Gelombang arus informasi memaksa kita harus berpikir cerdas



Sebuah Refleksi :
Gelombang arus informasi memaksa kita harus berpikir cerdas

Pengantar
Arus informasi ternyata lebih besar dan sangat berbahaya dibandingkan musibah tsunami di Aceh atau musibah gempa di Padang, mengapa?. Musibah baik di Aceh dan Padang bisa berhenti sejenak dan kita dapat memperbaiki keadaan. Tapi arus informasi akan terus menerus menggerus pikiran kita tanpa ampun dia menerjang dan melanda tanpa ampun walau kita sudah dalam keadaan muntah-muntah.

Semenjak Netscape go-publik (9 Agustus 1995) menandai awalnya revolusi informasi (via internet). Berbagai sekat atau hambatan dijebol dan peredarannya semakin hari semakin lancar dan bebas. Tidak hanya informasi saja, teman karibnya pun turut serta (laksana tentara KNIL) yakni arus barang maupun uang dengan lokomotif besarnya yang bernama ‘Globalisasi’.

Arus barang terlah terkontainerisasi dan masuknya jalan logistik baik via darat, laut dan udara. Arus uang yang terdigitalisasi sehingga uang plastik hingga tak berwujud (the blinking money) merembes kemana saja dan kapan saja, bahkan arus orang pun turut terlibat dalam berbagai macam misalnya, arus wisatawan, arus kerja (TKI/TKW) maupun migrasi ke negara lain.

Arus informasi dan Globalisasi
Kita harus mencermati, waspada sekaligus berpikir bijak untuk menghadapinya. Tanpa sadar (ataupun secara sadar) sudah berkali-kali kita kecolongan menerima tamu atau pihak luar tanpa ada tindakan apa pun untuk bersiap-siap apalagi mencegah (bertindak pun sekan-akan menjadi tidak berarti). Sebagai contoh untuk arus informasi, PT Indosat beserta anak-anak perusahaannya sudah dikuasai pihak asing. Arus barang demikian pula, Carrefour menguasai jalur-jalur logistik dengan rantai-pasok barangnya.

Arus uang apalagi, penetrasi bank-bank asing sudah demikian cerdiknya. Citibank dalam hal ini, telah menggandeng PT Pos Indoenesia hingga Citibank punya akses ke Retail eceran lewat 3.500 cabang di seluruh Indonesia. Untuk arus orang bagaimana?, ini yang perlu direnungkan!, TKI atau TKW kita tidak mampu bersaing dengan negara tetangga sebagai pemasok ( negara Filipina atau India) lantaran ketidakmampuan TKI/TKW berbahasa Inggris.

Bagaimana dengan informasi yang saat ini terjadi di negara kita dalam kasus korupsi bertema ‘cicak dan buaya’ yang melibatkan berbagai elemen masyarakat dan negara mulai dari lembaga peradilan, POLRI, pengacara hingga tersangka maupun terdakwa, bahkan politisi, negarawan hingga kepala negara turut serta untuk mencoba menanganinya (lihat tulisan saya tentang …….).
Disini kita bagaikan pemirsa yang menonton ‘sinetron akbar’ yang seperti kita tonton sehari-hari dalam acara TV Favorit. Tontonan tersebut membuat kita marah, geram, kecewa, sedih, benci, sayang/mendukung, dsb. terhadap tingkah masing-masing pelakon semua emosi tercampur aduk dan terkadang kita ekspresikan tanpa lagi bernalar/logika.

Berpikir Logis dan Epistemik
Namun kalau kita mau berpikir sejenak bahwa ‘sinetron akbar’ akhir tahun 2009 ini merupakan pertunjukkan mengenai perdebatan tak berujung pangkal dan pertarungan pembentukan opini kepada masyarakat (saya tidak mau mengometari siapa sebenarnya yang benar dan salah). Mereka mencoba berusaha meraih simpati masyarakat sehingga kita pun lupa tak bernalar bahwa pertunjukkan ini bukanlah pengadilan masyarakat dengan ruang sidang terbuka yang berlokasi di layar kaca ( padahal kita dilarang untuk bertindak ‘main hakim sendiri’).

Kalau anda menonton film ‘the Great Debaters’ yang dibintangi aktor Denzel Washington yang menceritakan tim debat dari sebuah universitas kecil dan memenangkan kompetisi debat melawan tim besar dari universitas Harvard. Yang menarik dari simpulan film tersebut adalah kebiasaan berdebat, beradu argumentasi merupakan kebiasaan yang mencerdaskan. Orang dilatih untuk sportif, waspada, berpikir logika-menceritakan sesuatu secara kronologis atau runut, bisa mengambil jarak ontologis, dan terbiasa mempertanggungjawabkan pengetahuan secara epistemik.

Dapatkah ‘sinetron akbar’ di Indonesia akan seperti film tersebut?, saya mencoba menganalogkan dengan film tersebut tidak ada maksud apa pun (dan berharap sang cicak menang melawan sang buaya). Saya hanya berharap bahwa para pelakon dapat menjalankan perannya dengan disiplin epistemik sehingga kebenaran akan terkuak dan bukannya permainan skenario yang diatur oleh sang Sutradara. Ataukah adanya peristiwa tersebut, kita sebagai masyarakat sedang dididik bahwa kita harus cerdas berpikir dengan berusaha memilah dan memilih sebuah informasi berdasarkan logika sehingga kita dapat menyaring informasi tidak hanya terbawa emosi belaka. Semoga !.

Salam hangat,
Humas BPKP Provinsi Jawa Timur
Sumber Inspirasi : Siapa yang curi tenda kita?, Andre Vincent Wans, Global Leadership Engine Specialist dan Chief of Corporate Human Capital udung Group, Majalah Marketing, Edisi 10/IX/2009.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen Auditor: Mengungkap Modus Operandi Pemeriksaan Dari Ketidaksengajaan

Kisah Dibalik Kesuksesan Bergulirnya Kembali Kompetisi Sepakbola di Tanah Air