanggungjawab keberhasilan berdasarkan kelompok. Kesimpulannya, dari tipe kepemimpinan tidak ada yang terbaik, semua bergantung situasi dan kondisi serta karakter organisasi.

 

D.     Penerapan Kepemimpinan Resonansi Dalam Organisasi

Setelah memahami makna tentang kepemimpinan, minimal kita bisa menerapkan dalam organisasi dimana kita berada. Namun banyak faktor lainnya yang mempengaruhi kualitas sebagai pemimpin yang baik, dan sekedar kemampuan berdasarkan latar belakang Pendidikan atau Intelligent Quaotion (IQ), namun juga dipengaruhi oleh factor kecerdasan social atau Emotional Quotion (EQ) dan Spiritual Quotion (SQ) sehingga kita bisa menjadi pemimpin yang tidak sekedar berwibawa atau kharismatik semata, namun mampu menggerakkan staf pegawai atau bawahan agar bisa melaksanakan tugas dengan baik.

Pemimpin yang baik perlu memahami faktor2 tersebut dengan menghindari sikap dan perilaku negatif karena akan berdampak pada lingkungan organisasi. Memang kecerdasan berpikir (IQ) sangat dibutuhkan bagi pimpinan dalam menjalankan organisasi, namun kecerdasan emosional juga sangat mempengaruhi performance organisasi terutama dalam bersikap dan bertindak yang akan mempengaruhi bawahan atas resonant leader yang dimilikinya. Kemampuan  pimpinan dalam bersikap dan bertindak akan mengartikulasi untuk merespon setiap kejadian atau peristiwa yang dihadapi merupakan sikap kunci utama dalam meresonansi perilaku karyawan.

Untuk memiliki kapasitas sebagai pemimpin Beresonansi atau Resonansi Leader minimal ada beberapa Langkah-langkah yang harus dilakukan sebagai berikut:

a.      Memiliki Visi, seorang pemimpin harus memiliki impian apa yang akan dicapai pada saat dia diberi amanah oleh organisasi baik secara legitimasi maupun secara informal. Dengan adanya kejelasan visi, kita dapat menjaarkan ke dalam misi, maupun Langkah stratejik serta tahapan untuk merealisasikan. Semakin terinci dan jelas, maka akan mempermudah kita dalam meberikan beberapa keputusan atau rencana kegiatan.

b.      Jelaskan Visi kepada bawahan. Pentingnya sosialisasi visi kita kepada bawahan, sehingga mereka akan memahami tugas dan kewajiban yang harus dilakukan. Walau sebagai pemimpin legitimasi hendaknya tidak perlu dikedepankan sebagai kekuatan atas kewenangan sebagai pemimpin, justru dengan memahami visi akan memberi motivasi dan kesadaran bagi bawahan atas tanggungjawab untuk mensukseskan tujuan.

c.      Memahami gaya kepemimpinan kita, gaya kepemimpinan tidak sekedar kehendak atau kesukaan kita namun harus disesuaikan dengan kondisi dan karakter organisasi atau jabatan dan amanah yang diberikan. Selain itu perlu juag penyesuaian atau fleksibilitas dalam bertindak pada saat kapan sebagai pemimpin otokratis atau demokratis, bergantung pada saat anda berhadapan dengan pegawai dan ragam tugas yang ahrus dilakukan.

d.      Pelajari Ketentuan dan ATuran yang Berlaku, hal ini sangat penting agar kita tidak semena-mena dalam bertindak atau memberikan perintah, pegawai dapat menolak perintah apabila tugas yang diberikan akan melanggar ketentuan atau melakukan penyimpangan hanay karena kepentingan pemimpin.

e.      Jaga Kepercayaan kepada Kolega, dalam organisasi kiat juga emiliki mitra kerja bai kantar bidang dan bagian atau ekternal organisasi. Dalam hal ini kita melakukan korodinasi dan kolaborasi atau elaborasi anatr bidang dan bagian dalam pelaksnaan tugas, hal ini apabila tugas yang ditetapkan dan dilaksanakan pegawai membutuhkan kerjasam dengan pihak terkait.

f.       Kaderisasi pemimpin, hal ini yang terkadang dilupakan dalam organisasi. Kaderisasi kepemimpinan sanagt diperlukan demi keberlanjutan organisasi. Jangan sampai ada pergantian terjadi stagnasi atau hambatan, selain itu adanya kaderisasi merupakan sarana pemulusan bagai pemimpin lama (suksesor) dan pemimpin baru.

 

Sumber Pustaka : 

1.      Resonance and Leadership : Inspiring through Hope and Vision, Article by Dr. Anne McKee.

2.      Adopsi dari materi paparan DR. Didik Mukrianto, SH. MH. (Ketua Umum Pengurus Nasional Karang Taruna: Kepemimpinan dan Pemimpin yang Berwatak dan Berjiwa Sosial, Diklat Pemberdayaan Pemuda Bidang Manajemen Organisasi Kepemudaan, Webinar yang diselenggarakan PP-PON Kemenpora, September 2020 .

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen Auditor: Mengungkap Modus Operandi Pemeriksaan Dari Ketidaksengajaan

Kisah Dibalik Kesuksesan Bergulirnya Kembali Kompetisi Sepakbola di Tanah Air