Transparansi Versus Kerahasiaan Data Wabah Virus Covid-19

Artikel Ringan:
Transparansi Versus Kerahasiaan Data
(Perspektif Membaca Data Wabah Virus Covid-19 di Indonesia)

A. Prolog
Sebenarnya saya bukan ingin mbalelo atas aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) terutama gencarnya peraturan larangan mudik dipenghujung bulan Ramadhan ini.
Sementara itu, pemerintah juga menerbitkan aturan "relaksasi" yang membolehkan sesorang bepergian namun dengan persyaratan yang cukup ketat.

Adanya pengumuman dari kantor pusat yang meminta saya untuk kembali ke Jakarta, berbekal Surat Keputusan (SK) rasanya sudah memenuhi syarat sebagai pengecualian, tentu saja saya harus direpotkan dengan syarat lainnya (test kesehatan covid-19) untuk bisa memperoleh tiket penerbangan.

Berbekal nasehat dari pengalaman kawan sebelumnya, saya sudah persiapkan segalanya terutama memberi spare waktu lebih awal menuju bandara. Benar saja, saat di Bandara saya harus melewati beberapa pos area pemeriksaan yang cukup ketat dengan antrian yang cukup memakan waktu lama.

Alhamdulillah, kuncinya adalah ketenangan dan menjaga kesehatan agar suhu tubuh tidak terdeteksi melebihi persyaratan. Jika tidak, saya pastinya akan dikandangkan menuju area isolasi yang telah disediakan. Atau minimal harus kembali lagi keesokan hari, dengan risiko menunda jadwal keberangkatan.

B. Kerahasiaan Data Demi Reputasi Perusahaan

Setibanya di Bandara Soetta Cengkareng, walau terasa lengang, saya pun masih dicegat oleh petugas kesehatan karantina dengan memeriksa surat2 keterangan dinas dan surat kesehatan. (Selain tiket memang harus membawa map berkas persyaratan untuk dicek kebenaran oleh setiap petugas yang saya temui).

Dengan tidak membuang waktu, saya pun segera memesan taksi daripada naik Damri seperti biasa. Terlihat supir taksi dengan gesit membawa barang ( plus menyemprot barang saya dengan disinfektan) dan tak lupa senantiasa mencuci tangannya dengan botol Hand Sanitizer (HS). Saat ditawarkan, terpaksa saya tolak karena saya pun membawa HS di tas dan tentunya tetap bermasker ria.

Dalam perjalanan, kami pun bercerita tentang semua hal baik keluhan sepinya pelanggan taksi akibat kebijakan PSBB dan kondisi Jakarta sebagai episentrum wabah virus mematikan dengan pelbagai peraturan ketatnya. Namun di satu sisi, sang supir merasakan pahitnya dampak yang dirasakan, karena dia butuh uang untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, memang ini menjadi suatu dilema.

Ketertarikan obrolan meningkat, tatkala saya bertanya apakah dia tidak merasa kuatir dengan membawa berbagai penumpang entah dari lokal maupun internasional akan bisa menularkan penyakit.

Dia katakan, bahwa perusahaan telah mengantisipasi dengan kebijakan atau protap kesehatan yang telah ditetapkan perusahaan. Bahkan dia pun telah dilakukan test kesehatan ( Rapid test covid-19) secara random oleh perusahaan bekerjasama dengan Dinas Perhubungan.

Saya pun bertanya terkait dengan kesehatan para pramugari karena pastinya selalu membawa penumpang yang mungkin sempat terjangkit virus. Seperti yang kita ketahui awal terjadinya oenyebaran karena adanya penumpang luar negeri dari begara terjangkit yang masuk ke daerah wilayah Indonesia. Namun, saya tak pernah mendengar kabar bahwa ada oramugari yang terjangkit.

Sang supir taksi pun bercerita berdasarkan penuturan yang terkadang sempat membawa pilot atau pramugari yang kebetulan tertinggal jemputan mobil perusahaan. Para awak pesawat secara berkala dan random selalu dilakukan test kesehatan. Alasan dilakukan secara random dan tidak dilakukan secara serentak, agar mengetahui secara pasti atas kesehatan awak pesawat dan jika diberitahu sebelumnya kemungkinan salah satu awak pesawat yang merasa terjangkit akan menghindari test tersebut.

Namun ada satu hal, dia katakan bahwa setelah test dia (atau mereka) tak pernah diberitahu hasilnya. Lho, jika seandainya ada yang beroleh hasil test positif bagaimana?, sergah saya. Sang supir menjawab, justru itu kita tak pernah tahu. Perusahaan selalu merahasiakan demi menjaga reputasi,  kemungkinan jika ada pegawai tersebut di-off atau dirumahkan atau dipindahkan ke tempat lain, dsb.

Hmmh... ini suatu fenomena menarik. Dan mungkin ini sebagai jawaban atas rasa penasaran saya selama ini. Sering kali kita selalu bersilang sengketa atas data terkait masyarakat yang terjangkit virus yang selalu diinfokan secara berkala setiap hari.

C. Kedewasaan Memaknai Transparansi Data

Transparansi data disatu sisi tidaklah menjadikan kita merasa aman dan nyaman. Karena beragam opini atau pendapat di masyarakat yang justru menjadi kehebohan serta menjadi polemik anatara masyarakat dan pemerintah dalam menyikapi secara bijak. Terkadang ada kalanya sebagian masyarakat yang senang membuat kisruh dengan beralas kepentingan (politik) tertentu dan ada pula yang memang menginginkan suatu Transparansi data yang sesungguhnya.

Bukannya saya ingin berpolemik atau dianggap pro anti lockdown. Fenomena yang terjadi di kalangan masyarakat selama selalu terjadi stigmatisasi antara yang setuju negeri ini lockdown total dan berharap wabah segera melandai, dan disisi lain masyarakat yang ingin terlepas dari belenggu demi bisa beraktivitas ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya termasuk perusahaan karena pemerintah tidak akan mampu untuk berlama-lama menanggung beban untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atau perusahaan yang sudah menumpuk hutangnya demi karyawan atau sejedar menutup biaya operasional jika tidak ingin berujung menuju kepailitan atau bangkrut.

Setelah berbulan-bulan kita bergelut menghadapi wabah virus yang hingga saat ini pun belum ditemukan obat anti virus secara pasti. Kegalauan dan gelisaha antara masyarakat dan pemerintah yang kini mencuatkan fenomena baru dengan istilah "berdamai dengan wabah covid-18" mungkin menjadikan dilema karena sebagian orang sulit menerimanya dengan legawa.

Di satu sisi Satgas kesehatan maupun para tenaga kesehatan harus berjuang untuk menangani pasien yang terjangkit virus dan terkadang bisa berujung kematian karena masa inkubasi virus cukup lama terdeteksi sekitar 14 - 21 hari.

Sementara itu, ada sebagian masyarakat maupun pemerintah ingin lakukan pengenduran kebijakan lockdown lokal atau PSBB, demi menghadapi realisasi kenyataan hidup karena banyak pula masyarakat yang terdampak menuju kemiskinan dan penutupan berbagai perusahaan karena tak mampu membiayai operasional akibat hutang yang menumpuk (termasuk pemerintah yang kalang kabut memotong anggaran operasional demi memfokuskan alokasi anggaran kepada kegiatan untuk mengatasi wabah di berbagai pelosok negeri).

D. Transparansi Versus Kerahasiaan Data

Tatkala terjadinya wabah, saya pun tertarik dengan data wabah yang diungkap. Namun jiwa auditor yang senantiasa peka terhadap angka membuat saya gusar atas transparansi data tersebut,  sehingga timbul pemikiran membuat artikel tentang hal tersebut.

Namun dalam perjalanan waktu, saya pun tersadar bahwa angka yang ternampak bisa berdampak menimbulkan persepsi yang beragam bergantung pada tujuan maksud dari ungkapan data tersebut.

Kembali pada permasalahan dalam obrolan dengan supir taksi tersebut saya hanya memberikan simpulan pendapat pribadi bahwa adakalanya perlu kerahasiaan data demi kepentingan tertentu. Seperti perusahaan yang selalu menjaga reputasinya demi kelancaran bisnis, namun bukan melakukan pembiaran. Mereka tetap komitmen untuk memantau kesehatan pegawainya yang cukup rentan selalu berhadapan dengan pelanggan yang beragam dan berasal dari berbagai daerah yang mungkin terjangkit virus saat ini.

Tapi disisi lain, kita selaku masyarakat ingin selalu tahu perkembangan wabah secara transparan agar dapat mengantisipasinya dengan baik. Namun kedewasaan masyarakat dalam menelaah atau memperoleh informasi dari berbagai media dapat berakibat buruk. Karena kesulitan menangkap dan memahami maksud dari ungkapan data tersebut tanpa memahami tujuannya. Apalagi jika ada sebagian kelompok yang mencoba atau hanya ingin sekedar "memancing di air keruh" sehingga timbul kepanikan sesaat.

Hal ini disebabkan keberagaman informasi mengenai keberadaan dan jenis wabah tidak secara pasti kita ketahui asal dan bentuknya, bisa menciptakan ketakutan atau kekhawatiran yang berlebihan dan berdampak negatif yang menggoyahkan sendi kehidupan dalam berbangsa dan bernegara.

E. Epilog

Adanya ragam penafsiran atas wabah di masyarakat membuat pemerintah menghadapi kesulitan dalam menetapkan suatu kebijakan. Dalam hal ini memang membutuhkan keahlian skill dalam berkomunikasi pada menjelaskan kebijakan.

Kondisi tidak normal atau force major dalam waktu lama memang kali pertama kita alami. Dan tak satu pun negara yang bisa mengatasi secara sukses dalam sekejap mata, terkecuali negeri yang kecil dengan penduduk yang bersifat homogen.
Sementara negeri kita merupakan negara terbesar ke empat dunia dari jumlah penduduknya yang bersifat heterogen dengan luas jangkauan wilayah dan ragam pulau, ditambah ragam kepentingan baik sosial, politik dan ekonomi, hal ini yang perlu kita sadari yang kemungkin sulit untuk bersikap bijak.

Di akhir tulisan ini, rasanya saya belum menemui artikel yang memuaskan diri dan bisa menjadi acuan sebagai solusi mengatasi kondisi yang terjadi, jika kita semua tidak bisa berkomitmen bersama untuk saling bahu membahu untuk bekerjasama. Sehingga timbul lagi lemparan isu baru, seolah ada kebijakan "terserah" untuk atasi kondisi ini. Dan ini pun akan jadi bahan guncingan atau perdebatan yang tak habis-habisnya.
Atau kah kita berharap, jangan-jangan sang wabah pergi begitu saja tiba-tiba, karena tak tahan dengan bangsa ini yang lebih senang bergunjing untuk memperdebatkan tanpa pernah berakhir?


Bekasi, Jelang Lebaran thn 2020.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen Auditor: Mengungkap Modus Operandi Pemeriksaan Dari Ketidaksengajaan

Cerpen Auditor : Mungkinkah Menyelamatkan Perusahaan Dari Analisis Teori Kebangkrutan?

Kisah Dibalik Kesuksesan Bergulirnya Kembali Kompetisi Sepakbola di Tanah Air